"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania.
"Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania. "Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu. "Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka. "Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania. "Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar. "Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras. "Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadapan Desi. Dia melirik tajam ke arah Rania yang memasang wajah kesal sekaligus geram. "Udah gitu, dia jatuhin helm aku, Mom. Terus dia pergi gitu aja, enggak pake maaf." Erlan pun menambahkan sambil memasang senyuman penuh kemenangan. Seringai itu, mambuat Rania sangat kesal sampai-sampai dia ingin sekali menarik rambut Erlan dan mendorong pemuda itu dari atas gedung. Vera pun menahan Rania dengan tangan kanannya, supaya anak gadisnya itu tidak mengambil tindakan balasan untuk melawan Erlan. Gadis belia itu menatap Vera dengan raut wajah kesal, sedangkan Vera menggelengkan kepalanya beberapa kali, isyarat kepada Rania untuk tidak melakukan hal konyol seperti yang biasa Rania lakukan untuk membela dirinya. Rania tidak menutupi kekesalannya. Kenapa harus dihentikan? Kenapa tidak dibiarkan langsung duel saja? "Pokoknya, Erlan enggak mau nikah sama dia, Mom. Titik!" tegas Erlan sambil menatap tajam Rania. Begitu juga sebaliknya. Rania merasa jengkel dengan nasib yang sedang memainkannya sekarang. "Kenapa enggak mau? Rania anak yang baik. Mommy tidak mungkin salah memilih calon untuk kamu, Sayang." "Baik apanya, Mom? Mukanya aja yang kelihatan polos, tapi kelakuannya menyamai preman di jalanan," ejek Erlan secara gamblang. Rania melebarkan matanya spontan, sedangkan Desi semakin geram dibuatnya. "Erlan! Sudah cukup! Bicara kamu sudah sangat keterlaluan. Cepat minta maaf kepada Rania!" "Tapi, Mom ..." "Tidak ada tapi-tapi! Cepat, minta maaf sekarang juga!" tegas Desi dengan tatapan nyalang, yang membuat Erlan semakin jengkel kepada Rania. "Erlan!" Desi kembali meninggikan suaranya, sebab putranya itu masih diam membisu. "Sudah, Jeng Desi. Jangan dipaksakan." Vera pun datang mendekat, mencoba untuk meredam kemarahan Desi. "Ini, sepenuhnya bukan salah Erlan. Rania juga salah karena tidak memperhatikan jalan saat di sekolah, sehingga tidak sengaja Erlan hampir menabraknya." Rania hanya diam, ketika wanita berstatus ibu tirinya itu, balik menyalahkan dirinya. "Rania tidak salah, Jeng. Sudah jelas-jelas Erlan lah yang keterlaluan. Dia berani menghina Rania dan menjelekkannya. Saya sebagai ibunya tidak senang dengan kelakuan anak yang tidak bisa menjaga ucapannya." "Erlan! Cepat minta maaf pada Rania!" Desi mengulangi perintahnya. Erlan membuang napas panjang, kemudian dia mendekati Rania. Selanjutnya menyodorkan tangan kanannya. "Gue minta maaf," ungkapnya dengan nada malas. "Pakai bahwa yang benar. Jangan lu gue! Rania itu, calon istri kamu. Jadi, kamu harus memperlakukan dia dengan baik!" tegas Desi memberi peringatan. Lagi-lagi, Erlan membuang napas panjang. "Aku minta maaf." Meksipun terucap kata maaf, tapi hatinya tetap dongkol. Erlan melihat Rania dari ujung rambut hingga ujung kaki, menandai gadis belia itu, sebagai seseorang yang harus dirinya buat perhitungan. "Gimana, Sayang. Kamu mau kan maafin Erlan?" Sekarang giliran Rania yang menjadi pusat perhatian. Desi tersenyum lembut kepada calon menantunya itu. Ini kali kedua dirinya bertemu Rania. Entah kenapa, hatinya telah sreg dengan gadis belia itu? "Heum ... Iya, Tan. Rania maafin kok." Gadis belia itu hanya menjawab singkat. Sedangkan Erlan sesekali membuang pandangannya dan tersenyum sinis. Tidak menutupi kekesalannya di hadapan semua orang. "Nah, begitu dong akur, kan enak dilihatnya." Desi mendekati dua remaja belia, yang memiliki watak saling bertolak belakang itu. "Mommy harap, kalian terus akur seperti ini bukan sekarang saja, tetapi sampai nanti-nanti pun, kalian harus tetap akur," pesan Desi kepada Rania dan Erlan. Namun, ekspresi keduanya tampak tidak bersahabat, walau keduanya sama-sama menunjukkan sedikit senyuman. "Kalian harus bisa saling melengkapi satu sama lain, sebagai suami istri." Desi menggenggam tangan Erlan dan Rania. Kemudian dia menyatukan kedua tangan itu, sekaligus memberi restunya. "Mommy dan Jeng Vera, sudah sama-sama sepakat. Pernikahan kalian akan dilangsungkan satu bulan dari sekarang," ungkap Desi antusias. "A-pa?" Keduanya terkejut bukan main. "Mom, enggak bisa gini dong." Erlan menarik tangannya dari genggaman Desi. Memikat keningnya yang tiba-tiba sakit. "Tan, aku enggak setuju kalau pernikahannya bulan besok. Aku masih pengen sekolah. Aku enggak mau semua orang tahu, kalau aku udah nikah. Bisa enggak pernikahannya ditunda dulu gitu, sampai aku lulus sekolah atau nanti beberapa tahun lagi gitu?" Rania lantas melayangkan penolakan secara halus, secara dirinya masih ingin menikmati masa mudanya dan terlebih lagi dirinya masih sekolah, tinggal beberapa bulan lagi untuk bisa lulus. "Seandainya aku tahu, pernikahannya bulan besok, aku menolak permintaan Mommy. Semuanya terlalu cepat, Mom." Erlan menyahut dengan nada kesal. Tidak menyembunyikan kekecewaannya atas keputusan wanita yang telah melahirkannya itu. Desi melihat kedua remaja belia itu bergantian. "Terserah, apa alasan kalian, pokoknya Mommy tetap mau pernikahan ini dilakukan satu bulan dari sekarang. Titik! Tidak ada yang bisa mengubah keputusan Mommy. Kamu maupun Rania!" Desi berucap sangat tegas. Erlan sudah membuka mulutnya. Namun, detik itu juga Desi mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa tidak ada yang boleh menyela dan mengubah keputusannya. "Mommy, sudah menyiapkan semuanya. Jadi, kalian tidak bisa mengubah keputusan Mommy. Kalian mengerti!" Desi sekali lagi menegaskan keputusannya. Erlan dan Rania tidak bisa berkata-kata.Entah dari mana Erlan datang. Kedatangannya mengejutkan Rania dan Ravi.Dia secara terang-terangan mendorong hadiah tersebut dengan kasar sehingga jatuh ke tanah. Ravi terperangah untuk beberapa saat."Erlan?" Rania tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sedangkan Ravi masih diam."Erlan ... Ka-mu di si-sini. Bagaimana bi-sa?" tanya Rania terbata-bata. Wajah ketakutan tidak bisa dia sembunyikan, persis maling yang kepergok habis mencuri ayam warga.Erlan tidak menjawab, dia langsung menarik pergelangan tangan Rania sambil menjatuhkan tatapan tajam penuh kemarahan, yang bisa Rania rasakan."Tunggu!" Ravi menahan tangan Erlan yang satunya.Dia yang merasa tidak bersalah, malah sedikit kesal karena hadiahnya dibanting tanpa sebab, tampak menatap Erlan penuh tanda tanya."Minggir dari jalan gue!" tegas Erlan tanpa menyembunyikan kemarahannya."Maaf? Apa salah saya sampai-sampai kamu menjatuhkan hadiah saya?" tanya Ravi polos. Dia bukannya tidak ingat, tetapi Ravi merasa harus mengeta
"Ni! Ganti plester di jidat lu!" kata Rania sambil menyodorkan sebuah plester yang masih terbungkus rapih.Erlan melihatnya sekilas, kembali membuang pandangannya. "Gue enggak perlu itu!" tegasnya seraya mengibaskan tangan."Enggak usah sok perhatian! Gue enggak butuh. Pergi sana!" tegasnya lagi, tanpa melirik Rania.Rania masih berada di posisinya, tampak menghela napas panjang. "Mommy yang suruh gue buat kasih ini ke lu!"Erlan tak menggubrisnya. Tetap memalingkan wajahnya, seolah-olah Rania tidak ada di sana.Rania kembali menghela napas panjang. Sepagi ini, dia harus meredam emosinya, demi satu cowok ngeselin yang keras kepala. Seandainya bukan karena permintaan Desi, Rania sangat tidak mungkin memberikan sesuatu kepada cowok. Rania meletakkan plester itu di atas meja dan sedikit menggebraknya."Ni, plaster! Terserah lu mau pake atau enggak! Gue cuma ngejalanin apa yang seharusnya gue jalanin!" Selanjutnya dia melenggang pergi dari sana. Kembali duduk di kursinya. Tindakannya me
"Ni! Ganti plester di jidat lu!" kata Rania sambil menyodorkan sebuah plester yang masih terbungkus rapih.Erlan melihatnya sekilas, kembali membuang pandangannya. "Gue enggak perlu itu!" tegasnya seraya mengibaskan tangan."Enggak usah sok perhatian! Gue enggak butuh. Pergi sana!" tegasnya lagi, tanpa melirik Rania.Rania masih berada di posisinya, tampak menghela napas panjang. "Mommy yang suruh gue buat kasih ini ke lu!"Erlan tak menggubrisnya. Tetap memalingkan wajahnya, seolah-olah Rania tidak ada di sana.Rania kembali menghela napas panjang. Sepagi ini, dia harus meredam emosinya, demi satu cowok ngeselin yang keras kepala. Seandainya bukan karena permintaan Desi, Rania sangat tidak mungkin memberikan sesuatu kepada cowok. Rania meletakkan plester itu di atas meja dan sedikit menggebraknya."Ni, plaster! Terserah lu mau pake atau enggak! Gue cuma ngejalanin apa yang seharusnya gue jalanin!" Selanjutnya dia melenggang pergi dari sana. Kembali duduk di kursinya. Tindakannya me
Setengah jam kemudian. Desi sudah sampai di rumah setelah mendapat kabar dari Aldo. Buru-buru dia masuk ke rumah. Di ruang tengah, Erlan dan yang lainnya berada di sana. "Gue obatin luka lu," kata Aldo mencoba untuk memberikan obat merah ke wajah Erlan yang babak belur. "Enggak usah!" tegas Erlan sambil menepis tangan Aldo. Sementara itu. "Erlan!" teriak Desi, langsung menghampiri sang putra yang duduk di sofa. Aldo pun beranjak bangun, kemudian mundur beberapa langkah ke belakang, membiarkan ibu dan anak itu saling bertemu. "Apa yang terjadi? Kata Aldo, kamu mengalami kecelakaan. Bagaimana bisa?" tanya Desi penuh kekhawatiran sambil meraba-raba wajah Erlan yang babak belur akibat berduel dengan Aldo siang ini. "Erlan nabrak pohon, Tan," timpal Aldo cepat. "Apa? Dia nabrak pohon?" Rania menutup mulutnya dengan kedua tangan, hampir kelepasan, menertawakan Erlan yang baru saja mengalami musibah. Semua orang meliriknya sekilas, sedangkan Rania tersenyum canggung, merasa bersala
"Erlan ..." Desi memelas saat jarak antara dirinya dan sang putra kurang lebih lima meter.Erlan menoleh, tidak jadi naik motor. Tatapannya kembali menyala, menggambarkan api kemarahan yang sulit untuk dipadamkan."Ayo, Nak. Kita pulang." Desi memohon. "Mommy akan temani kamu. Kita pulang, yuk!" bujuknya kemudian mendekat.Erlan membuang pandangannya seraya menyeringai sinis dan menghela napas berat. "Mommy ngapain si ke sini segala? Ngapain Mommy nyariin aku? Selama ini, Mommy enggak pernah peduli sama aku!" "Mau aku enggak pulang satu bulan sekalipun, Mommya enggak pernah tuh nyariin aku.""Jangan ngomong gitu, Sayang. Mommy sangat menyayangi kamu, Nak. Mommy peduli. Setiap saat Mommy peduli kepada kamu, Nak. Hanya saja kamu tidak bisa merasakan kasih sayang Mommy."Rania memerhatikan pasangan ibu dan anak itu dari kejauhan. Di sini, dirinya melihat bagaimana seorang ibu sedang mengemis belas kasian dari anaknya. Meminta putranya untuk pulang ke rumah. Namun, tanggapan anaknya sep
[Roy! Cerita cari Erlan. Dia pergi dari rumah dalam keadaan marah.][Dia juga habis berduel dengan Aldo. Tolong kamu cari dia sampai ketemu. Saya takut dia kenapa-kenapa.] Ucap Desi cemas, dengan seseorang yang ada di ujung sambungan telepon.[Erlan tidak membawa ponselnya. Tolong kau lacak dan temukan keberadaannya bagaimanapun juga!] cerocos Desi.[Baik, Nyonya. Saya akan cari keberadaan Tuan Muda. Nyonya tenang saja.]Tak lama kemudian, sambungan telponnya berakhir. Tangannya bergetar saat menggengam benda pintarnya. Desi kemudian menghubungi nomor yang lain. Cukup lama ia menunggu, hanya terdengar dering kecil di sana.Wanita empat puluhan tahun yang masih tampak muda itu, mencoba menghubungi Aldo kembali. Kali ini ada yang menjawabnya.[Aldo! Tolong Tante. Erlan pergi dari rumah dengan penuh kemarahan. Dia naik motor tanpa membawa ponselnya.][Tante sangat takut dia kenapa-kenapa di jalan. Tolong cariin Erlan ya, Aldo. Tante mohon.][Astaga, Tan.][Ok, Tante. Aldo akan cari Erla
"Erlannnn! Cukup, Nak!" teriak Desi sangat kencang."Apa, Mom? Kenapa Mommy halangi Erlan buat mengatakan semuanya? Kenapa, Mom? Apa Mommy malu untuk mengakui, kalau pria bodoh itu, lebih mencintai istri orang ketimbang istrinya sendiri?" Suara Erlan tidak kalah menggebu-gebunya dari Desi. "Erlannnn!!!" Desi kembali berteriak.Rania mengangkat kepalanya. Menatap Desi yang sedang menatap nanar putra semata wayangnya. Gadis mungil itu, sedikit menebak bahwa pria bodoh yang disinggung Erlan, tidak lain adalah Tuan Davian, yang sudah tiada."Mommy, kenapa nutupin kebenarannya dari dia? Erlan tahu, Mommy pasti mau bilang kan, kalau wanita yang melahirkan dia, bukanlah plakor!" tunjuk Erlan, menatap Rania penuh dendam yang membuncah di dalam dada.PLAAAAAKKKK...Satu hamparan keras mendarat sempurna di pipi Erlan. Desi yang telah melakukannya. Saking kencangnya tamparan sampai meninggalkan bekas nyeri dan merah."Cukup! Mommy, sudah katakan! Cukup! Apa yang kamu tahu, tidaklah benar! Kebe
"Akhirnya, setelah empat tahun berjuang, Ayahnya Erlan mampu mewujudkan impiannya. Dia berhasil membangun sebuah bisnis yang sejak lama diinginkannya," kata Desi, memulai kembali ceritanya."Apa selama itu, Mommy terus mendampinginya?" tanya Rania penasaran.Desi mengangguk pelan, "iya, Sayang. Selama itu juga, kami tidak mengetahui kabar tentang Bundamu di sana. Dia seolah-olah telah hilang dari kehidupan kami. Tidak ada yang membahas tentang Bundamu lagi. Walaupun begitu, cinta yang ada di dalam hati Tuan Davian untuk Bundamu tidak sedikitpun berkurang."Desi kembali menghela napas berat. Selang beberapa detik, dia pun tersenyum tipis. Tatapannya seolah sedang menyusun kepingan ingatan yang hampir ia lupakan."Apa Mommy pernah merasa cemburu saat itu? Padahal kan yang menemani Tuan Davian adalah Mommy dan bukan Bundaku, tetapi mengapa dia terus mencintai seseorang yang mungkin sama sekali tidak pernah memikirkannya?" Pertanyaan Rania membuat Desi kembali mengukir senyuman tipis. Di
Kira-kira satu jam kemudian. Desi mengajak Rania untuk keluar kamar, meninggalkan Erlan di sana untuk bisa beristirahat."Maafkan Mommy, Sayang. Tidak sepatutnya kamu melihat semua ini." Desi memelas sambil menggenggam tangan Rania penuh rasa penyesalan.Rania menggeleng, "enggak, Mom. Mommy enggak salah sama sekali dalam hal ini."Sekarang giliran Desi yang menggelengkan kepalanya. "Enggak, Sayang. Mommy salah besar. Seharusnya sejak awal Mommy katakan semua ini, tetapi Mommy malah menyembunyikannya dari kamu."Desi bahkan tidak memiliki keberanian untuk menatap kedua mata menantunya. Begitu malu dan hancur harga dirinya, ketika sosok asli putra semata wayangnya terlihat oleh Rania. "Seperti inilah Erlan. Setiap kali dia merasa marah, maka dia akan mengajak orang lain untuk berduel, hingga salah satu dari mereka ada yang tumbang. Erlan belum mau selesai, jika dari duel ini belum ada yang terluka parah. Sering kali, dia yang mengalami kekalahan," ungkap Desi dengan suara bergetar."E