Share

Bab 2

Perjalanan menuju Desan Manton membutuhkan waktu selama lima hari penuh kalau menggunakan kendaraan. Herbert yang berusia tiga puluhan menjadi pemimpin perjalanan. Dia mendapat amanah untuk menjaga keselamatan empat orang lainnya yang berada di dalam kereta kuda. Herbert memacu kudanya dengan sangat pelan seraya mengawas kiri-kanan jalan.

Kawasan yang mereka lewati adalah hutan luas. Jika tidak tahu medan, nyawa mereka bisa saja terancam, baik oleh serangan pencuri maupun serbuan hewan buas. Terdengar suara tangis Brockley di dalam, sementara Riley sedari tadi berusaha terus mendiamkannya.

***

Siang harinya.

Pasukan perang Kekaisaran Omra sudah tiba di ujung Desa Arbilis arah tenggara. Jenderal Perang mereka membawa tujuh ratus pasukan, terdiri dari lima ratus infanteri, seratus kavaleri, dan seratus pemanah.

Sedangkan dari pasukan dari Desa Arbilis juga sudah tiba lebih dulu. Lima puluh perempuan ditugaskan sebagai pemanah, sementara tiga ratus laki-laki sebagai pasukan yang memegang pedang dan tombak.

Jika dilihat berdasarkan jumlah, kualitas, dan pengalaman berperang, jelas pasukan yang dipimpin oleh Avraam bakal kalah. Akan tetapi, sudah mafhum bahwa jumlah dan kualitas bukan parameter penentu sebuah kemenangan. Ketulusan dan tekad adalah modal besar.

“Kau adalah Jenderal kami, Avraam!” pekik salah satu dari pasukan yang sudah siap dengan pedangnya.

Avraam mengeluarkan pedangnya dari sarung, lalu mengangkatnya ke langit dan berkata tegas, “Pasukan berani mati! Yakinlah, kita akan mengalahkan mereka! Kita berperang demi desa dan kesejahteraan bersama!”

Teriakan pun menggetarkan langit Arbilis.

Avraam tahu kondisi di sekitar perbukitan ini. Dia memerintahkan kepada para perempuan untuk bersembunyi di balik bukit yang berada di sisi kiri dan kanan, dibagi menjadi dua pasukan, dipimpin oleh masing-masing satu komandan. 

Strategi yang Avraam terapkan sungguh ciamik. Pasukan pemanahnya berhasil membunuh banyak pasukan berkuda musuh. Sementara pasukan infanterinya berhasil memukul mundur pasukan musuh hingga banyak di antara mereka yang sampai menceburkan diri ke sungai. Meskipun dengan pasukan dan peralatan seadanya, Avraam bertarung tidak hanya dengan menggunakan teknik semata, tapi dia menggunakan taktik perang yang diajarkan oleh mendiang ayahnya.

Pertempuran sengit tersebut berlangsung tidak sampai sore hari, karena di luar perkiraan, pasukan Avraam berhasil mengentaskan banyak musuh. Hebatnya, dengan pedangnya sendiri, Avraam berhasil memenggal leher Panglima Perang Omra. Ketika pimpinan perang musuh telah tewas, saat itulah pasukan Omra menyerahkan diri.

Usai pertempuran perdana itu, sebagian besar kepala suku langsung mengangkat Avraam sebagai Raja pertama meskipun ada sebagian kecil yang menolaknya. Pada hari ini Avraam resmi menjadi Raja, dan sesuai dengan semangat kejayaan semua masyarakat Desa Arbilis, diberilah sebutan Raja Glora 1 bagi Avraam.

Avraam diarak keliling desa. Semenjak hari ini, nama tempat mereka berganti nama menjadi Gloriston, negeri yang kaya dan penuh akan kejayaan. Avraam kemudian membentuk dan menjalankan sistem monarki yang terstruktur dan terkoordinir, dengan menunjuk beberapa orang guna menjalankan roda kerajaannya. Selain sebagai raja, dia juga tetap menjadi Panglima Perang jikalau nantinya kerajaan kembali diserang oleh musuh. Seiring berjalannya waktu, Avraam terus memperkuat semua sisi kerajaan, terutama di bidang militer.

Kembali terjadi pemberontakan selama satu bulan oleh pendukung mantan Kepala Desa agar kiranya Avraam melepaskan posisi raja tersebut. Meski begitu, Avraam dan orang-orang yang setia padanya bisa menyelesaikan konflik internal tersebut, dengan cara mengangkat mantan Kepala Desa sebagai salah satu penasehat kerajaan, serta menempatkan beberapa dari mereka yang punya kompetensi dalam mengurus kerajaan.

Suatu ketika di istananya, Raja Avraam berkata kepada istrinya, “Kita harus segera mencari Brockley. Sudah satu bulan kita tidak bertemu dengannya.”

Megan mengangguk haru. “Aku rindu putraku. Suamiku, cepatlah kau utus pasukanmu untuk segera menemui Herbert dan menyuruh mereka semua pulang.”

“Ya, kita harus segera memulangkannya. Sudah satu bulan ini negeri kita berada dalam situasi yang aman. Juga tidak ada tanda-tanda bahwa Kekaisaran Omra bakal memberikan serangan kembali.”

“Aku sudah tidak sabar untuk segera berjumpa dengannya,” ucap Megan, matanya berkaca-kaca.

Raja Avraam pada akhirnya mengutus belasan orang menuju Desa Manton untuk memberikan informasi ini kepada Herbert.

***

Di Desa Manton, sebuah gubuk tua di tengah hutan dan jauh dari keramaian. Herbert membeli gubuk tua itu seharga dua keping emas. Satu keping emas setara dengan seribu dollar. Di sanalah mereka menjalani keseharian dengan berbagai macam kesibukan.

Suara tangis dan rengekan Brockley pecah tatkala sudah lebih dari tiga jam dia belum menyusu.

Riley Royse menggendong dan menenangkannya. “Ibu Yara sedang mencari sayur dan buah bersama Kakak Lothar. Tunggulah sebentar ya, Nak!” lirih Riley dengan suara yang sangat lembut. Remaja itu terus berusaha mendiamkan tangisan si bayi yang begitu imut.

Herbert tidak ada di rumah. Kalau pagi, biasanya Herbert berburu atau memancing untuk mencari makan siang. Karena jarak ke pasar cukup jauh, dia hanya sepekan sekali ke pasar. Dia diberi lima puluh keping emas dan dua ratus keping perak oleh Avraam untuk biaya hidup mereka.

Brockley tidak bisa diam. Tangisnya makin besar. Jika Riley bisa menyusui, tentu dia akan menyusui Brockley. Dia telah menganggap Brockley layaknya anaknya sendiri. Berulang kali dia menciumi pipi Brockley yang sangat menggemaskan.

“Sayang ... sabar yah.”

Ketika berumur sepuluh tahun, Riley pergi dari rumahnya karena tidak betah, dan akhirnya dia dipertemukan dengan Megan dan diajak untuk tinggal bersama di rumahnya. Megan termasuk orang yang berkecukupan sehingga bisa memberikan penghidupan bagi Riley. Karena sangat dekat, Megan yang lebih tua sepuluh tahun telah menganggap Riley seperti adiknya sendiri.

Hingga akhirnya Megan menikah dengan Avraam, Riley tetap dibiarkan satu atap bersama mereka. Riley yang masih remaja mengenyam pendidikan dasar di sebuah perguruan milik kerabat Avraam. Meski lepas dari pengawasan orang tua kandungnya, Riley tetap tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan matang.

Pagi menjelang siang, Riley berdiri di mulut pintu, berharap Yara segera pulang.

Tidak lama berselang, Yara pun pulang bersama Lothar kecil yang berada di gendongannya. Dia langsung menurunkan Lothar dan segera menyusui Brockley.

Brockley menghentikan rengekannya saat mulutnya sudah menghisap susu dari Yara.

“Mulai besok, aku akan menyiapkan stok asi di cangkir sebelum pergi, khawatirnya aku pulang terlalu lama seperti ini.”

Riley tersenyum sambil bernapas lega saat melihat Brockley begitu asyik menikmatinya. “Ya, sebaiknya seperti itu, Kak. Kadang, baru satu jam diberi asi, dia sudah nangis lagi.” Kemudian Riley mengelus rambut Brockley yang baru beberapa hari kemarin dicukur.

“Anakku yang tampan ...,” ucap Riley lalu terus menciumi pipi halus Brockley.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status