"Ran ..." Rania langsung menepis tangan suaminya."MENYINGKIR DARI HADAPAN GUE!" tegasnya, tajam. "Gue enggak sudi, disen-tuh cowok pembohong kayak lu, Lan!" sambungnya, penuh penekanan dan kekecewaan yang mendalam.Erlan memijat keningnya, semakin sakit. Menatap Rania, lalu mengusap wajahnya, merasa frustasi."Ran, dengerin dulu penjelasan gue ..."Rania menatapnya nyalang, "enggak ada lagi yang perlu lu, jelasin!""Tempo hari, gue tanya soal kecelakaan bokap gue, tapi lu ... Bilangnya enggak tau apa-apa ...""Terus sekarang, kenapa wartawan itu bilang, kalau bokap gue penghianat?!"Lagi-lagi, Rania mengungkit soal perkataan wartawan beberapa waktu lalu. Erlan benar-benar kehabisan kata-kata. Entah harus memulainya dari mana? Bagaimana menjelaskannya? Soal kecelakaan itu, semuanya terjadinya diluar kendalinya."JAWAB GUE, LAN!""GUE BUTUH JAWABANNYA, LAN!"Tubuh Rania duduk terkulai lemas. Kedua kalinya tak mampu menopang berat badannya. Sungguh, jika menyangkut soal sang ayah, dun
"Lepasin tangan gue, Lan!" Rania sedikit menjerit, menarik tangannya dengan paksa.Erlan menghentikan ayunan kakinya. Keduanya saling menatap. Rania tak bisa menyembunyikan kekesalannya, sementara Erlan datar, tapi hatinya merasa dongkol, selalu ada saja biang kerok yang mengusiknya saat sedang bersama wanita yang sangat dicintainya itu."Bisa enggak si, kalau di sekolah enggak usah posesif kayak gini?" Rania sedikit meninggikan suaranya, kesal dan jengkel.Erlan diam."Gue enggak mau, yang lain tau kalau kita punya hubungan serius. Gue belum siap, kalau semua orang tau, kalau gue ini istri dari Erlan Davian," dengus-nya, memalingkan wajah.Rania memelankan suaranya, tak mau orang lain mendengar pengakuannya barusan. "Terus?" tanya Erlan datar, melipat kedua tangannya di dada. Rania terperangah, selanjutnya, "Iya ..." Dia tergagap, tidak tau harus menjawab apa?Erlan tersenyum mengejek, "iya apa?"Dia menghela napas panjang, "buat apa lu malu kayak gini ah? Toh, kenyataannya emang l
Hari berikutnya ...Erlan tersenyum lembut, sembari memandangi wajah polos istrinya yang masih terlelap. Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB, tapi Rania seakan enggan untuk meninggalkan dunia mimpi.Cukup lama Erlan memandangi Rania, kira-kira sudah setengah jam. Kendati demikian, dirinya tidak merasa bosan sama sekali. Tidak ada niatan untuk membangunkannya juga.Waktu telah berlalu hingga lima belas menit. Tampak, kedua mata Rania mulai berkedut-kedut. Erlan masih setia pada posisinya, menunggu sang istri benar-benar membuka matanya.Rania sedikit menggeliat, perlahan-lahan kedua matanya mulai terbuka.Kali ini, hal pertama yang Rania lihat, iyalah wajah tampan semuanya, sedang tersenyum lembut, begitu hangat."Morning, Sayang," ucap Erlan lembut, disertai senyuman berseri-seri.Rania melotot, kaget.Segera, dia menutupi wajahnya dengan selimut. Sangat malu. Erlan terkekeh kecil, melihat tingkah malu-malu istrinya.Kali ini, Erlan tidak kalu sungkan untuk menunjukkan cinta dan perhat
Malam harinya ...Rania, tertidur pulas, di samping ranjang, tempat Erlan berada. Tubuhnya duduk telungkup, kedua tangan dijadikan sebagai bantal. Erlan terbangun. Kedua matanya mengerjap, ketika menatap sang istri yang tertidur pulas di sampingnya. Helayan rambut, hitam legam itu, sedikit menutupi wajah Rania. Erlan menggerakkan jari jemarinya untuk menyingkirkan rambut yang mengganggu itu.Erlan tersenyum tipis, wajah polos istrinya tanpa polesan make terlihat begitu indah. Wajah tenang Rania, seakan membawa ehangatan dalam raganya. Erlan melihat jam dinding yang terpajang di sana. Waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Rania sedikit menggeliat. Erlan diam, terus memandanginya tanpa lelah.Perlahan-lahan, Erlan beranjak, turun dari ranjang. Sesekali dia melihat Rania, memastikan gerakannya tak membuat sang istri terbangun.Erlan telah menapak pada lantai. Dia berjalan menuju sofa. Tangannya mengambil selimut yang masih terlipat rapih.Erlan kembali ke tempatnya. Tidak merebahkan tub
DOOORRRR "EERRRLANNN!"BRUK! Tubuh Erlan ambruk. Rania memangkunya. Tubuhnya sangat berkeringat, bercampur air mata yang mengalir deras. "Lan, bangun, Lan! Jangan tinggalin gue sendiri di sini! Kalau lu pergi, nanti gue sama siapa?" Tangis Rania pecah seraya memeluk Erlan yang sudah tidak sadarkan diri, bersimbah darah. "Nanti siapa yang ngajak gue ribut, Lan, kalau bukan lu?" Dia menepuk-nepuk pipi suaminya, berharap ini hanya halusinasi saja. "Please! Bangun, Lan.""Gue mohon." "Jangan bikin gue kesepian lagi, Lan. Gue baru sebentar ngerasain bahagia, bareng lu. Kalau lu pergi, nanti gue sama siapa? Enggak ada yang bikin bikin gue bahagia selain lu, Lan."Rania meraung seraya memeluk wajah Erlan. Setiap detik yang terlewat, ia merasakan kesedihan begitu dalam. BRAK!"ERLAN!" "TUAN MUDA!"Aldo, Boy dan yang lainnya, akhirnya datang. Mereka berlari, segera mengangkat tubuh Erlan yang sudah tak sadarkan diri.||•||"AAAAAAAAA!!!!!" Pemuda itu, dengan penuh kemarahan, ia menya
Erlan menggenggam kedua pergelangan tangan istrinya, menekannya dan tersenyum penuh kemenangan. Sementara Rania terpejam, pasrah.Ekspresi takut istrinya membuat Erlan ingin tertawa. Terlihat lucu."Ayo, gue siap," kata Rania, sedikit meringis.Erlan menahan tawa. Kemudian dia melepaskan istrinya, turun dari ranjang.Rania membuka matanya, heran. Dia lantas beranjak bangun, menatap suaminya yang berdiri di hadapannya sambil melipat kedua tangan di dada.Suasana menjadi canggung. Rania bingung harus bicara apa?"Gue bakalan tagih janji itu nanti. Buat gue, enggak masalah kalau harus menunggu ..." Erlan menjeda kaliamatnya, lalu mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan Rania, "karena menunggu itu, akan terasa menyenangkan." Dia tersenyum tipis, penuh makna.Rania bergidik ngeri. Tau, maksud dari 'Menunggu itu terasa menyenangkan?' Bayangkan saja ... Hahaha....Rania buru-buru bangun dari ranjang."Gue pergi dulu," katanya, canggung, hanya menatap sekilas suaminya."Mau pergi kema