Share

BAB 7

"Gak mau ke Kafe Bang? sekarang pesanan via online sedang rame-rame nya," ujar Denis, yang melihat Kakaknya masih asik memainkan ponselnya di ruang tengah. 

"Iya, gue mandi deh." jawab Niko, yang mulai remaja sudah turun langsung, ke dunia bisnis orang tuanya dan membantu usaha kuliner, milik keluarga nya itu.

Niko kemudian segera beranjak, dan naik ke lantai lima, menggunakan lift yang memang tersedia di rumah yang memiliki ruangan, hingga 5 lantai itu.

"Sekar, setelah buburnya matang, kamu langsung antarkan ke kamar Oma ya?" perintah bu Raya, karena kebetulan Tania masih tidur.

"Emm tapi kamar Oma yang mana ya, Nya? saya tidak tahu." jawab Sekar bingung.

"Biar saya aja, yang antar kan Nyah..!" Sisil yang tengah mengepel lantai, menawarkan diri, karena merasa jenuh harus memegang gagang pel terus mulai tadi. 

"Gak usah, biar Sekar aja! lagian Oma juga sudah tidak mau di urusin sama kamu!" cetus bu Raya, dengan tegas menolak.

Sisil memberengut kesal, dan langsung pergi sambil menghentakkan kakinya keras.

Novi yang menyaksikan itu, hanya dapat geleng-geleng, melihatnya.

"Kamar Oma di lantai 5, kamarnya yang punya jendela lebar, dengan tirai berwarna putih." jelas bu Raya.

Sekar mengangguk paham.

"Oh iya, biar cepat, kamu gunakan lift saja." ucap bu Raya lagi.

Sekar hanya mengangguk, sebenarnya dia sedikit bingung dengan ucapan majikannya tadi, lift apa? dia tidak tahu.

"Lantai 5?? aduh, berarti naik tangganya juga pasti lama banget! kenapa Oma malah kamarnya di lantai 5 ya?, " gumamnya, kemudian segera menaiki tangga.

"Mau kemana kamu?" seseorang tiba-tiba memanggilnya.

"Eh Mas Denis, saya mau antar bubur ke Oma!" sahut Sekar. 

"Kok lewat situ sih?" Denis tampak heran, melihat Sekar, yang ingin menaiki tangga.

"La, kan kamar Oma ada di lantai 5 Mas, kalau gak lewat tangga terus lewat mana? masa mau mabur (terbang)to?!" jawab Sekar terkekeh.

Denis segera menepuk jidatnya, merasa geli dengan kepolosan gadis didepannya itu.

"Ya ampun Sekar, kalo ndeso itu, jangan terlalu ndeso juga dong! kamu gak lihat ini apa??" tunjuk Denis, pada pintu lift.

"La itu opo to Mas?" Sekar mengernyitkan dahinya. 

"Haduhhh, sulit di jelaskan. Sudah ayo sini!" Denis segera menarik lengan Sekar, dan mengajaknya masuk ke dalam lift.

"Lo lo lo Mas..saya mau di bawa kemana to ini? saya itu buru-buru, karena Oma belum makan. Sampean jangan macem-macem ke saya!" seru gadis yang kali ini mengenakan kerudung berwarna kuning itu, tampak ketakutan.

Suara Sekar yang keras, mengundang perhatian Sisil yang tengah mengepel. Hatinya begitu panas, darahnya seketika mendidih, saat melihat kekasihnya itu, menarik tangan Sekar, masuk ke dalam lift.

Sisil langsung berlari untuk menyusul, tapi terlambat, pintu lift sudah tertutup.

"Apaan sih, pakai nangis segala! aku tuh cuma mau nganterin kamu ke kamar Oma!" seru Denis tergelak, dengan reaksi Sekar yang panik, takut di apa-apa in...

"Lagian kamu itu bukan selera ku!" dengus nya kesal.

"Tuh lihat! itu kamar Oma yang tirai jendelanya putih!" tunjuk Denis, begitu pintu lift sudah terbuka.

Sekar segera menyusut air matanya, dan merasa sangat malu, dengan tingkahnya tadi.

Masih sambil tertawa, Denis kemudian turun lagi, menggunakan lift itu.

Sekar kemudian segera bergegas menuju kamar Oma.

"Tirai putih ya.." gumam nya.

"Lah, tapi kok ini tirainya putih semua sih?" Sekar tampak kebingungan.

"Mungkin yang ini ya, kamarnya." batinnya, segera membuka pintu. 

Ternyata benar, itu adalah kamar Oma, terlihat Oma tengah duduk, sambil menatap ke jendela yang ada di sebelah tempat tidurnya. 

"Oma, ayo makan dulu, Oma pasti sudah lapar ya!" seru gadis itu, lupa kalau saat ini yang ia hadapi adalah orang tua, bukan Tania, yang masih balita.

Oma tersenyum mendengar sapaan akrab dari Sekar.

"Sini duduk dekat Oma," pintanya.

Sekar kemudian beringsut, mendekati Oma.

"Suapi Oma ya?" pinta perempuan berusia lanjut itu, meminta di suapi.

"Baik Oma!" dengan sabar, Sekar menyuapi Oma. Hingga tak terasa tiba-tiba air matanya meluncur deras, membuat Oma kebingungan.

"Lo lo lo...kenapa kok malah nangis? kamu gak suka ya, suapi Oma seperti ini?" tanya wanita sepuh itu, keheranan.

"Bukan Oma!" jawab Sekar terisak.

"La terus kenapa? atau jangan-jangan, Niko atau Denis sudah sakitin kamu ya?" tanyanya lagi.

"Tidak juga Oma, Sekar hanya jadi sedih ketika suapi Oma tadi, Sekar jadi teringat dengan Ibu Sekar yang sedang sakit, di kampung." jawab Sekar, menjelaskan. 

"Ya ampun.. jadi Ibu kamu sedang sakit ya? sakit apa?" tanya Oma, tampak prihatin.

"Gagal ginjal Oma, makanya Sekar kerja jauh sampai kemari, karena untuk membiayai berobatnya Ibu." 

"Ya ampun, kasihan sekali. Oma jadi ikut sedih dengarnya." ucap Oma, mengelus kepala Sekar lembut.

"Ya sudah Oma, saya turun dulu, takutnya Non Tania bangun dari tidurnya." pamit Sekar, segera membereskan peralatan makan yang sudah kosong. 

"Tunggu!" tiba-tiba Oma mengambil sesuatu dari laci ranjang, yang ada di sebelahnya. 

"Ini buat kamu!" Oma memberikan amplop berwarna coklat untuk Sekar.

"Apa ini Oma?" tanya Sekar tak mengerti.

"Itu isinya uang, gak banyak, tapi mungkin bisa membantu berobat Ibu kamu." ucap Oma.

"Ya Allah,  jangan Oma..tidak usah!" Sekar segera mengembalikan amplop itu, ke tangan Oma.

"Sudah! kamu bawa saja, nanti Oma malah marah, kalau di tolak!" ucap Oma, sedikit keras.

"Terima kasih Oma, terimakasih banyak." ucap sekar berulang-ulang.. 

"Iya iya, sudah sana, kamu buruan ke kamar Tania!" perintah Oma.

Sekar akhirnya meninggalkan kamar Oma.

Karena berjalan dengan terburu-buru, tak sengaja ia bertubrukan dengan Niko, yang baru saja keluar dari kamar, hingga gelas yang sedang di bawanya pecah, dan mengenai kaki pemuda bertubuh kekar itu.

"Awwww!!" teriaknya, saat tak sengaja menginjak pecahan beling.

"Ya ampun! kamu lagi!?" serunya geram, melihat siapa yang dia tabrak.

"Maaf Mas Niko, lagian Mas Niko gak bilang-bilang kalau mau keluar, kan jadi nabrak." Sekar tampak ketakutan.

"Aw...aduh..!" Niko meringis kesakitan.

"Ya Allah, itu kaki Mas Niko berdarah!" seru Sekar ketakutan.

"Jangan bergerak Mas, biar saya keluarin dulu beling nya". 

Niko yang terduduk di lantai, hanya dapat diam saja memegangi kakinya.

"Pelan-pelan!" serunya, saat Sekar mencabut  pecahan gelas itu.

"Iiiya Mas!" karena di bentak- bentak, Sekar jadi sedikit gugup.

"Ambil kotak obat di kamarku!" perintah Niko, tampak begitu kesal.

Sekar segera membuka pintu kamar Niko, yang terlihat begitu luas, dengan aksen yang begitu macho, ciri khas kamar laki-laki. 

Sekar mengedarkan pandangannya, mencari kotak obat, yang di maksud.

"Ada gak sih? lama amat!" lagi-lagi teriakan Niko terdengar.

"Iya Mas, ini saya masih cari." jawab Sekar.

"Kotaknya ada di dekat meja, coba kamu lihat!" 

Tak lama, Sekar pun keluar membawa kotak itu, dan segera mengeluarkan kapas dan revanol, untuk membersihkan luka.

Niko tampak meringis menahan nyeri.

Dengan hati-hati, setelah darahnya bersih, Sekar segera membubuhkan obat merah ke kapas, dan membebatnya dengan perban.

"Alhamdulillah, sudah selesai Mas!" seru Sekar tampak senang. 

"Huh..lain kali jangan dekat-dekat aku lagi !, aku jadi selalu apes, kalau ada di dekatmu!" ketusnya, kesal.

"Iya Maaf Mas, lagian tadi kan Mas Niko yang nabrak saya." ucapnya masih membela diri.

"Kamu?!" Niko melotot ke arah gadis itu, membuat Sekar jadi ketakutan.

"Buruan beresin! ngeselin banget jadi orang!" 

***

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status