Sesekali Andi menyapu helai rambut dengan sela-sela jari, menarik rambutnya sedikit melepas rasa pening di kepala. Dengus napas kerap terdengar berat, Andi tak bisa berkata-kata mendengar semua kebenaran tentang Aghata. Mengingat berapa banyak orang yang Aghata bunuh, tubuh Andi bergetar tanpa perintah.
“Apa kamu merasa takut padaku sekarang?” tanya Aghata menatap Andi.
Andi berdeham saat Aghata mengetahui keadaannya sekarang. “Ke-kenapa kamu tanya hal itu? Bukan bertanya aku kecewa atau tidak padamu?” tanya Andi sedikit gugup.
“Daripada kecewa sepertinya kamu menjadi takut padaku, sejak aku menyelimutimu saat di rumah sakit,” ucap Aghata membuat Andi tertegun.
Andi memalingkan wajahnya, kemudian melihat Aghata kembali. “Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
Aghata beranjak dari kursi. “Aku akan melacak markas Baron terlebih dulu, sulit untukku bernapas jika masih ada sampah yang berserakan.” Tangan Aghata membuka pintu, setelah itu berbalik ke belakang melihat Andi.
“Ayo! Aku traktir daging sapi sebagai rasa terima kasih sudah menyelamatkanku.”
***
Uap berasal dari panggangan berkabut di langit-langit atap, desis lemak dari daging memeriahkan restoran daging dekat rumah Aghata. Potongan daging berdesis ketika dipanggang terdengar menenangkan, sekaleng soda berada di atas meja untuk mengimbangkan lemak pada daging. Aghata dan Andi duduk bersebelahan memanggang daging. Makhluk kecil di perut Aghata terus berpesta sejak keluar dari rumah, ia memutuskan untuk memberi makan makhluk itu sekaligus mentraktir Andi.
Seling dua meja di kiri Aghata, seorang wanita dengan rambut pendek mengenakan seragam reporter tengah duduk bersama rekan laki-lakinya. “Apa kamu tahu? Aku jadi kesulitan menjalankan tugasku karena pembunuh misterius ... belakangan ini sering ditemukan mayat di tempat-tempat yang tak banyak orang datangi, dan anehnya lagi mayat itu merupakan kalangan pemeras hutang,” seru wanita itu dengan kening berkerut mengekspresikan perasaannya.
“Aku juga sering melihat beritanya ... aku ingat dengan satu berita tentang pengusaha kaya yang mati tertembak di dalam ruangan, ada banyak kartu bridge bertaburan di atas mayatnya ... memang hal itu bagus karena tidak ada rentenir lagi yang menagih hutang, akan tetapi pembunuhnya sangat meresahkan, bahkan pembunuhnya menghilangkan barang bukti,” imbuh lelaki di depan wanita berseragam reporter.
Di sisi lain Andi terus melirik Aghata, merasa takut jika Aghata harus meluncurkan sebuah peluru pada wanita itu karena membicarakannya. Akan tetapi Aghata hanya tak acuh, ia masih sibuk menyantap daging yang sudah matang. Mungkinkah ia berusaha meredam amarahnya?
Aghata sempat bergumam, “Rupanya mereka bukan mengungkap identitas dari si mayat ... melainkan mencari tahu siapa yang membunuhnya? Apa seharusnya aku juga memendam mayatnya, agar tidak ada berita yang meresahkan?”
“Kamu bilang sesuatu?” Andi merasa mendengar Aghata berbicara sesuatu dengan nada rendah.
Aghata melempar senyum, ia berkata, “Bukan apa-apa.”
Dengus napas Aghata terdengar berat, ia meminum soda dalam satu tegukan. Terlintas satu pertanyaan di otaknya, apakah dia salah jika membunuh seseorang? Tapi setelah dipikirkan kembali sepertinya tidak. Orang yang membunuh ibunya, bahkan bisa hidup dengan nyaman tanpa rasa bersalah.
Sudah 5 tahun, Aghata melatih dirinya sendiri, tanpa pelatih atau pembimbing. Hidupnya yang hanya sebatang kara, menjadikan Aghata wanita tangguh dan pemberani. Saudara? Apa itu? Ikatan persaudaraan telah tenggelam di kisah silam. Ia tak berniat untuk mengambilnya lagi, itu sama saja dengan menyelami dasar laut dan tak bisa membuat Aghata kembali ke tepi.
Tubuh Andi sedikit condong, wajahnya didekatkan ke telinga Aghata. “Untuk sementara kamu jangan keluar rumah dulu, kalau ada barang yang ingin kamu beli biar aku yang pergi,” bisik Andi. Kening Aghata berkerut melihat wajah Andi.
“Memangnya kenapa?” tanya Aghata terheran.
“Mereka pasti akan mencari pembunuh mayat-mayat itu, dan itu berbahaya untukmu ... sementara kamu tinggal di rumah beberapa hari atau beberapa minggu hingga situasi sudah membaik,” tutur Andi.
“Aku akan menurut,” ucap Aghata. Perlahan mulai timbul senyum di bibir Andi, ia tak menyangka kalau Aghata akan menuruti perintahnya. “Tapi mulai besok ... masih ada yang harus aku urus,” imbuh Aghata.
“Ck! Kalau begitu izinkan aku ikut bersamamu!” pinta Andi. Wajahnya sangat mencemaskan Aghata, ia memelas agar Aghata membawanya pergi.
“Lukamu bahkan belum pulih, aku tak ingin kamu membebaniku.”
Andi menarik kursinya lebih dekat dengan Aghata. Kedua telapak tangan Andi melingkar di lengan Aghata, membuat Aghata merasa risih dan ingin menjauh. “Aku tidak akan membebanimu, janji!” mohon Andi. Wajah Andi yang memelas terlalu dekat membuat Aghata tak kuasa melihatnya.
“Baiklah!” Aghata setuju tak punya pilihan lain. Raut wajah Andi berubah dengan cepat, ia tersenyum-senyum tak sabar menunggu hari esok. Terkadang Andi sangat penasaran dengan kegiatan Aghata di luar, dan kali ini ia akan melihat secara langsung dengan matanya.
“Tapi mungkin kamu akan melihat dan mendengar hal mengerikan!” tandas Aghata. Andi hanya mematung, ia juga mempunyai rasa takut ketika melihat hal yang seram.
***
Pagi yang tenang untuk para warga sipil, tapi tidak dengan dua orang pria dan wanita yang sedang menjalankan sebuah misi. Derap langkah empat kaki berjalan di sisi rumah yang sederhana berlokasi di kota E bagian timur. Empat kaki itu berasal dari Aghata dan Andi.
Karena sebuah keterpaksaan Aghata harus membawa Andi ke markas tersembunyi Tuan Baron. Kali ini Aghata tidak memakai jaket kulit kesayangannya, melainkan setelan formal berwarna hitam. Tentu saja topeng andalan Aghata sudah melekat di wajah cantiknya. Aghata meretas semua jaringan yang ada dalam markas Baron, bahkan CCTV yang tersembunyi.
“Sekarang giliranmu menjalankan bagianmu, aku akan tunggu di sini sambil melihat situasi,” perintah Aghata pada Andi. Jas hitam membalut tubuh kekar Andi, penyamarannya sebagai anggota keamanan akan dimulai. Andi membawa tas ransel hitam berisi barang-barang yang Aghata dan dia perlukan.
“Apa sekarang saatnya? Aku gugup, Aghata!” keluh Andi memasang wajah gelisah.
“Jangan memainkan drama di depanku, atau peluru pistolku akan melayang di jantungmu!” Mata Aghata menatap tajam Andi saat mengecam. Aghata memberikan masker hitam pada Andi untuk dipakainya.
“Buat apa ini?” tanya Andi, “aku tahu! Pasti agar wajahku tidak terlihat,” seru Andi sambil memakainya.
“Aku tidak peduli wajahmu terlihat atau tidak ... tapi itu akan mengurangi bau anyir darah yang kamu hirup saat masuk ke dalam,” ucap Aghata bernada dingin. Bagaimana bisa Aghata terlihat setenang itu saat mengatakannya, sedangkan Andi menelan liur saat mendengar ucapan Aghata.
Tanpa berlama-lama lagi, Andi menjalankan bagiannya. Andi meraih balok yang bersandar di dinding, ia mengayunkan balok itu tepat di punggung seorang pria yang berjaga di pintu masuk. Tubuh pria itu langsung tersungkur di tanah tidak sadarkan diri. Dari balik dinding, Aghata melihat aksi Andi, ia bergegas masuk menghiraukan Andi dan pria yang tak sadarkan diri.
Ketika Aghata masuk ke dalam, ia sudah disambut oleh pria yang tengah duduk di kursi roda. Datanglah seseorang satu per satu dari belakang pria yang duduk di kursi roda. Dan ada satu pria lagi yang datang terlambat. Pakaian pria itu lebih rapih dari lainnya, mengenakan jas biru beludru dan kacamata hitam di mata.
Pria dengan kacamata hitam itu berkata, “Siapa kamu? Berani sekali menerobos masuk ke markas kita!”
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Regi.” Aghata menyeringai menyapa pria berkacamata hitam, membuat keningnya berkerut. Bagimana Aghata bisa langsung mengetahui namanya? Mata Aghata terfokus pada pria yang duduk di kursi roda.
“Pasti sangat sulit berjalan sampai harus dibantu oleh alat ... kalau begitu, biar aku bantu kamu beristirahat dengan tenang, dan juga kedatanganku ingin meratakan habis kaki tangan Tuan Baron!”
“Bicara apa kamu gadis kecil? Meratakan? Ha ha!” Tawa pria berbadan besar menggelegar dalam ruangan.
“Apa Ibumu tidak mengajarimu tentang sopan santun saat bertamu?” imbuh pria yang berdiri di ujung kiri. Ia terkekeh menganggap ucapan Aghata sebagai lelucon.
DOR!!!
Hello everyone ... Setelah 4 bulan aku males-malesan dan sakit selama seminggu, akhirnya cerita KILLER MASK selesai ... horeee >< Aku selaku penulis cerita KILLER MASK mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca dan yang udah support ceritaku sampai selesai. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan maupun typo dalam cerita. Aku harap kalian bisa ikut terbawa dalam suasana dalam cerita, tapi kekerasan di dalam cerita tidak untuk dicontoh yaaa ... Dan buat yang belum selesai baca silahkan dilanjutkan, ga baik baca setengah-setengah apalagi buat perawan, nanti dapet suami yang brewokan loh ... tapi kalo dapet sugar daddy lain cerita yaa bund wkwkwk Pantau terus akunku yaa, siapa tahu bakal ada cerita baru :) Salam, Degitarius.
Terdengar ledakan dari dalam bangunan tempat Clarista disekap. Ledakan itu menyemburkan bara api dari atap. Perlahan Si Jago Merah melahap seisi bangunan itu hingga luar. Kris dan pengawalnya terkejut melihat api sudah menyala besar, begitu juga dengan Andi. Dia masih tercengang sampai kayu penyanggah atap di luar mulai roboh. “Aghata!” gumam Andi yang hampir melupakannya di dalam sana. Andi berlari menuju kobaran api yang semakin besar, namun Kris dengan cepat menahan Andi. Baru tersadar mengapa Aghata menyuruh Andi meminta semua orang menjauh dari bangunan itu, ternyata Aghata berniat meledakkan bangunan itu. Lalu bagaimana dengan Aghata sendiri? Apakah dia masih terjebak di dalam? Andi tak bisa hanya berdiam diri. Dia terus meronta agar bisa lepas dari cengkeraman Kris. Tapi tak lama ada bayangan seseorang keluar dari asap tebal yang menutupi bangunan itu. Soro
Seperti sedang deja vu. Seorang pria dengan pakaian tertutup berdiri di depan pandangan Aghata, sementara Glen memeluknya sampai terasa cengkeraman baju yang kuat. Terbesit satu ingatan di kepala Aghata, yaitu saat Andi memeluknya untuk menjadi perisai ketika Aghata ingin ditikam. Posisi yang hampir sama tapi dengan orang yang berbeda terjadi saat ini. Aghata masih tercengang melihat pria di depannya dengan jarak yang hanya satu setengah meter. Dia tersadar akan pria itu yang semakin mundur. Matanya melirik ke bawah dengan ragu, melekat di tangan pria itu sebuah pisau yang sudah berlumuran darah. “Ahk!” rintih Glen tiba-tiba. Aghata tersentak. Tangannya perlahan meraba punggung Glen. Basah dan likat. Mata Aghata terbelalak melihat simbah darah di tangannya. Firasat Aghata berkata benar, bahwa Glen mengorbankan dirinya agar pisau itu tidak mengenainya. Tubuh
Terdapat bangunan yang hanya ada 4 petak ruangan, berdiri tegak nan jauh dari kota atau bangunan lain. Bangunan itu terletak di bukit yang tak jauh dari pelabuhan, namun tak banyak yang tahu keberadaan bangunan itu, pemiliknya adalah Kris. Sekitar 10 orang tengah berjaga mengelilingi bangunan itu, mereka adalah anak buah Kris. Di salah satu ruangan, Clarista duduk di kursi dengan tangan dan kaki terlilit tali. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendongakkan kepala. Dia menatap nanar ruangan yang asing baginya. Mata Clarista memindai ruangan itu, terdapat tumpukan kotak yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan. Kotak itu menimbulkan bau amis yang membuat kening Clarista mengernyit. Terdengar samar di telinga, seseorang berjalan dari arah belakang. Merambah bahu Clarista seraya terus berjalan ke depan. Kukunya yang panjang sedikit menancap di bahu Clarista. Clarista mendongak sedikit mengekor punggung seo
Desing peluru terdengar sampai penjuru halaman rumah Nando. Seisi rumah Nando menjadi heboh akibat suara tembakan berasal dari ruang kerja Nando, begitu juga Anderson yang membelalakkan matanya. Dia teringat dengan Nando yang tidak menghabiskan makanannya dan langsung pamit untuk pergi ke ruang kerja. Begitu juga dengan Sang Ibu, Natalia, yang berkata ingin mengambil barang di ruangan Nando. Firasat buruk datang menghantui. Anderson cepat berlari menuju ruang kerja Nando. Namun dia malah bergeming di simpang tiga, yang ke arah kanan menuju ruangan Nando. Dia berhadapan dengan Aghata yang sama-sama terkejut. Anderson melihat ke sisi kanan, mendapati Natalia sedang menodongkan revolver. Dia tak percaya orang yang berada tepat di depan Natalia adalah Nando. Cairan berwarna merah pekat mengalir deras melalui dada Nando. Tangannya bersimbah darah menahan plasma merah yang pecah di dada. Namun akhirnya dia tu
Sebuah kebenaran yang sangat mengejutkan. Belum sempat menenangkan diri setelah melihat jubah hitam dan masker yang bersimbah darah kering, Aghata kembali dikejutkan dengan berkas warisan di tangan. Dalam berkas itu tertulis perusahaan Alto Grup murni milik Bramasta, ayah kandung Mimi Yudistira. Ketentuan warisan sendiri akan diberikan secara turun temurun. Jika ada keturunan yang masih hidup maka dia berhak mendapatkan warisan. Itu artinya Aghata mempunyai hak untuk mendapatkan warisan itu. Dia langsung memasukkan berkas itu ke dalam koper dan mengambil jubah serta masker tanpa membawa kotaknya. Aghata kembali merapihkan kamar Nando yang sedikit berantakan karena ulahnya. Lalu segera keluar dari ruang kerja Nando. Aghata pergi ke kamarnya menaruh berkas, jubah, dan masker di dalam sebuah kotak yang berisi barang bukti. Kotak itu akan digunakan untuk mengembalikan semua yang seharusnya menjadi miliknya.
Clarista berdiri dan mengusap kepala Aghata seraya tersenyum. “Nanti akan saya jelaskan di sana,” ucapnya. Dia keluar memberi waktu Aghata untuk berkemas. Aghata kembali menurut dan cepat mengemasi barang-barangnya. Dia membawa koper besar menghampiri Clarista yang sudah menunggu di depan mobil. Mereka langsung bergegas menuju bandara. Setelah tiba di bandara, Clarista mengantar Aghata hingga loker pemesanan tiket. Dia memastikan barang bawaan Aghata sudah terbawa semua. Sedangkan Aghata celingukan seperti orang bodoh yang memakai masker dan topi. “Kenapa kita ke sini? Apa kita sedang menunggu orang? Atau kita akan pergi ke suatu tempat?” tanya Aghata. “Bukan kita, tapi hanya Nona,” jawab Clarista. “Aku?” Menunjuk diri sendiri. “Kenapa aku harus pergi?” tanya Aghata.
Kediaman pemimpin Alto Grup, 25 November 2016. Satu tahun setelah pernikahan Sang Ibu dengan pria dari keluarga terpandang, Nando Setyoko. Kala itu usia Aghata menginjak 15 tahun. Dia keluar kamar untuk mencari Sang Ibu tercinta. Sudah seharian dia tidak melihat batang hidung ibunya. Dicarilah Sang Ibu ke seluruh ruangan di dalam rumah, tapi tidak menemukannya. Sampai akhirnya mencari ke halaman depan rumah. Namun masih belum menemukannya. Aghata malah melihat seorang pria mengenakan jas hitam keluar dari mobil. Bibirnya mengulas senyum dan berlari menghampiri pria itu yang disebut sebagai Ayah. Matanya berbinar menatap lekat sosok Ayah di hadapannya. “Ayah habis dari mana?” tanya Aghata. “Bertemu dengan teman bisnis,” sahut Nando. “Oh, tapi ... kenapa wajah Ayah terlihat s
“Ini surat undangan pernikahan untuk Anda,” kata Aghata. Nando terkejut dan langsung merampas kertas di tangan Aghata. Dia membaca isi surat itu dan benar bahwa surat itu adalah undangan pernikahan. Teman bisnisnya yang tinggal di Kota C mengundang Nando untuk datang ke pernikahan putrinya. Acara akan diadakan besok sore di Kota C. Mau tidak mau Nando harus datang. Sia-sia Nando gelisah dengan isi surat itu. Dia pikir surat itu akan berisi ancaman dari si pelaku teror. Bahkan untuk menghela napas pun tidak merasa tenang. Sementara Aghata bisa melihat wajah Nando yang menegang sebelum tahu isi surat itu. “Apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat,” tanya Aghata. “Tidak apa-apa. Apa kau akan ikut ke pesta pernikahan rekan bisnisku?” tawar Nando. “Tidak perlu. B