Sementara itu, di tempat terpisah. Leni, sedang berada di ruangan Desi, tertunduk, tak berani menatap Desi secara langsung."Bu, saya izin pulang duluan. Biasa, saya harus mengurus adik saya, Bu," lapor Leni, penuh kehati-hatian.Desi mengangkat kepalanya. "Iya. Kamu boleh pulang." Dia tersenyum lembut, tanpa sedikitpun kecurigaan. "Hati-hati di jalan. Salam buat adik kamu.""Iya, Bu. Terima kasih. Nanti saya akan sampaikan salam Bu Desi kepada Adik saya."Desi mengangguk paham. Begitu juga dengan Leni. Dirasa urusannya telah selesai, Leni pun segera melenggang pergi dari ruangan tersebut.Jika dibandingkan dengan staf yang lain, hanya Leni saja pulang lebih awal. Dikarenakan dia harus mengurus rumah dan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah SMP.Leni tampak berjalan meninggalkan butik milik Desi. Sementara itu, dari jarak lima puluh meter dari butik, Aldo dan Rangga sedang mengintai.Dua pemuda ganteng penuh pesona itu, mendapat perintah dari Erlan, untuk memantau gerak gerik L
"Ayo, pulang bareng gue!" tegas Erlan, disertai tatapan tajam. Tangan kanannya mencengkram pergelangan tangan Rania."Enggak!""Gue, enggak mau pulang bareng lu!" Rania menarik tangannya dengan kasar, sekuat tenaga, sehingga bisa lepas dari cengkraman Erlan."Gue, bakalan pulang bareng Pak Ravi!" tegasnya, lalu meraih tangan Ravi dan menjauh dari Erlan.Tepat detik itu juga, waktu seakan berjalan lambat. Erlan bisa merasakan dan melihat, bagaimana Rania melepaskan tangannya, lalu meraih tangan pria lain tepat di depan matanya.Perasaan aneh, menerobos dengan kuas, masuk ke dalam hati kecilnya.Mungkinkah itu rasa cemburu?Mungkin juga perasaan marah. Marah karena wanitanya rela pergi dengan pria lain, tepat di depan matanya."Ayo, Pak!" ajak Rania, sembari menunjukkan senyuman sinis terhadap Erlan. Ravi tersenyum simpul, "baik. Mari!" Tentu ia bersemangat dalam hal ini. Bisa dikatakan, sangat menanti. Namun, sebelum Rania bisa melangkah lebih jauh, Erlan kembali meraih tangannya."L
Rania kembali ke kelas. Ingin rasanya ia pergi dari sekolah ini, bila perlu pindah dari planet Bumi, menetap di planet lain jika memungkinkan agar bisa jauh dari tatapan mereka, yang menatapnya heran. Berulang kali, Rania menghela napas panjang. Dia berjalan menuju tempat duduknya. Eva dengan setia menemani. Namun, gadis cantik delapan belas tahun itu, memiliki jutaan pertanyaan yang terus mengusik pikirannya."Lu, enggak apa-apa kan, Ran?" tanya Eva memastikan. Tampak oleh netranya, Rania terus saja menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahnya, dari semua pasang mata. Eva menyentuh bahu sahabatnya. Rania berusaha untuk menunjukkan senyuman yang sangat dipaksakan."Gue enggak apa-apa," jawabnya, berusaha tenang dan bersikap biasa-biasa saja, seolah apa yang baru saja terjadi, tidak pernah ada."Gue tahu lu, Ran. Gue bisa ngerasain apa yang saat ini lu rasain. Gue siap buat dengerin semua cerita lu, Ran.""Thanks, Va, tapi gue beneran, baik-baik aja kok," jawab Rania, kemudian memali
Rania dan Eva akhirnya berdiri di pinggir lapangan basket. Sorot mata Rania tidak bisa lepas dari sosok pemuda sembilan belas tahun, berstatus suaminya itu. "Ran, kok gue takut kalau Erlan bakalan bikin si Andri kenapa-kenapa?" bisik Eva, tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya, saat melihat sorot mata Erlan yang begitu tajam."Bukan lu aja yang gemas. Gue juga ikut takut. Lu, mungkin belum kenal Erlan gimana, tapi gue udah kenal watak dia. Mungkin dari luarnya aja, kelihatan kalem, tapi aslinya enggak sekalem yang terlihat."Helaan napas, lolos begitu saja dari mulut Rania. Eva menaikkan sebelah alisnya, mencoba mengartikan maksud ucapan Rania secara detail.Sementara itu. Erlan dan Andri sudah saling menatap tajam satu sama lain. Para gadis terus bersorak, menyebut nama Erlan. Tidak sedikit juga yang memberi semangat kepada Andri."Lu, maju duluan," ucap Andri penuh percaya diri.Erlan menyeringai kecil. "Mending lu aja yang duluan. Gue takut, kalau gue duluan, lu bakalan tumbang du
Hari berikutnya di sekolah.Sesampainya di sekolah, Eva langsung menghadang setibanya Rania di kelas."Kenapa baru sampe?" tanya Eva, tak bisa menyembunyikan kecemasan dari wajahnya."Itu ..." Sebelum Rania bisa menjelaskan, Eva sudah lebih dulu menarik tangannya. "Lu, mau ngajak gue kemana?" Rania merasa heran. Tiba-tiba Eva mengajaknya ke suatu tempat tanpa adanya penjelasan.Jangan-jangan?"Udah, lu diem aja. Entar juga lu tahu sendiri," kata Eva, terus menarik Rania.Mendadak firasat Rania menjadi buruk. Masih hangat dalam ingatannya, kejadian di hari itu, tentang scandal yang terjadi antara dirinya, Erlan dan Dokter Ravi. Hal tersebut, mambuat satu sekolah heboh. Tidak sedikit yang mengucilkan Rania. Namun, ia memilih untuk tidak memusingkan tentang berita tersebut. Toh, faktanya ia memang istrinya Erlan. Sah, secara hukum dan agama."Kita mau ngapain ke lapangan basket?" tanya Rania semakin keheranan, lantaran Eva menariknya menuju GOR olahraga.Di dalam GOR, ternyata sudah di
"Mau pergi kemana?" tanya Erlan tanpa berkedip."Apa?" Rania mengejap cepat. Mendadak, kepalanya merasa kosong. Posisinya yang berada di atas pangkuan Erlan, membuat suasana menjadi sangat canggung. "Gue tanya. Kenapa lu balik tanya?" Erlan masih bisa mengendalikan pikirannya, sehingga bersikap datar dan biasa-biasa saja. Sementara Rania masih terpaku hingga beberapa saat kemudian.Menyadari hal aneh, Rania buru-buru beranjak bangun."Dasar cowok mesum," tuduhnya bernada sewot, memalingkan wajahnya menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.Erlan mengerutkan kening. "Lu bilang apa barusan? Gue mesum?"Kemudian beranjak bangun. "Lu aja kali yang mesum."Rania berbalik badan, menatap tajam suaminya. Deg ...Semula ingin marah, tetapi amarah itu berganti perasaan aneh saat tatapannya dan Erlan bertemu dalam satu garis lurus."Lu mau apa?" Erlan yang gemas dengan tingkah polos Rania, langsung saja menarik pinggang mungil istrinya.Kedua mata Rania seolah ingin melompat dari tempatnya.