Home / Rumah Tangga / KINASIH / Pertemuan tak terduga

Share

Pertemuan tak terduga

Author: Bulbin
last update Last Updated: 2025-10-20 16:59:27

Asih menatap ke luar jendela. Baris pepohonan dan hamparan permadani hijau, semakin jauh dari pandangan. Aryo pergi, tepat setelah istrinya turun dari sepeda motor. Laki-laki itu seakan buta dan tuli, tak menghiraukan panggilan dan tatapan Asih yang memintanya tetap tinggal.

Beberapa orang di terminal, menatap mereka dengan raut penuh tanya. Ada yang terang-terangan memanggil Aryo untuk kembali, ada pula yang tetap diam dengan tatapan sinis.

Bahkan, Aryo terus menjauh tanpa sedikit pun menoleh.

Bus terus melaju, meninggalkan kampung A menuju tanah kelahirannya. Asih tersenyum getir, merasakan segala perih yang muncul di hatinya.

Di rest area, bus berhenti. Asih turun bersama penumpang lain. Dia duduk menyendiri, sementara matanya mengitari seisi ruang, menatap orang yang berlalu lalang di sana.

Tiba-tiba seorang anak kecil berpipi gembul mendekatinya. Menyerahkan sebuah mainan lalu tertawa. Jiwa keibuannya seakan tergelitik. Dengan penuh kasih, dia memindahkan tubuh itu ke pangkuannya. Asih merasa dia kembali menjadi seorang ibu, yang dapat bermain bersama anak dan memeluknya hangat.

"Akhirnya ketemu juga," ucap seorang pria yang datang dengan tas kain berisi perlengkapan anak. Dia menatap anak di pangkuan Asih dengan senyum lega.

Betapa terkejutnya Asih saat dia menoleh.

"Mas Bayu? Ini anakmu?"

Pria itu sedikit kaget, matanya lama menatap wajah perempuan di hadapannya.

"Asih? Kamu Asih kan?"

Asih mengangguk. Lalu menatap bangku kosong di sampingnya. Bayu menarik benda itu dan duduk di sana.

"Kamu mau ke mana, As? Sendiri? Gimana kabar Aryo?"

Bayu mencecar Asih dengan pertanyaan beruntun.

Perempuan itu terdiam, tangannya masih melingkar, memeluk tubuh mungil di pangkuan. Sesekali, terdengar celotehan yang memecah keheningan.

Dari pengeras suara, terdengar pengumuman atas keberangkatan salah satu bus. Asih pamit, memindahkan anak kecil itu ke pangkuan Bayu, dan bersiap kembali ke bus yang ditumpangi.

Bayu mengejar, meraih tangan Asih dan berbisik.

"As, ini kartu namaku. Hubungi aku kalau kamu butuh teman cerita."

Wanita itu memaksa senyum, mengangguk dan masuk ke dalam bus.

Perlahan, kendaraan itu bergerak meninggalkan parkiran. Sementara Bayu masih menatap kepergian Asih dengan perasaan bahagia.

Pria itu kembali masuk ke restoran untuk mengambil tas yang tertinggal dan berlalu menuju mobil Avanza hitam yang terparkir di dekat pohon mangga.

Sementara itu, di dalam bus. Asih mengamati secarik kartu nama dan tersenyum getir.

Bus melaju mengikis jarak dan semakin mendekat ke tujuan. Setelah menempuh perjalanan panjang, sampailah dia di terminal akhir.

Asih menghirup napas dalam, berusaha memenuhi setiap rongga di dadanya dengan udara pagi yang segar, lalu menghembuskan perlahan.

Setelah bertahun-tahun hidup di rumah mertuanya, akhirnya Asih pulang. Ada rasa bahagia yang muncul karena rindunya terobati, namun di sisi lain, dirinya merasa kosong. Suaminya tak ikut serta, sementara anak yang telah ditunggu lama, kembali dipanggil oleh-Nya, tepat setelah dia lahir ke dunia.

"Sudahlah, aku nggak boleh terus terpuruk seperti ini."

Asih menguatkan hati, lalu melambai memanggil ojek dan berlalu menuju kampung halaman.

"Depan belok kanan ya, Pak."

Asih mulai merasakan debaran yang semakin kencang di hatinya. Terlebih saat pagar rumah bapak semakin dekat. Motor berhenti di halaman dan berlalu pergi setelah Asih membayarnya.

Tak ada sambutan, tak ada siapa pun yang dia temui di rumah itu. Kosong. Hanya bangku kayu dan beberapa perlengkapan yang diselimuti debu. Asih menatap foto di dinding, lalu berbisik dengan isak tertahan. "Pak, Bu. Asih pulang. Asih rindu kalian."

Wanita itu mulai merapikan rumah. Tak ada sedikit pun raut sedih terlihat di sana. Dia merasakan kenyamanan yang telah lama hilang.

Setelah semua rapi dan bersih, Asih bersiap ke makam kedua orang tuanya. Dia kembali mengunci rumah dan berlalu pergi menuju pinggiran desa, tempat di mana bapak ibunya 'beristirahat'.

Satu dua orang menyapa, bahkan banyak pula yang memeluknya penuh haru. Namun, baru beberapa langkah dia berlalu, telinganya menangkap obrolan dari orang-orang tersebut.

"Pulang kok sendiri, anak sama suami nggak ikut."

"Halah, palingan belum punya anak, nikah mah udah tahunan. Tapi masih kosong."

"Mandul kali."

Suara itu menjadi semakin ramai, tatkala tetangga yang lain mulai berdatangan.

Asih mempercepat langkah, tak ingin terbawa suasana dan merusak moodnya yang sudah membaik.

Asih berhenti sejenak di gerbang makam, dia kembali mengusap air matanya lalu melangkah perlahan, melewati nisan demi nisan menuju tempat orang tuanya.

"Bapak, Ibu, Asih datang," bisiknya saat dua batu nisan yang dicari, telah ditemukan.

Asih berjongkok, mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar nisan itu, lalu menabur bunga yang dia petik dari pekarangan rumahnya sendiri.

"Pak, Bu. Maaf, Asih datang sendiri, tanpa Mas Aryo. Dia ... dia sibuk bekerja, jadi belum bisa kemari," bisik Asih dengan suara tercekat, setelah dia selesai merapalkan do'a. Wanita itu membersihkan tanah yang menempel di batu nisan dan kembali terisak saat tangannya menyentuh susunan huruf yang timbul di sana.

"Bapak, Ibu. Apa benar Asih nggak berguna sebagai istri? Mereka terus memojokkan Asih, Bu. Mereka bilang, Asih bukan istri yang baik untuk Mas Aryo hanya karena aku belum menjadi seorang ibu. Selama ini, aku hanya diam. InsyaAllah aku ikhlas. Asih tahu, Allah SWT punya rencana yang jauh lebih indah dari ini semua, ya kan, Pak, Bu?"

Asih tersenyum getir, lalu bangkit dan kembali pulang.

Sesampai di rumah, Asih merebahkan diri di tempat tidur. Tubuh lelahnya membuat kedua mata terpejam. Dia tertidur untuk beberapa saat dan terbangun kala ponselnya berdering.

Asih melihat layar dan mengurungkan diri untuk menerima panggilan itu. Setelah panggilan berakhir, Asih cepat-cepat memblokir nomor tersebut. Tak hanya itu, semua nomor dari orang-orang tertentu, dia blokir juga.

"Maaf, Mas. Tapi aku ingin sembuh."

Asih menatap foto suaminya, lalu kembali berbisik.

"Suatu saat aku akan pulang, Mas. Tapi bukan sekarang."

Asih membuka sosial medianya, lalu menemukan sebuah lowongan pekerjaan di Ibu kota. Dia menghubungi nomor yang tertera di sana, lalu mulai bersiap untuk berangkat, esok hari.

Ya, dia ingin pergi. Bukan untuk melarikan diri, namun untuk kesembuhan hatinya sendiri. Menjauh dari orang-orang yang membuatnya terus merasa hina.

"Nak, Ibu janji akan datang menjengukmu. Tunggu Ibu ya, Sayang."

Asih mendekap sebuah gambar bayi mungil berwajah pucat, beserta selembar foto USG yang senantiasa ada di dalam tasnya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KINASIH   Pulang kampung

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kereta memasuki stasiun terakhir. Asih memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, lalu bersiap turun.Angin malam menerpa wajahnya, tepat setelah Asih menginjakkan kaki di peron. Dia melangkah ke arah pintu keluar dan mencari kendaraan menuju kampung halaman.Ponsel di saku jaketnya berdering nyaring. Asih berhenti dan duduk di sebuah bangku halte, membuka layar dan tersenyum melihat si pemanggil. Dia menggeser tombol hijau dan muncullah wajah Bayu di sana."Udah sampai, As? Baru turun ya? Itu masih di stasiun bukan?"Bayu melihat lalu lalang orang dengan tas dan koper di tangan. Asih mengangguk, menanyakan keadaan lawan bicaranya yang terlihat masih di area peron."Iya, aku lagi nunggu kereta ini. Nggak jadi nginep. Om Toni nyuruh balik. Kamu hati-hati ya, As. Inget, pintu rumah selalu terbuka untukmu. Jangan sungkan."Asih tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bersiap menutup panggilan."Sebentar, As. Satu lagi, jangan panggi

  • KINASIH   Stasiun

    Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung. "Kenapa buru-buru sekali, As?" Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya. "Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai." Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya. Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak. Brak! "Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong." Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara. Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu. "Kau, sini!" Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras. "Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ....""Diam! Apa kau buta? J

  • KINASIH   Interview

    Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya. "Asih."Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam."Mau pulang? Ayo ikut aku." Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat. "Kamu pikir, aku sopirmu?" Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan. Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung. Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian. "Tuan, kita

  • KINASIH   Amarah

    "Yo, kenapa kamu belum urus juga?"Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja. Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok. Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko. "Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam." Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama."Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit

  • KINASIH   Perempuan gatal

    Pertemuan dengan masa lalunya, membuat perasaan Bayu menjadi tak menentu. Dia senang karena dapat melihat kembali, wajah ayu yang selama ini dirindukan. Namun, bayang penolakan di malam itu, diikuti senyum bahagia Asih dan Aryo di acara pernikahan mereka, membuat dada Bayu seketika lara, pedih tak terkira. Bayu terus mondar-mandir di kamarnya. Jam menunjuk pukul sebelas malam dan kantuknya tak kunjung datang. Dia keluar kamar, turun menuju kolam renang di samping rumah. Bukan untuk berenang. Bayu memilih duduk sendiri di tepian kolam, dengan kaki yang terjuntai ke dalam air.Dingin mulai merayap naik dari kakinya. Bayu tetap diam, mencoba menghirup udara malam yang tenang dan terang oleh cahaya bulan. Sementara itu di dalam kamarnya, Asih gelisah. Dia bangkit perlahan, meninggalkan tempat tidur dan berjalan mengendap ke arah pintu. Tak ingin mengganggu yang lain, Asih membukanya dengan hati-hati. Dia berjalan melewati dapur dan teringat sesuatu, dia belum mengunci pintu samping, di

  • KINASIH   Ibu kota

    "Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain. Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar. Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar. "Ya, ada apa, Bi?" Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh. "Asih?" Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya. Asih me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status