Share

KINASIH
KINASIH
Author: Bulbin

Pisah

Author: Bulbin
last update Last Updated: 2025-10-16 00:26:48

"Kemasi semua barangmu, aku akan antar kau pulang."

Aryo beranjak dari pintu kamar menuju ruang tengah. Dia duduk, menaikkan satu kaki ke kursi. Tangannya meraih cangkir kopi dan mulai menyesap perlahan.

"Mas, apa maksudmu?" sahut Asih dari kamarnya.

Aryo tetap pada posisi awal, tanpa sedikit pun menoleh. Matanya sesekali terpejam, mencoba meredam bising di kepala.

Asih menghentikan aktivitasnya membungkus barang. Dia keluar kamar, mendekati suaminya dan kembali mengulang tanya. Namun lagi-lagi, Aryo tetap bergeming dan terkesan tak peduli.

"Mas, kamu kenapa? Ada apa, Mas? Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"

Brak!

Aryo berdiri, memukul meja dengan kedua tangannya lalu menatap sang istri dengan mata berapi. Namun itu hanya terjadi beberapa saat, karena detik berikutnya, dia kembali duduk dan menatap Asih di kursi samping.

"Besok pagi, aku akan antar kau pulang. Tetaplah di sana sampai semua membaik."

Aryo menurunkan nada suaranya saat tatapan mereka bertemu. Asih menggeleng pelan dengan genangan air di pelupuk mata. Dia menyentuh tangan suaminya, menggenggam tangan yang dulu mengikat janji dengan mendiang bapak.

"Memang ada apa, Mas? Tolong jangan seperti ini," rintih Asih yang tak kuasa menahan tanggul di matanya. Wanita itu menunduk dengan tangan Aryo dalam genggaman.

Aryo masih diam. Pikirannya kalut. Percakapan semalam dengan bapak dan ibu, membuatnya semakin bimbang. Dia tak ingin meninggalkan kedua orang tuanya, namun di satu sisi, dia pun tak bisa melihat sang istri terus menjadi bulan-bulanan mereka, bahkan para tetangga. Meskipun Asih senantiasa bersikap biasa tanpa pernah membalas. Aryo paham dan sering mendapati istrinya menangis dalam diam. Sebagai suami, dia tak bisa melihat wanita yang dia cintai selalu direndahkan, tepat di depan mata.

"Tidurlah, istirahat. Aku ada urusan sebentar."

Aryo melepas genggaman tangan istrinya dan melangkah ke arah pintu. Dia keluar, meninggalkan Asih yang duduk sendiri dalam keheningan.

Dia mengedarkan pandangan, menatap sendu pada barang-barang di sekitarnya. Rumah itu kosong, kedua mertuanya pergi entah ke mana, mereka sama sekali tak pernah menganggap Asih ada di sana. Kecuali jika dia memang dibutuhkan, baru semua mendekat, menunaikan hajat dan pergi tanpa berniat mempererat hubungan dengan Asih, yang sudah di sana sejak awal menikah.

Asih bangkit, berjalan ke arah dapur untuk mencuci gelas bekas kopi dan piring kotor yang menumpuk sejak pagi. Dia menghela napas, mulai menyingsingkan lengan bajunya dan menuang cairan pembersih.

Asih menghentikan gerakan tangan saat kata-kata Aryo kembali terngiang dalam benak.

"Sampai semua membaik? Apa yang terjadi?"

Dengan cepat, Asih merampungkan pekerjaannya, kemudian mulai membersihkan rumah yang berantakan. Setelah semua selesai, Asih beranjak ke dalam kamar, menghapus peluh yang membasahi kening dan kembali berkutat dengan tumpukan barang yang belum selesai dibungkus.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumah masih sepi, belum terdengar suara motor suaminya. Asih terus saja membungkus dan merapikan barang-barang pesanan itu, kemudian menyusunnya di sudut kamar.

Setelahnya, dia memadamkan lampu kamar dan merebahkan diri di atas kasur kapuk usang yang penuh tambalan di sana sini. Pikirannya masih diliputi tanda tanya besar yang belum juga mendapat jawab.

Tak lama berselang, pintu kamar terbuka dan ruangan kembali terang. Aryo melirik ke arah istrinya yang tidur menghadap dinding, kemudian mengalihkan pandangannya ke sudut kamar, di mana bertumpuk barang yang menjadi kesibukan Asih selama ini. Dia mengganti pakaian lalu kembali memadamkan lampu dan tidur di sisi istrinya.

Sepanjang malam, Asih tak dapat tidur. Kepalanya terasa berat, berisik, penuh tanya yang menuntut jawab. Sementara dia sendiri tak tahu, apa dan bagaimana menjelaskan semua yang terjadi, yang dia rasakan.

Asih bangkit, perlahan membuka pintu kamar, menuju kamar mandi di bagian belakang rumah.

Air dingin membasuh wajah yang lelah, memberi rasa segar yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Setelah bersuci, dia keluar. Berjalan mengendap melewati ruang demi ruang di rumah itu. Dia kembali ke dalam kamar, meraih alat salat dan mendirikan sunah tahajud.

Di atas sajadah, Asih bercerita, menuturkan semua yang menjadi beban di hatinya. Tanpa peduli mukena yang basah, mata yang sembab dan isak tangis yang tetap tertahan.

Hingga tibalah azan subuh berkumandang. Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, deru kendaraan pengangkut sayur dan para pedagang pasar, mulai terdengar.

Setelah menjalani kewajiban dua rakaat, Asih melipat dan menyimpan kembali alat salatnya. Dia bangkit, membuka jendela, merasakan hembusan angin segar menerpa wajah. Membiarkan helaian anak rambut menari di kening dan sesekali membelai pipi dan kedua mata yang sembab.

Selang beberapa menit, wanita itu beranjak keluar kamar, setelah melirik sekejap pada sosok yang pulas di atas ranjang.

Langkahnya ragu, namun dengan hati yang mulai tenang, dia mendekati suaminya. Dengan sedikit membungkuk, Asih menyentuh wajah laki-laki itu dan berkata pelan.

"Mas, bangun. Subuhan."

Lagi dan lagi, hanya suara erangan yang didapat. Pria itu menggeliat, lalu kembali bergeming dan lelap dalam alam mimpi.

Asih menghela napas, ada rasa sesak yang kembali hadir. Namun, dia menggeleng dan melangkah keluar kamar, menuju dapur.

Wanita itu mulai menyalakan tungku, merebus air dan meracik sayuran.

"Kau sudah bereskan semua barangmu? Nanti jam enam, kuantar ke terminal."

Asih menoleh saat mendengar suara suaminya. Kayu bakar di tangan hampir saja terjatuh karena terkejut. Dia tak menjawab dan membiarkan Aryo melangkah pergi begitu saja.

Setelah selesai di dapur, Asih beranjak ke kamarnya. Mengambil pakaian kotor dan membawanya ke belakang.

Pintu pagar dibuka, Asih menghela napas saat matanya menatap pakaian kotor berserakan di sana sini. Dengan hati teriris, Asih mengumpulkannya di ember besar dan mencuci semua. Tak lupa.dia menimba air, mengisi semua ember dan bak mandi sampai penuh, agar mertuanya tak lagi marah seperti kemarin.

Aryo muncul di ambang pintu belakang, dia menatap Asih yang sibuk menyikat pakaian.

"As, maafkan aku telah membuatmu sengsara seperti ini. Aku tak pernah menyangka, mereka akan berlaku semena-mena padamu."

Aryo cepat-cepat menutup pintu, saat Asih berjalan ke arahnya.

"Mas, Mas mau mandi? Aku sudah selesai nyucinya," tutur Asih sembari membuka pintu dan tak mendapati siapa pun di sana. Dia justru berpapasan dengan ibu mertuanya di dapur.

Asih hanya mengangguk dan melanjutkan langkah meninggalkan bapak dan ibu mertuanya yang tengah sarapan.

"Sudah kubilang. Tepat jam enam, kita berangkat," ucap Aryo setelah Asih masuk kamar. Dia menyerahkan tas besar yang selama ini tersimpan di atas lemari.

"Mas, kamu yakin kita pisah?"

Suara Asih tercekat oleh perasaannya sendiri.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KINASIH   Bendera kuning

    Di desa tempat tinggal Asih, suasana pagi cukup ramai. Kursi plastik berjajar di halaman, orang-orang berdatangan ke rumahnya. Bendera kuning terpasang di depan pagar, menandakan suatu kepergian -selamanya. Asih duduk di dekat jenazah kakeknya dengan tatapan kosong. Dia masih tak percaya akan apa yang telah terjadi pada orang tua itu. Setelah kejadian beberapa hari lalu, sang kakek masih sempat tertolong. Namun ternyata, Tuhan punya rencana terbaik untuk keluarga mereka. Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Paijo menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Asih yang kala itu menemani mereka di kamar, menjerit panik melihat sang kakek yang semakin kesulitan bernapas. Dia siap berlari meminta bantuan, namun tangan kakeknya berusaha menahan.Paijo masih sempat tersenyum, melirik Asih dan menggenggam tangan cucunya. Bibirnya bergerak dengan suara lemah. Asih mendekatkan telinga, menangkap setiap kata yang susah payah diucapkan kakeknya. "Asih, Akung titip Uti ya.

  • KINASIH   Rumah sakit

    Rosma terisak sebelum menjawab, dia menunjuk lemari pakaian di kamarnya, lalu kembali menangis. Kali ini suaranya semakin kencang, menyayat. Para polisi segera mendekati benda tersebut. Sepintas tak ada yang aneh -sebuah lemari pakaian tanpa kunci menggantung di sana. Mereka mulai mengetuk, namun tak ada balasan apa pun. Seorang polisi mendekati Mariana, berbisik dan setelahnya, wanita itu memeluk Rosma yang masih menangis. Sementara Siska memalingkan wajah, terlihat raut kesal yang teramat jelas di sana. Setelah dibujuk, Rosma mengatakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan nama. Polisi cepat bertindak membuka lemari tersebut dan terkejut saat sesosok pria ada di dalamnya dengan posisi duduk dan tubuh yang lemah. Polisi memanggil ambulans, mengeluarkan pria itu, membaringkannya di tempat tidur. Awalnya Mariana hanya melirik sekilas, hingga akhirnya seorang polisi yang berdiri di samping ranjang, menyingkir untuk mengecek tempat kejadian. Saat itulah, Mariana terpaku. Tubuhnya tegang

  • KINASIH   Apartemen

    Pintu kamar mandi perlahan terbuka. Tak ada siapa pun di sana. Rosma sudah berdiri dengan tubuh bergetar, takut bila anaknya menemukan Wijaya di sana. Dengan beringas, gadis itu membukanya semakin lebar. Suara daun pintu beradu dengan dinding, membuat Rosma terperanjat di tempat. Siska masuk, menarik tirai tipis di hadapannya dengan kasar, hingga benda itu luruh ke lantai yang sedikit basah. Siska menatap ibunya dengan mata terbelalak, dia melangkah keluar, menabrak tubuh wanita yang telah melahirkannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Rosma terjatuh, namun dia segera bangkit, menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Kedua tangan Siska berusaha meraih benda-benda di sekitar dan membantingnya. Suara pecahan porselen beradu dengan lantai, diikuti benda lain yang melayang dan membuat seisi ruangan porak poranda. Siska bagai kesetanan, luka karena kehilangan sang ayah masih basah di hatinya, belum lagi kata-kata Mariana yang membuat dirinya bagai tak bermuka di hadapan wanita itu. S

  • KINASIH   Rosma

    "Oh ya, Tante. Asih di mana ya sekarang?" Mariana mengeryit heran, merasa ada sesuatu dari pertanyaan tersebut. Namun Siska cepat tersenyum, menatap tuan rumah lalu berkata dengan suara yang terasa kaku. "Anu, Tante. Kan Bayu nggak di rumah, masa iya si Asih di sana sendiri. Apa nggak takut? Bukan dia, tapi keluarga Tante. Ya kan kita semua sudah tahu, dia hamil nggak jelas sama siapa. Takutnya, rumah Bayu sepi, malah jadi kesempatan orang luar bebas masuk," terang Siska tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Mariana hanya tersenyum simpul, tanpa menanggapi kalimat yang menghakimi satu pihak. Entah mengapa, Mariana sendiri merasa dekat dan selalu ingin melindungi Asih, meski wanita itu telah mengusirnya tempo hari. Tak lama, Sumi datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman. Dengan sopan, wanita itu meletakkan di meja, lalu mengangguk dan berlalu pergi. Sebelumnya, dia sempat mendengar kalimat Siska yang membuat Sumi kembali teringat Asih.Ke mana dia sekarang? S

  • KINASIH   Mata-mata

    Mariana baru saja keluar dari kantor polisi. Matanya masih basah dengan hidung memerah. Dia berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di halaman. Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi dan menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam. Kata-kata sang anak masih terngiang jelas di kedua telinganya. Setelah beberapa bulan dipenjara, Bayu terlihat berubah. Tubuh yang biasa segar dan wangi, kini tampil sederhana dengan pakaian khas yang cukup kontras dengan warna kulitnya. Bayu yang selalu rapi, kini tidak lagi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak terurus, membuat Bayu semakin terlihat lebih tua, jauh dari usia sebenarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja itu membuat Mariana menangis. Meskipun dia tak setuju atas apa yang dilakukan sang anak. Beberapa menit ke belakang, Mariana duduk berhadapan dengan putranya dengan sebuah jeruji yang menjadi pembatas dan polisi yang menjaga di belakangnya. Tangis sang ibu pecah menatap penampilan ana

  • KINASIH   Ibu di sini, Nak

    "As, apa benar yang kemarin datang itu keluarga Wijaya?" bisik Tika yang sukses membuat Asih terperanjat. Tak segera menjawab, Asih justru menatap dalam pada wajah di hadapannya. "As, Asih, kok malah bengong?" Tika menyentuh lengan Asih dan menepuknya perlahan. Wanita itu terkejut, apalagi bayinya kini menangis. Asih memberi kode karena ternyata sang anak pup dan akan menggantinya di dalam. Dia bangkit, melangkah menuju pintu rumah. Tika mengikuti setelah menitipkan kedua anaknya pada sepasang lansia di halaman. Sampai di kamar, Tika menatap punggung Asih yang sibuk mengganti popok anaknya. Sesekali dia mendengar senandung lembut yang keluar dari bibir wanita itu untuk anaknya. "As, Arya tuh gemoy banget ya. Masih full asi, kan?" tanya Tika sembari mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Matanya mengamati sekeliling, dia melirik Asih saat melihat sebuah pigura foto kecil di atas meja. Asih selesai dengan kerjaannya, lalu meraih Arya dan membawa anak itu ke atas pangkuan. Bayi itu terl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status