"Gak mau ke Kafe Bang? sekarang pesanan via online sedang rame-rame nya," ujar Denis, yang melihat Kakaknya masih asik memainkan ponselnya di ruang tengah.
"Iya, gue mandi deh." jawab Niko, yang mulai remaja sudah turun langsung, ke dunia bisnis orang tuanya dan membantu usaha kuliner, milik keluarga nya itu.Niko kemudian segera beranjak, dan naik ke lantai lima, menggunakan lift yang memang tersedia di rumah yang memiliki ruangan, hingga 5 lantai itu."Sekar, setelah buburnya matang, kamu langsung antarkan ke kamar Oma ya?" perintah bu Raya, karena kebetulan Tania masih tidur."Emm tapi kamar Oma yang mana ya, Nya? saya tidak tahu." jawab Sekar bingung."Biar saya aja, yang antar kan Nyah..!" Sisil yang tengah mengepel lantai, menawarkan diri, karena merasa jenuh harus memegang gagang pel terus mulai tadi. "Gak usah, biar Sekar aja! lagian Oma juga sudah tidak mau di urusin sama kamu!" cetus bu Raya, dengan tegas menolak.Sisil memberengut kesal, dan langsung pergi sambil menghentakkan kakinya keras.Novi yang menyaksikan itu, hanya dapat geleng-geleng, melihatnya."Kamar Oma di lantai 5, kamarnya yang punya jendela lebar, dengan tirai berwarna putih." jelas bu Raya.Sekar mengangguk paham."Oh iya, biar cepat, kamu gunakan lift saja." ucap bu Raya lagi.Sekar hanya mengangguk, sebenarnya dia sedikit bingung dengan ucapan majikannya tadi, lift apa? dia tidak tahu."Lantai 5?? aduh, berarti naik tangganya juga pasti lama banget! kenapa Oma malah kamarnya di lantai 5 ya?, " gumamnya, kemudian segera menaiki tangga."Mau kemana kamu?" seseorang tiba-tiba memanggilnya."Eh Mas Denis, saya mau antar bubur ke Oma!" sahut Sekar. "Kok lewat situ sih?" Denis tampak heran, melihat Sekar, yang ingin menaiki tangga."La, kan kamar Oma ada di lantai 5 Mas, kalau gak lewat tangga terus lewat mana? masa mau mabur (terbang)to?!" jawab Sekar terkekeh.Denis segera menepuk jidatnya, merasa geli dengan kepolosan gadis didepannya itu."Ya ampun Sekar, kalo ndeso itu, jangan terlalu ndeso juga dong! kamu gak lihat ini apa??" tunjuk Denis, pada pintu lift."La itu opo to Mas?" Sekar mengernyitkan dahinya. "Haduhhh, sulit di jelaskan. Sudah ayo sini!" Denis segera menarik lengan Sekar, dan mengajaknya masuk ke dalam lift."Lo lo lo Mas..saya mau di bawa kemana to ini? saya itu buru-buru, karena Oma belum makan. Sampean jangan macem-macem ke saya!" seru gadis yang kali ini mengenakan kerudung berwarna kuning itu, tampak ketakutan.Suara Sekar yang keras, mengundang perhatian Sisil yang tengah mengepel. Hatinya begitu panas, darahnya seketika mendidih, saat melihat kekasihnya itu, menarik tangan Sekar, masuk ke dalam lift.Sisil langsung berlari untuk menyusul, tapi terlambat, pintu lift sudah tertutup."Apaan sih, pakai nangis segala! aku tuh cuma mau nganterin kamu ke kamar Oma!" seru Denis tergelak, dengan reaksi Sekar yang panik, takut di apa-apa in..."Lagian kamu itu bukan selera ku!" dengus nya kesal."Tuh lihat! itu kamar Oma yang tirai jendelanya putih!" tunjuk Denis, begitu pintu lift sudah terbuka.Sekar segera menyusut air matanya, dan merasa sangat malu, dengan tingkahnya tadi.Masih sambil tertawa, Denis kemudian turun lagi, menggunakan lift itu.Sekar kemudian segera bergegas menuju kamar Oma."Tirai putih ya.." gumam nya."Lah, tapi kok ini tirainya putih semua sih?" Sekar tampak kebingungan."Mungkin yang ini ya, kamarnya." batinnya, segera membuka pintu. Ternyata benar, itu adalah kamar Oma, terlihat Oma tengah duduk, sambil menatap ke jendela yang ada di sebelah tempat tidurnya. "Oma, ayo makan dulu, Oma pasti sudah lapar ya!" seru gadis itu, lupa kalau saat ini yang ia hadapi adalah orang tua, bukan Tania, yang masih balita.Oma tersenyum mendengar sapaan akrab dari Sekar."Sini duduk dekat Oma," pintanya.Sekar kemudian beringsut, mendekati Oma."Suapi Oma ya?" pinta perempuan berusia lanjut itu, meminta di suapi."Baik Oma!" dengan sabar, Sekar menyuapi Oma. Hingga tak terasa tiba-tiba air matanya meluncur deras, membuat Oma kebingungan."Lo lo lo...kenapa kok malah nangis? kamu gak suka ya, suapi Oma seperti ini?" tanya wanita sepuh itu, keheranan."Bukan Oma!" jawab Sekar terisak."La terus kenapa? atau jangan-jangan, Niko atau Denis sudah sakitin kamu ya?" tanyanya lagi."Tidak juga Oma, Sekar hanya jadi sedih ketika suapi Oma tadi, Sekar jadi teringat dengan Ibu Sekar yang sedang sakit, di kampung." jawab Sekar, menjelaskan. "Ya ampun.. jadi Ibu kamu sedang sakit ya? sakit apa?" tanya Oma, tampak prihatin."Gagal ginjal Oma, makanya Sekar kerja jauh sampai kemari, karena untuk membiayai berobatnya Ibu." "Ya ampun, kasihan sekali. Oma jadi ikut sedih dengarnya." ucap Oma, mengelus kepala Sekar lembut."Ya sudah Oma, saya turun dulu, takutnya Non Tania bangun dari tidurnya." pamit Sekar, segera membereskan peralatan makan yang sudah kosong. "Tunggu!" tiba-tiba Oma mengambil sesuatu dari laci ranjang, yang ada di sebelahnya. "Ini buat kamu!" Oma memberikan amplop berwarna coklat untuk Sekar."Apa ini Oma?" tanya Sekar tak mengerti."Itu isinya uang, gak banyak, tapi mungkin bisa membantu berobat Ibu kamu." ucap Oma."Ya Allah, jangan Oma..tidak usah!" Sekar segera mengembalikan amplop itu, ke tangan Oma."Sudah! kamu bawa saja, nanti Oma malah marah, kalau di tolak!" ucap Oma, sedikit keras."Terima kasih Oma, terimakasih banyak." ucap sekar berulang-ulang.. "Iya iya, sudah sana, kamu buruan ke kamar Tania!" perintah Oma.Sekar akhirnya meninggalkan kamar Oma.Karena berjalan dengan terburu-buru, tak sengaja ia bertubrukan dengan Niko, yang baru saja keluar dari kamar, hingga gelas yang sedang di bawanya pecah, dan mengenai kaki pemuda bertubuh kekar itu."Awwww!!" teriaknya, saat tak sengaja menginjak pecahan beling."Ya ampun! kamu lagi!?" serunya geram, melihat siapa yang dia tabrak."Maaf Mas Niko, lagian Mas Niko gak bilang-bilang kalau mau keluar, kan jadi nabrak." Sekar tampak ketakutan."Aw...aduh..!" Niko meringis kesakitan."Ya Allah, itu kaki Mas Niko berdarah!" seru Sekar ketakutan."Jangan bergerak Mas, biar saya keluarin dulu beling nya". Niko yang terduduk di lantai, hanya dapat diam saja memegangi kakinya."Pelan-pelan!" serunya, saat Sekar mencabut pecahan gelas itu."Iiiya Mas!" karena di bentak- bentak, Sekar jadi sedikit gugup."Ambil kotak obat di kamarku!" perintah Niko, tampak begitu kesal.Sekar segera membuka pintu kamar Niko, yang terlihat begitu luas, dengan aksen yang begitu macho, ciri khas kamar laki-laki. Sekar mengedarkan pandangannya, mencari kotak obat, yang di maksud."Ada gak sih? lama amat!" lagi-lagi teriakan Niko terdengar."Iya Mas, ini saya masih cari." jawab Sekar."Kotaknya ada di dekat meja, coba kamu lihat!" Tak lama, Sekar pun keluar membawa kotak itu, dan segera mengeluarkan kapas dan revanol, untuk membersihkan luka.Niko tampak meringis menahan nyeri.Dengan hati-hati, setelah darahnya bersih, Sekar segera membubuhkan obat merah ke kapas, dan membebatnya dengan perban."Alhamdulillah, sudah selesai Mas!" seru Sekar tampak senang. "Huh..lain kali jangan dekat-dekat aku lagi !, aku jadi selalu apes, kalau ada di dekatmu!" ketusnya, kesal."Iya Maaf Mas, lagian tadi kan Mas Niko yang nabrak saya." ucapnya masih membela diri."Kamu?!" Niko melotot ke arah gadis itu, membuat Sekar jadi ketakutan."Buruan beresin! ngeselin banget jadi orang!" ***BersambungNiko segera berlari, mencari ruangan tempat Sekar berada."Sialan si Denis, ngapain juga dia malah masuk dan ikut menunggu Sekar di dalam!" geram Niko, merasa sangat marah."Sekar!!" Niko segera masuk, dan langsung menghampiri istrinya itu, dan menyuruh Denis untuk keluar."Ingat Denis, kamu hutang penjelasan, pada Abang nanti!" geramnya, menyuruh adiknya itu segera keluar dari ruangan. Denis hanya diam, dan pasrah saja saat abangnya itu, memarahi nya."Sayang, maafkan Mas ya, karena datang terlambat." bisik Niko, kemudian menciumi pipi sang istri. "Sakit Mas.." Sekar masih merintih kesakitan, dengan peluh yang sudah bercucuran."Dokter, bagaimana istri saya?" Niko tampak begitu panik, melihat kondisi istrinya, yang tampak begitu lemah."Ini sudah pembukaan 7 Pak, tapi dari satu jam yang lalu, istri Bapak pembukaannya tidak bertambah." jelas dokter "Terus bagaimana dokter?" tanya Niko panik.Sekar yang saat ini telah di pasang jarum infus, untuk menjaga staminanya dalam melahirkan,
Sekar menyilangkan kedua tangannya, di depan dadanya karena merasa sangat malu.Niko benar-benar tak percaya, melihat kecantikan Sekar, yang begitu memabukkan nya, malam itu.Gadis berbulu mata lentik itu, benar-benar berbeda saat mengenakan gaun, yang di pilihkan oleh Niko. "Sekar..." Niko segera menggeser posisi tubuhnya di ranjang, memberikan ruang untuk istri belia nya itu. "Kenapa harus di tutupi..?" bisik pemuda itu, dengan suara yang sudah terdengar berat, meraih kedua tangan istrinya."Saya malu Mas.." "Tidak usah malu, sekarang aku sudah menjadi suamimu, setiap hari juga bakalan lihat semuanya.." bujuk Niko, menyingkirkan tangan istrinya dari dadanya."Kamu pasti capek kan, mau Mas pijit?" tanya Niko, menawarkan dirinya, agar sang istri merasa lebih rileks."Memangnya Mas Niko, bisa?" tanya Sekar, tampak malu-malu. "Kalau buat istriku, aku jadi serba bisa, termasuk jadi tukang pijit kamu.." rayu Niko, membuat Sekar merasa tersanjung.Sekar tak menolak, saat kemudian Niko
"Sah?!" "Sah!!" helaan nafas lega, segera terdengar dari pemuda berhidung bangir itu, kemudian tersenyum tipis. Jambang dan kumis tipis, yang biasanya menghiasi wajahnya, kini telah tercukur bersih dari wajah tampannya itu.Sekar segera di tuntun menuju sang suami, untuk mencium tangan suaminya itu, sebagai bentuk awal baktinya seorang istri, terhadap suami.Tangan halus Sekar, terasa begitu dingin seperti es, saat menyalami tangan Niko, yang terasa sedikit basah karena berkeringat.Niko kemudian mendaratkan sebuah kecupan, di dahi Sekar.Cukup lama Niko mencium kening istri barunya itu, hingga kemudian bu Raya menjawil pinggang putranya, untuk menyudahi sesi cium kening.Semua orang tertawa cekikikan, menyaksikan itu. "Udah gak sabar kayaknya itu, mempelai laki-lakinya." celetuk kerabat Sekar, yang kemudian di sambut dengan tawa, oleh yang lainnya."Udah, langsung bawa ke kamar saja Mas.." celetuk mereka lagi, membuat wajah cantik Sekar, tampak memerah karena malu. Sedangkan Nik
"Mas Niko jorok ihhh!" seru Sekar, dengan wajah yang memerah, karena malu. "Kok jorok sih? kita kan mau beli Sekar, emangnya kamu gak pernah pake itu ya?" tanya Niko, jail."Auk ah..saya gak mau ke sana ah!" seru Sekar, kemudian membelok ke sebuah tempat duduk, dan duduk di sana.Niko menahan tawanya, melihat Sekar yang ngambek, dan tampak begitu malu, hanya karena di ajak membeli perangkat dalamannya. "Ya sudah kalau kamu gak mau, biar aku saja yang pilihkan, tapi coba aku lihat dulu, berapa kira-kira ukuran milik kamu itu..?" ucap Niko, menaik turunkan alisnya, membuat Sekar merasa geli sendiri, dengan ucapannya barusan."Mau lihat gimana? gak mau ah! jorok banget sih Mas Niko!" kesal gadis berwajah imut itu, bergidik ngeri. "Ya makanya, ayo kita pilih dulu sesuai dengan ukuran kamu. Yang tahu ukurannya kan cuma kamu, karena Mas belum pernah pegang, ataupun melihatnya." ucap Niko sambil nyengir.Sekar benar-benar merasa kesal sekaligus malu, dengan ucapan pria dewasa di depannya
"Ini beneran ya Mas? Kita mau ke kampung nanti malam?" tanya Sekar, saat pagi itu, Niko memintanya untuk bersiap."Ya bener lah Sekar.." jawab Niko, tersenyum geli, melihat Sekar yang terlihat panik."Tttapi, Mas Niko kan kakinya lagi sakit begitu.." jawab Sekar, menatap kaki Niko, yang masih terlihat membiru."Rasa sakitnya langsung hilang, setelah kamu pijat kemarin, ini cuma tinggal bekasnya aja." jawab Niko, mengusap kakinya itu, yang sebenarnya masih lumayan sakit."Masa sih Mas?" tanya Sekar tak percaya. "Ya beneran lah. Sepertinya tangan kamu itu memang mengandung obat deh!" gombal Niko, kemudian meraih tangan Sekar, dan menciumnya."Apaan sih Mas, pagi-pagi kok sudah gombal!" seru gadis bermata indah itu tersipu, kemudian berusaha menarik tangannya. "Hem! Niko! pagi-pagi sudah ngegombalin anak orang!" seru bu Raya, saat memergoki keduanya, yang tengah berduaan di teras belakang. Sekar yang malu, segera permisi untuk kembali ke dapur.Niko hanya menyeringai, mendengar ucapan
"Ihh geli Mas!" seru Sekar, berusaha melepas pegangan tangan Niko, dari perutnya."Udah ayo jalan, aku sudah lama gak naik motor, jadi takut jatuh kalau gak pegangan." jawab Niko modus, sembari tersenyum tipis. Akhirnya Sekar hanya diam, dan membiarkan pemuda itu melingkarkan tangannya di perutnya yang kecil.Hati Sekar tak karuan, tubuhnya terasa panas dingin saat tiba-tiba tangan hangat Niko, menyelusup masuk ke balik blus nya, sehingga kulit mereka bertemu.Nafas Sekar tertahan, tapi kini dia tengah berkendara, dan harus menjaga keseimbangan laju motornya.Niko seakan lupa diri dengan posisi mereka yang tengah berkendara, pemuda itu mengelus kulit perut Sekar yang terasa begitu halus di tangannya, sehingga membuat Sekar menjadi oleng dan menabrak sebuah pembatas jalan. "Aw!" seru Niko yang sudah terjatuh di aspal, dengan posisi kaki yang tertimpa motor.Untung saja jalanan tak terlalu ramai, orang-orang yang sedang berlalu lalang di sekitar situ, segera menolong mereka."Aduh, ma