"Mari Ibu Riri Novianti Wicaksono, silahkan naik keatas panggung, dan sambut kedua orangtua kandung Ibu Riri," ucapan pembawa acara menghentikan gelak tawa yang riuh dari para warga. Sementara aku masih tak menyangka jika aku tidak bermimpi, aku menoleh ke arah Citra dan ternyata Citra sudah menatap haru kearahku, begitu juga dengan Bu Tiar, sementara itu Zahra masih diam karena tidak paham dengan apa yang sudah terjadi. "Cit, " ucapku memanggil nama Citra, masih kurasakan tanganku gemetar saat mencoba memegang tangan Citra. "Naiklah Ri, mungkin sudah saatnya Tuhan menaikkan derajat keluargamu, kita tidak pernah tahu apa rencana terbaik yang Tuhan kasih untuk kita, " ucap Citra bijak padaku. Sebelum aku memutuskan untuk naik keatas panggung, aku terlebih dahulu memeluk Citra, sahabat sejati, yang sudi menemaniku disaat hinaan dan cacian menerpa keluargaku. Hanya dia yang masih mau menjadi teman terbaikku bahkan sudah kuanggap sebagai seorang kakak. "Naiklah, orang tua kandungmu
"Riri, ayo kita makan dulu, udah dulu kangen-kangen nya, dilanjut nanti lagi, Papa udah laper nih, " ucap Papa sembari mengelus perutnya yang buncit. "Emm, Pa, boleh aku ajak sahabat aku? " tanyaku pada Papa. "Boleh dong Sayang, silahkan saja, terserah kamu mau ajak berapa orang yang kamu mau. " "Makasih ya, Pa. " Aku pun turun dari panggung dan menghampiri Citra dan Bu Tiar. Kutinggalkan Zahra yang masih dalam gendongan Papa, aku biarkan mereka menuangkan rasa rindu yang membuncah pada cucunya. "Citra ayo kita makan bareng, aku udah laper. " "Aku makan sama yang lain aja Ri, gak enak takut ganggu. " "Kamu ini kayak sama siapa aja. Biasanya juga selonang selonong." "Kan beda Ri, Riri yang sekarang adalah seorang jutawan, anak pengusaha." "Kamu nih apa-apaan sih, Aku ya tetap Riri yang dulu, gak pernah berubah, udah ayo ikut, pokoknya gak boleh nolak. " "Yaudah deh, ayo, Bu, " ucap Citra pada Bu Tiar. Saat aku, Citra dan Bu Tiar akan menghampiri Papa, Mama dan juga Zahra yan
Orang Tua kalian meminta uang berjumlah 500 juta dengan dalih ingin membuat rumah untuk Riri, yang namanya saya sebagai orang tua tentu setuju dengan usulan orang tua kalian, tapi ternyata saya terlalu bodoh, orang tua kalian itu tak jauh beda liciknya dengan kalian, selama ini saya sudah ditipu mentah-mentah, padahal saya sudah percaya sepenuhnya sama mereka, orang tua kalian berfoya-foya dengan uang yang selalu saya kirim setiap bulannya yakni 10 juta rupiah untuk Riri, tapi nyatanya, Riri mereka abaikan, bahkan Riri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah terlebih dahulu jika ingin makan. Dan hingga saat kalian semua di boyong ke kota ini barulah keluarga saya terputus kontak dengan orang tua kalian, dan kalau saya mau, bisa saja saya langsung mengambil kembali rumah yang kalian tempati dan mengusir kalian dari sana. Jadi sebetulnya yang miskin itu bukan Riri, tapi kalian lah si miskin yang tak tahu diri itu. " Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya, jadi ternyata Mas Tio dan M
"Iya, Bu. " Aku berjalan menuju pintu depan dengan meninggalkan Zahra sendiri didalam kamar. Kubuka perlahan pintu rumahku, lalu aku melongokkan kepalaku keluar untuk melihat siapa yang datang. "Mas Tio, Mbak Tiwi, Dea? Mau apa mereka kemari? " gumamku dalam hati. "Riri, boleh kami masuk? " ucap Mas Tio memecah lamunanku. " "Ah iya boleh, Mas, silahkan, " aku mempersilahkan masuk mereka dan sedikit menggeser tubuhku ke samping agar mereka bisa masuk kedalam rumahku. "Maaf, Mas, Mbak, ada apa ya kesini? " ucapku membuka percakapan. Entah kenapa perasaanku sedikit tidak enak dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba kerumahku. "Kami kesini mau pinjam uang 200 juta sama kamu, Ri," ucap Mas Tio. Sontak saja mataku terbelalak saat mendengar ucapannya. Ternyata benar firasatku. Mereka kesini pasti ada maunya. "Iya, Ri, kami butuh untuk bayar cicilan mobil, sudah nunggak dua bulan, kalau tidak dibayar nanti mobil kami ditarik, tolonglah kami, Ri, uang segitu tentu sangat kecil bagim
Hari ini rencananya Mama dan Papa mau datang kerumahku ini, jadi pagi ini juga aku akan masak spesial untuk menyambut mereka. Dengan sangat terpaksa aku belanja di warung Bu Ida, karena hanya itu satu-satunya warung terdekat dari rumahku ini, ada sih warung lain, tapi aku harus menempuh jarak satu kilo, jika aku beli di warung yang jauh itu takut tak terburu waktunya. Tadinya aku mau mengajak Citra berbelanja juga, tapi hari ini Citra baru saja masuk kerja di pabrik, jadilah dia tak bisa menemaniku. Seandainya pabrik itu bukan milikku mungkin hari ini aku juga sama seperti Citra yang sudah harus berangkat kerja pagi dan menitipkan Zahra pada Bu Tiar. Setelah acara syukuran itu, tentu saja statusku sudah bukan lagi pekerja disana melainkan sebagai pemilik. Dan kata Mama dan Papa, minggu depan saja aku datang ke kantor pabriknya untuk mempelajari bagaimana caranya memimpin dengan benar, jadilah untuk sekarang ini aku tidak ada kerjaan. Oh iya aku juga sudah berhenti bekerja menjadi a
"Total semua 150 ribu rupiah. " jawaban Bu Ida membuat mataku membelalak, bagaimana bisa belanjaan yang kalau dijumlah paling mahal hanya tujuh puluh ribu rupiah saja, dan ini bisa habis 150 ribu? "Maaf Bu Ida, kenapa mahal sekali? Setahuku semua itu paling mahal habis sekitar 70.000 rupiah saja, aap Bu Ida gak salah hitung? " "Alah, Ri, uang segitu bagi kamu mah gak ada artinya lagi kan, apa salahnya sedekah sama tetangga. " "Memangnya Bu Ida fakir miskin yang harus disedekahi? " cukup sudah, geram rasanya menghadapi manusia tak tahu malu seperti Bu Ida ini. "Apa harus selalu dengan fakir miskin orang bersedekah? Sama tetangga kan juga sedekah namanya, Ri, jangan pelit jadi orang, orang pelit itu kuburannya sempit tau. " "Eh Mbak Ida, orang sedekah juga gak begitu kali, yang namanya sedekah itu ngasih cuma-cuma, lha ini masalahnya Mbak Riri itu belanja sama sampean, kenapa sampean naikin harganya gak wajar begitu! " sentak Mbok Jum. "Eh Nenek peot nimbrung aja sih dari tadi,
Aku dan Mbok Jum tak menghiraukan pekikan Bu Ida, sebelum aku dan Mbok Jum beranjak dari warung Bu Ida, sempat kulihat Ibu-Ibu yang lain juga pada gak jadi belanja disana, ya baguslah, biar orang kayak Bu Ida itu tau diri. *** "Yang sabar ya Nduk, Mbak Ida memang orangnya begitu, doakan saja semoga cepat sadar dia. " "Iya Mbok Jum, Riri udah terbiasa kok sama perlakuan Bu Ida, udah biasa dihina, jadi udah kebal, makasih ya Mbok udah bantuin Riri tadi. " "Orang kayak Ida itu memang harus dikasih pelajaran Mbak Riri, biar gak seenaknya memperlakukan orang lain. " Karena kami berdua berjalan sembari mengobrol hingga tak terasa kami sudah sampai di warung lainnya. *** "Baunya harum banget, Bu, Zahra jadi laper," ucap Zahra tiba-tiba saat aku tengah memasak di dapur. "Zahra laper? " Zahra mengangguk sebagai jawaban iya atas pertanyaanku. "Sabar ya, Nak, Oma dan Opa mau kesini, kita tunggu mereka datang ya, dan kita makan sama-sama nanti. " "Oma sama Opa mau datang, Bu? Asiiiik
"Ah, gak apa Ri, dulu sebelum Mama dan Papa memimpin perusahaan kakek kamu juga tinggal di rumah kontrakan persis seperti rumahmu ini. "akhirnya aku, Mama, Papa dan juga Zahra menikmati makan siang dengan khidmat. *** Kini aku tengah berada di dalam mobil bersama Mama, Papa, dan Zahra, kami berniat menuju mall besar di kotaku ini, karena memang sebelumnya aku dan Zahra belum pernah sekalipun masuk ke dalam mall. Keceriaan Zahra mengiringi perjalanan kami, dia sangat antusias sekali karena memang ini adalah yang pertama baginya, aku yang melihatnya tentu saja sangat bahagia. Terima kasih ya Allah sudah memberikan rezeki tak terduga seperti ini. Tapi meskipun rezekiku sudah bertambah, lantas tak membuat aku menjadi gelap mata dan menggunakan uang yang Mama dan Papa berikan untuk berfoya-foya. Karena menurutku sebanyak apapun harta kita jika digunakan untuk berfoya-foya pasti akan habis juga. Belum lagi masalah ku dengan orang-orang yang pernah menghinaku sebelumnya. Memang sih, me