Perjalanan menuju Desan Manton membutuhkan waktu selama lima hari penuh kalau menggunakan kendaraan. Herbert yang berusia tiga puluhan menjadi pemimpin perjalanan. Dia mendapat amanah untuk menjaga keselamatan empat orang lainnya yang berada di dalam kereta kuda. Herbert memacu kudanya dengan sangat pelan seraya mengawas kiri-kanan jalan.
Kawasan yang mereka lewati adalah hutan luas. Jika tidak tahu medan, nyawa mereka bisa saja terancam, baik oleh serangan pencuri maupun serbuan hewan buas. Terdengar suara tangis Brockley di dalam, sementara Riley sedari tadi berusaha terus mendiamkannya.***Siang harinya.Pasukan perang Kekaisaran Omra sudah tiba di ujung Desa Arbilis arah tenggara. Jenderal Perang mereka membawa tujuh ratus pasukan, terdiri dari lima ratus infanteri, seratus kavaleri, dan seratus pemanah.Sedangkan dari pasukan dari Desa Arbilis juga sudah tiba lebih dulu. Lima puluh perempuan ditugaskan sebagai pemanah, sementara tiga ratus laki-laki sebagai pasukan yang memegang pedang dan tombak.Jika dilihat berdasarkan jumlah, kualitas, dan pengalaman berperang, jelas pasukan yang dipimpin oleh Avraam bakal kalah. Akan tetapi, sudah mafhum bahwa jumlah dan kualitas bukan parameter penentu sebuah kemenangan. Ketulusan dan tekad adalah modal besar.“Kau adalah Jenderal kami, Avraam!” pekik salah satu dari pasukan yang sudah siap dengan pedangnya.Avraam mengeluarkan pedangnya dari sarung, lalu mengangkatnya ke langit dan berkata tegas, “Pasukan berani mati! Yakinlah, kita akan mengalahkan mereka! Kita berperang demi desa dan kesejahteraan bersama!”Teriakan pun menggetarkan langit Arbilis.Avraam tahu kondisi di sekitar perbukitan ini. Dia memerintahkan kepada para perempuan untuk bersembunyi di balik bukit yang berada di sisi kiri dan kanan, dibagi menjadi dua pasukan, dipimpin oleh masing-masing satu komandan. Strategi yang Avraam terapkan sungguh ciamik. Pasukan pemanahnya berhasil membunuh banyak pasukan berkuda musuh. Sementara pasukan infanterinya berhasil memukul mundur pasukan musuh hingga banyak di antara mereka yang sampai menceburkan diri ke sungai. Meskipun dengan pasukan dan peralatan seadanya, Avraam bertarung tidak hanya dengan menggunakan teknik semata, tapi dia menggunakan taktik perang yang diajarkan oleh mendiang ayahnya.Pertempuran sengit tersebut berlangsung tidak sampai sore hari, karena di luar perkiraan, pasukan Avraam berhasil mengentaskan banyak musuh. Hebatnya, dengan pedangnya sendiri, Avraam berhasil memenggal leher Panglima Perang Omra. Ketika pimpinan perang musuh telah tewas, saat itulah pasukan Omra menyerahkan diri.Usai pertempuran perdana itu, sebagian besar kepala suku langsung mengangkat Avraam sebagai Raja pertama meskipun ada sebagian kecil yang menolaknya. Pada hari ini Avraam resmi menjadi Raja, dan sesuai dengan semangat kejayaan semua masyarakat Desa Arbilis, diberilah sebutan Raja Glora 1 bagi Avraam.Avraam diarak keliling desa. Semenjak hari ini, nama tempat mereka berganti nama menjadi Gloriston, negeri yang kaya dan penuh akan kejayaan. Avraam kemudian membentuk dan menjalankan sistem monarki yang terstruktur dan terkoordinir, dengan menunjuk beberapa orang guna menjalankan roda kerajaannya. Selain sebagai raja, dia juga tetap menjadi Panglima Perang jikalau nantinya kerajaan kembali diserang oleh musuh. Seiring berjalannya waktu, Avraam terus memperkuat semua sisi kerajaan, terutama di bidang militer.Kembali terjadi pemberontakan selama satu bulan oleh pendukung mantan Kepala Desa agar kiranya Avraam melepaskan posisi raja tersebut. Meski begitu, Avraam dan orang-orang yang setia padanya bisa menyelesaikan konflik internal tersebut, dengan cara mengangkat mantan Kepala Desa sebagai salah satu penasehat kerajaan, serta menempatkan beberapa dari mereka yang punya kompetensi dalam mengurus kerajaan.Suatu ketika di istananya, Raja Avraam berkata kepada istrinya, “Kita harus segera mencari Brockley. Sudah satu bulan kita tidak bertemu dengannya.”Megan mengangguk haru. “Aku rindu putraku. Suamiku, cepatlah kau utus pasukanmu untuk segera menemui Herbert dan menyuruh mereka semua pulang.”“Ya, kita harus segera memulangkannya. Sudah satu bulan ini negeri kita berada dalam situasi yang aman. Juga tidak ada tanda-tanda bahwa Kekaisaran Omra bakal memberikan serangan kembali.”“Aku sudah tidak sabar untuk segera berjumpa dengannya,” ucap Megan, matanya berkaca-kaca.Raja Avraam pada akhirnya mengutus belasan orang menuju Desa Manton untuk memberikan informasi ini kepada Herbert.***Di Desa Manton, sebuah gubuk tua di tengah hutan dan jauh dari keramaian. Herbert membeli gubuk tua itu seharga dua keping emas. Satu keping emas setara dengan seribu dollar. Di sanalah mereka menjalani keseharian dengan berbagai macam kesibukan.Suara tangis dan rengekan Brockley pecah tatkala sudah lebih dari tiga jam dia belum menyusu.Riley Royse menggendong dan menenangkannya. “Ibu Yara sedang mencari sayur dan buah bersama Kakak Lothar. Tunggulah sebentar ya, Nak!” lirih Riley dengan suara yang sangat lembut. Remaja itu terus berusaha mendiamkan tangisan si bayi yang begitu imut.Herbert tidak ada di rumah. Kalau pagi, biasanya Herbert berburu atau memancing untuk mencari makan siang. Karena jarak ke pasar cukup jauh, dia hanya sepekan sekali ke pasar. Dia diberi lima puluh keping emas dan dua ratus keping perak oleh Avraam untuk biaya hidup mereka.Brockley tidak bisa diam. Tangisnya makin besar. Jika Riley bisa menyusui, tentu dia akan menyusui Brockley. Dia telah menganggap Brockley layaknya anaknya sendiri. Berulang kali dia menciumi pipi Brockley yang sangat menggemaskan.“Sayang ... sabar yah.”Ketika berumur sepuluh tahun, Riley pergi dari rumahnya karena tidak betah, dan akhirnya dia dipertemukan dengan Megan dan diajak untuk tinggal bersama di rumahnya. Megan termasuk orang yang berkecukupan sehingga bisa memberikan penghidupan bagi Riley. Karena sangat dekat, Megan yang lebih tua sepuluh tahun telah menganggap Riley seperti adiknya sendiri.Hingga akhirnya Megan menikah dengan Avraam, Riley tetap dibiarkan satu atap bersama mereka. Riley yang masih remaja mengenyam pendidikan dasar di sebuah perguruan milik kerabat Avraam. Meski lepas dari pengawasan orang tua kandungnya, Riley tetap tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan matang.Pagi menjelang siang, Riley berdiri di mulut pintu, berharap Yara segera pulang.Tidak lama berselang, Yara pun pulang bersama Lothar kecil yang berada di gendongannya. Dia langsung menurunkan Lothar dan segera menyusui Brockley.Brockley menghentikan rengekannya saat mulutnya sudah menghisap susu dari Yara.“Mulai besok, aku akan menyiapkan stok asi di cangkir sebelum pergi, khawatirnya aku pulang terlalu lama seperti ini.”Riley tersenyum sambil bernapas lega saat melihat Brockley begitu asyik menikmatinya. “Ya, sebaiknya seperti itu, Kak. Kadang, baru satu jam diberi asi, dia sudah nangis lagi.” Kemudian Riley mengelus rambut Brockley yang baru beberapa hari kemarin dicukur.“Anakku yang tampan ...,” ucap Riley lalu terus menciumi pipi halus Brockley.Brockley tumbuh cepat dan sehat. Di usia kanak-kanak, Riley mengajarkannya membaca dan berhitung.“Berapa lima ditambah lima?” tanya Riley sambil sumringah menghadap Brockley.“Hm ... Sepuluh!” jawab Brockley tanpa ragu.Riley mengacungkan kedua jempolnya. Layaknya seorang guru dan sesuai amanah dari Avraam, Riley mengajari dan mendidik Brockley dengan sepenuh hati. Dari Brockley bayi sampai berusia lima tahun, Riley yang merawatnya, memandikannya, mencebokinya, menghiburnya, menyuapinya, dan memberikan dongeng sebelum tidur. Riley yang mengajarkan duduk, merangkak, berdiri, berjalan, dan bicara.Riley selau mengawasinya setiap saat dan di mana pun. Jika Brockley mau main di luar rumah, dia pasti menemaninya dengan penuh suka cita. Jika Brockley merengekkan sesuatu, dia pasti memenuhinya. Dia tidak pernah marah kalau Brockley nakal. Jangankan memukul, bahkan membentak saja dia tidak pernah. Dia membesarkan dan mendidik Brockley penuh dengan kesabaran dan kelembutan.Dia menyayangi Bro
Raja Avraam berulang kali melakukan pencarian anaknya dan rombongan tapi hasilnya nihil. Selama belasan tahun lamanya dia menunggu kehadiran putra sulungnya itu. Dan Megan, selama belasan tahun pula dia merindukannya. Suami istri itu resah mencari dan menunggu Brockley.Paman Herbert punya kebijakan lain. Dia memutuskan untuk mengembalikan Brockley kembali ke desa pada saat Brockley sudah dewasa disertai dengan ilmu dan skill bela diri yang luar biasa. Alasan lain adalah dia berpikir bahwa Kekaisaran Omra pasti menang perang dan telah menguasai desa.Jika pulang sekarang, tentunya dia dan lainnya hanya akan menjadi budak, atau setidaknya menjadi masyarakat biasa yang harus bekerja bagi Imperium Omra dan membayar pajak setiap bulan. Bagi Herbert, dia harus menjadikan Brockley setara dengan Jenderal Perang, bahkan kalau bisa lebih dari itu.“Kapan kita pulang, Paman?” tanya Brockley setelah baru saja latihan bela diri. Masa remajanya dipenuhi dengan latihan fisik setiap hari. Tiada hari
Saking terkejutnya, Herbert lantas duduk dan terus mencecar pertanyaan. “Apakah ada orang yang pernah datang ke rumah kita? Katakan padaku, Riley!” Herbert menghunuskan tatapan tajamnya ke arah bola mata Riley.“Kita tinggal di tengah hutan yang tidak pernah terjamah oleh orang luar. Tidak ada orang yang tahu keberadaan kita. Aku tidak mengerti, Kak, kenapa sampai sekarang kau masih menahan kami. Janjimu kepada Kak Avraam kita akan kembali ke desa ketika Brockley sudah berumur delapan tahun seandainya mereka kalah perang. Jika mereka menang perang, tidak perlu kita berlama-lama mengasingkan diri. Tujuan kita mengasingkan diri supaya kita dan Brockley tetap aman. Sebagian penduduk desa yang mengasingkan pun sama seperti kita. Seandainya mereka menang perang, untuk apa berlama-lama tinggal di hutan ini?” Riley menumpahkan semua kekesalannya setelah hampir dua puluh tahun mengasingkan diri.Padahal, bukan jawaban itu yang diharapkan oleh Herbert. Sebenarnya Herbert hanya ingin tahu siapa
Riley yang masih syok dan ketakutan tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, dia sangat menghormati Herbert layaknya dia menghormati Avraam. Dia juga menyayangi Brockley layaknya menyayangi anak kandungnya sendiri. Namun, dia tidak bisa membela siapa pun kali ini. Dia pasrah.Di luar rumah, sekitar pekarangan, Brockley sudah bersiap. Dia menatap pamannya dan berkata sebelum bertarung. “Apa alasan Paman tidak mau memulangkanku?”Meski belum sembuh total seratus persen, Herbert menggagahkan diri. “Benar kau mau tahu apa alasannya, keponakanku?”“Katakan saja padaku, Paman!” sergah Brockley dengan raut wajah penasaran.Herbert menarik napas dalam-dalam, bagaimana pun, dia sangat sayang sama Brockley. “Saat kau berumur lima belas tahun, aku mendapatkan info bahwa ayahmu telah meninggal karena diracuni oleh pengkhianat kerajaan. Ya, ayahmu pernah menjadi raja. Sejak itu, ibumu diangkat menjadi Ratu menggantikan posisi ayahmu. Dua tahun lalu, adikmu bernama Grock Leofwine dinobatkan menjadi Raja
Jika mereka berdua pulang dengan menggunakan kereta kuda seperti pada saat pergi, mereka hanya butuh waktu sekitar lima sampai tujuh hari. Sayangnya, tiga tahun lalu kuda tersebut mati meskipun Brockley sangat sering memacunya. Sementara perjalanan dengan berjalan kaki bisa saja menempuh waktu sampai dua puluh hari, bahkan lebih dari itu.Mengingat sosok Paman Herbert, lantas Brockley pun berkata dengan bijak. “Semenjak menghilangkan prasangka baik terhadap manusia, saat itulah aku mengerti arti kehidupan. Selama ini aku terjebak dalam kebaikan yang keliru. Orang yang aku anggap baik, sebenarnya tidak sepenuhnya baik.”Karena sepakat, Riley hanya menganggukkan kepala dengan tersenyum tipis. Tidak disangka hanya dengan satu kejadian saja, Brockley bisa mengambil pelajaran berharga dari situ. Riley terpukau akan kalimat yang baru saja terucap itu.Kemudian Brockley menegaskan pandangannya dan melanjutkan dengan nada yang tegas dan menggetarkan, “Selagi dia berasal dari tanah, dia tetap c
“Siapa orangnya?” Riley dengan cepat bertanya karena saking penasaran.“Bukan Bibi Yara. Sementara perempuan yang aku kenal hanya dua orang.”Riley menyetop jalannya. Dia terpaku dalam diam, dipaksa berpikir sendiri padahal dia pun tahu siapa orangnya. Namun, dia tak merespons.Melihat Riley berhenti, Brockley pun turut berhenti. Dia membalik badannya lalu berkata, “Ada apa Kak Riley?”Riley menunduk malu sambil menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”Melihat ekspresi canggung di wajah Riley, Brockley tak mau membuat perempuan itu terus terkurung dalam suasan hati yang menggelisahkan. Brockley mulai paham bagaimana cara mengubah suasana yang tegang agar menjadi cair. Jangan sampai perjalanan panjang ini tampak membosankan.“Kau adalah perempuannya, Kak Riley.”Untuk menepis kegelisahannya, Riley pun memaksakan diri memanggil Brockley dengan panggilan berbeda, “Nak, kau tidak boleh bercanda!”Tiba-tiba Brockley berhenti dan tercenung. “Kapan terakhir kau m
Satu yang lainnya berteriak dengan pandangan licik. “Ngapain kalian berdua di tengah hutan he? Kalian berdua mau mesum? Apa kalian sudah menikah? Kalian tidak mungkin suami istri karena untuk apa kalian mesum di sini!? Kau juga terlalu muda untuk ibu-ibu itu, Anak muda!” Si botak itu terus mencerocos, nanya sendiri jawab sendiri.Si rambut gondrong menatap kejam. “Anak muda, kau akan kami biarkan mesum di sini, lalu setelah itu pergilah, tapi tinggalkan semua apa yang kalian bawa!” Lelaki itu mengawasi dua karung besar dan satu kantong kecil. Mereka berdua pikir, sepertinya lelaki dan perempuan ini cukup kaya kalau dilihat dari apa yang dibawa. Sepertinya mereka akan menjadi kaya hari ini. Karena sudah lebih dari lima hari ini belum dapat mangsa, ketika melihat korban yang sepertinya lemah, maka dua orang itu tampak semangat sekali.Si botak kembali menebas-nebaskan dahan-dahan di dekatnya, bermaksud menggertak dan menakut-nakuti. Si pirang mengeluarkan pisau kecil dan cambuk lalu mem
Butuh waktu perjalanan selama setengah hari untuk bisa sampai di pasar. Selama dalam perjalanan, ada banyak hal yang mereka bahas. Untuk menghilangkan bayang-bayang dua mayat barusan, Brockley coba menghibur Riley yang masih saja keringat dingin tubuhnya.“Aku harap di pasar nanti ada yang menjual sayap. Hm, dalam karya penyair ternama, katanya bidadari itu bersayap.” Kemudian dia memperhatikan sekujur tubuh Riley dengan mimik wajah yang menghibur. “Riley, mana sayapmu? Apa transaparan?” Brockley mengerutkan alisnya sambil menyunggingkan senyum halus.Wajah yang tegang itu lambat laun mulai mendatar, tanpa ekspresi. Ketika Brokley terus mencecar dengan berbagai gombalan, akhirnya senyum manis pun terbit dari wajah manis Riley. Tapi dia malu memperlihatkan senyumnya. Terpaksa dia membuang pandangannya ke arah pepohonan rimbun. Tanpa berkata apa-apa.Deg!Brockley berusaha bijak. “Kepahitan hidup mengajarkan kita akan banyak hal. Akan tetapi, kenikm