Selama ini, Ditrian baru sadar. Helaian itu memang terlihat seperti benang-benang emas yang berkilau. Lembut dan halus bagaikan langit senja yang mengalir seperti sungai.
"Maksudmu ...."
"Aku adalah keturunan dari Rapunzel di cerita dongeng itu."
Ditrian lengang. Dia masih sangsi.
"Kau ingat menara di hutan Galdea Timur yang diceritakan oleh Sir George?" pria itu mengangguk. "Kuyakin ... itu adalah menara Rapunzel."
"Lalu? Jika kau memang keturunan Rapunzel, bagaimana kau akan membuka wilayah itu?"
"Aku harus melihat menara itu. Legenda bilang, ada teka-teki di dalam menara yang akan mengangkat kutukan di tanah itu."
"Jadi ... kau ingin ke Galdea Timur? Ke menara itu?"
Sheira mengangguk penuh keyakinan. Matanya berbinar. Cahaya siang itu memantul ke mata peraknya seperti manik-manik.
Segenap angan-angan memenuhi kepala Ditrian. Cerita Sir George kembali terpanggil dalam memorinya. Hantu-hantu kepala dan lipan raksasa ber
Evelina mengangkat tangannya singkat. Memberi instruksi pada kedua pelayannya untuk menyingkir dari troli itu.Dengan hati-hati, ia membuka sebuah toples mewah dari keramik, berisi daun teh kering yang mahal dan diimpor jauh oleh Duke Gidean, ayahnya.Ia menyendok sebanyak tiga kali daun teh itu ke cangkir cantik berwarna putih dengan hiasan sulur daun emas. Khusus ia siapkan untuk tunangannya di hari ini. Lalu Evelina mengangkat teko mewah senada dengan cangkir, menuangkan air panas yang ada di dalamnya.Perlahan dedaunan yang hitam pekat itu mencemari air panas bening dengan warna merah terang. Evelina menunggu beberapa saat hingga teh itu merah pekat sempurna. Lezat seperti terakhir kali ia mencicipinya.Kemudian ia menyendoki ampas-ampas teh yang ada di dasar cangkir dengan hati-hati dan cermat.Ia meletakkan cangkir itu di atas lepek putih keramik. Satu set dengan teko dan cangkir. Siap untuk disajikan. Tapi ... Evelina, putri Duke Gidean yang
"Ini ... ramuan cinta," ucap Master Viserian. Dokter Stuart sudah meninggalkan kamar raja dari tadi. Dia bilang, tidak ada yang salah dengan kesehatan raja, mungkin raja hanya sedang naik libidonya. Tetapi Master Viserian adalah seorang alkimia. Dia yang waktu itu pernah memeriksa keadaan Sheira. Namun karena sudah tidak ada lagi ramuan sihir di tubuhnya, maka ia tak berbuat banyak. "Siapa yang sudah memberi ramuan ini pada raja?" tanya Sheira. Lady Emma masih ada di sana. Hanya ada mereka berempat. Tentu saja Ditrian masih memeluki dan menciumi pipi Sheira. Sesekali mengendus-endus lehernya. Membuat Sheira geli sekaligus risih bukan main. Apalagi masih ada Lady Emma. "Saya tidak tahu siapa yang memberinya, Tuan Putri. Tapi ... cara kerja ramuan sihir adalah, dia akan berefek pada siapapun yang pertama kali ia lihat setelah meminum ramuan itu," jawab Master Viserian. Mungkinkah ... seperti saat ia meminum ramuan oblivate dari Alfons? O
Hampir tiga bulan semenjak ia tiba di istana ini, akhirnya untuk pertama kali, dia akan bisa keluar melihat dunia lagi. Sheira tidak bisa tidur semalam. Dia terlalu bersemangat. Sekarang masih subuh, bahkan langitnya masih biru gelap. Tapi mereka harus berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari keributan.Sir George, Sir Evan dan beberapa pengawal lain sudah mengenakan baju zirah seperlunya dan berpakaian layaknya warga biasa. Masing-masing dari mereka membawa pedang dan perbekalan.Totalnya kira-kira sepuluh orang. Belum lagi tujuh pengawal bayangan yang tidak akan menampakkan dirinya.Mereka semua sudah duduk di atas kuda masing-masing."Apa sudah semua Sir George?" tanya Sheira dari balik tudung jubahnya. Hanya mata peraknya saja yang terlihat."Mohon menunggu sebentar lagi, Tuan Putri," pinta Sir George.Entah bagaimana Raja Ditrian berhasil meyakinkan Sir George. Padahal kemarin pagi Sir George menolak mentah-mentah perjalanan ini. Di
"Apa hukuman yang pantas untukmu, Argus si Pandai besi?"Argus masih tertunduk menatap lantai."Y-Yang Mulia ... mo-mohon ampuni Argus," Sir George terbata."Berani sekali kau menggoda istriku," Ditrian mengeluarkan sebilah belati dari sarungnya. Gesekan logam itu bisa didengar oleh Argus, membuatnya bergidik."Ampuni hamba Yang Mulia!" pekik Argus. Suaranya bergetar."Hentikan!" cegah Sheira. Ia memegangi lengan Ditrian yang memegangi belati. "Sudahlah!"Jantung Ditrian berdebar-debar. Seketika wajahnya merona. Efek ramuan itu muncul lagi. Dalam dirinya, ia berusaha menahan hal-hal bodoh yang bisa saja ia
"Sir George!" seru Sheira. "Bisakah ... bisakah kita berhenti sebentar? Bolehkan kita beristirahat?" pinta Sheira.Sir George mengangkat tangannya, seketika rombongan itu berhenti? Ia pun berbalik ke belakang beserta kudanya, lalu melangkah dekat pada selir raja itu."Apa Anda ingin berhenti sekarang, Tuan Putri? Kita hampir tiba di kota berikutnya," Sir George menoleh, menunjuk pada pemandangan sebuah kota di ujung lembah. Cukup jauh, tapi sudah terlihat."Aku tahu ... tapi tulang ekorku membunuhku. Kumohon, bisakah kita beristirahat sebentar saja?"Sir George agak ragu. Ia lalu melihat ke arah Raja Ditrian paling belakang. Pria itu mengangguk, lalu turun dari kudanya."Baik, Tuan Putri. Saya hanya tidak ingin Tuan Putri tidak beristirahat di tempat yang nyaman. Saya harap kita bisa sampai ke kota sebelum petang."Sheira pun turun, nyaris oleng dan ia terlihat merintih kesakitan. Sisa rombongan yang lain pun ikut turun dari kuda.Dit
"Yang Mu- ehem ... Tuan Bermount, apa Anda tidak apa-apa?" "Apa maksudmu, Sir?" Ditrian dan beberapa ksatria lain selesai makan malam di restoran penginapan. Nyaris mirip kedai. Sementara Sheira meminta makanannya diantar ke kamar. "Maaf ... bukannya lancang. Tapi ... saya melihat Anda berdua bertengkar siang tadi." "Oh ...," Ditrian jadi ingat. Ia merenung. "Jika Tuan Bermount tidak ingin menceritakannya tidak apa-apa," sambar Sir George cepat-cepat. Mereka berdua hening agak lama di meja bulat itu. "Sir ... apa kau tahu bagaimana caranya membahagiakan perempuan?" "Hm ...," mata Sir George menerawang ke atas ke pikirannya. "Mungkin ... dengan memberinya perhatian kecil. Lalu memenuhi keinginannya. Semua perempuan suka itu." "Aku bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan. Yang kutahu, dia tak mau melihat wajahku." Ditrian mendengkus lirih. "Dia marah saat aku memberinya perhatian seperti itu." "Mengapa ...
Ciuman mereka semakin dalam. Sheira sudah terpojok di dinding kolam air hangat. Tubuh Ditrian yang besar itu sudah menekan dan mendesak tubuh mungilnya. Dari luasnya kolam itu, terasa sempit untuk mereka berdua. Wanita itu hanya bisa bersandar, mulutnya dipenuhi oleh lidah Ditrian yang memaksa masuk dan meliuk.Mau tidak mau, ia mengulumnya. Nafas mereka beradu, terengah-engah. Air liur yang basah dengan samar memenuhi bibir dan mulut. Sulit untuk berhenti."Bagaimana?" tanya Ditrian seusai melepas ciuman mereka."B-bagaimana apanya?" tanya Sheira penuh kegugupan. Wajahnya sudah merah padam seperti tomat."Kau suka?"Ia kembali melirik ke arah lain, menghindari tatapan dari Ditrian dengan canggung. Wajahnya membara, entah karena kolam air ini atau karena sesuatu yang lain."Aku bodoh telah berkata 'cerai' padamu," gumam Ditrian."Mungkin ... itu akan bagus untuk kita berdua," desis wanita itu.Itu membuat Ditrian agak kesal. Ta
"Kita mampir di sini dulu, Tuan Putri," ucap Sir George setelah turun dari kudanya. Ksatria dan pengawal mereka yang lain juga ikut turun dari kuda. Raja Ditrian bukan pengecualian.Sheira bingung. Tapi akhirnya turun juga. Dia memandangi sebuah gerbang yang agak tinggi. Di balik gerbang itu, menjulang sebuah istana yang sangat tua, dari bebatuan yang dipenuhi lumut dan sulur-sulur tanaman.Padahal ada dua orang penjaga di depannya, tetapi mengapa istana ini terlihat tidak terawat. Istana ini ada di tepi Kota Heimdal. Mungkin milik seorang bangsawan Direwolf tua.Kemudian Sir George menghampiri penjaga."Kami ingin menemui Master Ikiles.""Ada kepentingan apa? Apa kau sudah mengirim surat dan membuat janji?" tanya penjaga ketus."Umm ... kami tidak membuat janji atau mengirim surat. Tetapi, kami harus menemui Master Ikiles.""Tidak ada janji, tidak ada surat, artinya tidak bisa bertemu. Master Ikiles orang yang sangat sibuk. Silahkan