Hampir tiga bulan semenjak ia tiba di istana ini, akhirnya untuk pertama kali, dia akan bisa keluar melihat dunia lagi. Sheira tidak bisa tidur semalam. Dia terlalu bersemangat. Sekarang masih subuh, bahkan langitnya masih biru gelap. Tapi mereka harus berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari keributan.
Sir George, Sir Evan dan beberapa pengawal lain sudah mengenakan baju zirah seperlunya dan berpakaian layaknya warga biasa. Masing-masing dari mereka membawa pedang dan perbekalan.
Totalnya kira-kira sepuluh orang. Belum lagi tujuh pengawal bayangan yang tidak akan menampakkan dirinya.
Mereka semua sudah duduk di atas kuda masing-masing.
"Apa sudah semua Sir George?" tanya Sheira dari balik tudung jubahnya. Hanya mata peraknya saja yang terlihat.
"Mohon menunggu sebentar lagi, Tuan Putri," pinta Sir George.
Entah bagaimana Raja Ditrian berhasil meyakinkan Sir George. Padahal kemarin pagi Sir George menolak mentah-mentah perjalanan ini. Di
"Apa hukuman yang pantas untukmu, Argus si Pandai besi?"Argus masih tertunduk menatap lantai."Y-Yang Mulia ... mo-mohon ampuni Argus," Sir George terbata."Berani sekali kau menggoda istriku," Ditrian mengeluarkan sebilah belati dari sarungnya. Gesekan logam itu bisa didengar oleh Argus, membuatnya bergidik."Ampuni hamba Yang Mulia!" pekik Argus. Suaranya bergetar."Hentikan!" cegah Sheira. Ia memegangi lengan Ditrian yang memegangi belati. "Sudahlah!"Jantung Ditrian berdebar-debar. Seketika wajahnya merona. Efek ramuan itu muncul lagi. Dalam dirinya, ia berusaha menahan hal-hal bodoh yang bisa saja ia
"Sir George!" seru Sheira. "Bisakah ... bisakah kita berhenti sebentar? Bolehkan kita beristirahat?" pinta Sheira.Sir George mengangkat tangannya, seketika rombongan itu berhenti? Ia pun berbalik ke belakang beserta kudanya, lalu melangkah dekat pada selir raja itu."Apa Anda ingin berhenti sekarang, Tuan Putri? Kita hampir tiba di kota berikutnya," Sir George menoleh, menunjuk pada pemandangan sebuah kota di ujung lembah. Cukup jauh, tapi sudah terlihat."Aku tahu ... tapi tulang ekorku membunuhku. Kumohon, bisakah kita beristirahat sebentar saja?"Sir George agak ragu. Ia lalu melihat ke arah Raja Ditrian paling belakang. Pria itu mengangguk, lalu turun dari kudanya."Baik, Tuan Putri. Saya hanya tidak ingin Tuan Putri tidak beristirahat di tempat yang nyaman. Saya harap kita bisa sampai ke kota sebelum petang."Sheira pun turun, nyaris oleng dan ia terlihat merintih kesakitan. Sisa rombongan yang lain pun ikut turun dari kuda.Dit
"Yang Mu- ehem ... Tuan Bermount, apa Anda tidak apa-apa?" "Apa maksudmu, Sir?" Ditrian dan beberapa ksatria lain selesai makan malam di restoran penginapan. Nyaris mirip kedai. Sementara Sheira meminta makanannya diantar ke kamar. "Maaf ... bukannya lancang. Tapi ... saya melihat Anda berdua bertengkar siang tadi." "Oh ...," Ditrian jadi ingat. Ia merenung. "Jika Tuan Bermount tidak ingin menceritakannya tidak apa-apa," sambar Sir George cepat-cepat. Mereka berdua hening agak lama di meja bulat itu. "Sir ... apa kau tahu bagaimana caranya membahagiakan perempuan?" "Hm ...," mata Sir George menerawang ke atas ke pikirannya. "Mungkin ... dengan memberinya perhatian kecil. Lalu memenuhi keinginannya. Semua perempuan suka itu." "Aku bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan. Yang kutahu, dia tak mau melihat wajahku." Ditrian mendengkus lirih. "Dia marah saat aku memberinya perhatian seperti itu." "Mengapa ...
Ciuman mereka semakin dalam. Sheira sudah terpojok di dinding kolam air hangat. Tubuh Ditrian yang besar itu sudah menekan dan mendesak tubuh mungilnya. Dari luasnya kolam itu, terasa sempit untuk mereka berdua. Wanita itu hanya bisa bersandar, mulutnya dipenuhi oleh lidah Ditrian yang memaksa masuk dan meliuk.Mau tidak mau, ia mengulumnya. Nafas mereka beradu, terengah-engah. Air liur yang basah dengan samar memenuhi bibir dan mulut. Sulit untuk berhenti."Bagaimana?" tanya Ditrian seusai melepas ciuman mereka."B-bagaimana apanya?" tanya Sheira penuh kegugupan. Wajahnya sudah merah padam seperti tomat."Kau suka?"Ia kembali melirik ke arah lain, menghindari tatapan dari Ditrian dengan canggung. Wajahnya membara, entah karena kolam air ini atau karena sesuatu yang lain."Aku bodoh telah berkata 'cerai' padamu," gumam Ditrian."Mungkin ... itu akan bagus untuk kita berdua," desis wanita itu.Itu membuat Ditrian agak kesal. Ta
"Kita mampir di sini dulu, Tuan Putri," ucap Sir George setelah turun dari kudanya. Ksatria dan pengawal mereka yang lain juga ikut turun dari kuda. Raja Ditrian bukan pengecualian.Sheira bingung. Tapi akhirnya turun juga. Dia memandangi sebuah gerbang yang agak tinggi. Di balik gerbang itu, menjulang sebuah istana yang sangat tua, dari bebatuan yang dipenuhi lumut dan sulur-sulur tanaman.Padahal ada dua orang penjaga di depannya, tetapi mengapa istana ini terlihat tidak terawat. Istana ini ada di tepi Kota Heimdal. Mungkin milik seorang bangsawan Direwolf tua.Kemudian Sir George menghampiri penjaga."Kami ingin menemui Master Ikiles.""Ada kepentingan apa? Apa kau sudah mengirim surat dan membuat janji?" tanya penjaga ketus."Umm ... kami tidak membuat janji atau mengirim surat. Tetapi, kami harus menemui Master Ikiles.""Tidak ada janji, tidak ada surat, artinya tidak bisa bertemu. Master Ikiles orang yang sangat sibuk. Silahkan
"M-Maksudmu?" Ditrian meletakkan cangkirnya dengan gugup."Anda tidak bisa menyembunyikannya dari saya, Yang Mulia.""Apa ... sejelas itu?"Ikiles mengangguk."Saya telah mengenal Anda dari kecil. Dan ... Direwolf yang sudah cinta mati sangat bisa dikenali. Apa Anda benar-benar mencintai manusia itu?"Ditrian hanya bisa mengangguk pelan."Padahal Anda tahu konsekuensinya?"Sesaat Ditrian hening."Apa kau bisa mengendalikan perasaan cinta ... wahai Elf yang bijak?"Ikiles juga nampak tak bisa menjawab. "Manusia itu berumur pendek. Wanita itu akan menua lebih dahulu ... lalu mati. Lalu Anda akan tetap mencintainya dalam kesendirian."Terdengar pedih. Ditrian juga tidak bisa berkata apa-apa."Direwolf adalah satu-satunya mahluk yang akan setia pada seorang saja sampai mati.""Lalu ... apa kau pikir aku bisa berpaling darinya?" Ikiles hanya bisa mengulum bibirnya. "Aku sudah mencoba ... dan aku tak bisa.
"Kau sudah paham cara menggunakannya 'kan?"Sheira mengangguk. Ia sudah memegang sebuah kantung kain dari Master Ikiles."Terimakasih, Master Ikiles. Aku tidak akan melupakan perbuatanmu ini."Ikiles tersenyum simpul. "Pesanku padamu, jagalah baik-baik rajaku. Jangan khianati dia. Jika kau melakukannya, aku akan tahu. Karena angin akan mengatakannya padaku. Dan jika itu terjadi ... lawanmu adalah aku.""Kau tak perlu khawatir soal itu, Master. Aku tidak punya siapapun untuk dikhianati. Dan ... dewa yang memintaku untuk menjadikannya sebagai kaisar benua ini.""Bukan soal itu ...."Sheira mengernyit bingung. "Lalu?"Belum sempat Ikiles menjawab, rombongan pedagang alias pengawal di bawah perintah Raja Ditrian datang ke pelataran istana tua itu.Sheira perlahan menoleh pada kedatangan mereka."Selamat pagi, Master Iki-," langkah Ditrian terhenti. "... les."Jantung pria itu berdegup sangat cepat. Waktu terasa berjal
"... Ditrian ...," panggilnya lagi.Pria itu langsung bangkit dari tidurnya. Telinga Direwolf-nya mencuat ingin memastikan suara itu. Benar-benar ada atau halusinasinya saja.Ia kenal suaranya. Suara Sheira. Beberapa ksatria lain juga ada yang terbangun. Ditrian segera menghampiri tenda kecil nan kokoh itu. Ia menyibak pintu kainnya dan mendapati Sheira yang masih terbungkus selimut kulit binatang."Sheira?!" pekiknya panik.Tubuhnya berguncang hebat sampai bisa menggetarkan tumpukan selimutnya. Ditrian langsung memeriksa baik-baik istrinya itu. Wajah putih Sheira terkubur di antara kain yang tebal, hanya menyisakan kedua mata peraknya."Kau tidak apa-apa?" cem