Brockley tumbuh cepat dan sehat. Di usia kanak-kanak, Riley mengajarkannya membaca dan berhitung.
“Berapa lima ditambah lima?” tanya Riley sambil sumringah menghadap Brockley.“Hm ... Sepuluh!” jawab Brockley tanpa ragu.Riley mengacungkan kedua jempolnya. Layaknya seorang guru dan sesuai amanah dari Avraam, Riley mengajari dan mendidik Brockley dengan sepenuh hati. Dari Brockley bayi sampai berusia lima tahun, Riley yang merawatnya, memandikannya, mencebokinya, menghiburnya, menyuapinya, dan memberikan dongeng sebelum tidur. Riley yang mengajarkan duduk, merangkak, berdiri, berjalan, dan bicara.Riley selau mengawasinya setiap saat dan di mana pun. Jika Brockley mau main di luar rumah, dia pasti menemaninya dengan penuh suka cita. Jika Brockley merengekkan sesuatu, dia pasti memenuhinya. Dia tidak pernah marah kalau Brockley nakal. Jangankan memukul, bahkan membentak saja dia tidak pernah. Dia membesarkan dan mendidik Brockley penuh dengan kesabaran dan kelembutan.Dia menyayangi Brockley seperti dia menyayangi dirinya sendiri.Ketika Brockley berumur delapan tahun, Riley sering mengajaknya bermain di hutan sebab anak di usia itu memang sedang aktif-aktinya. Dia mengasah motorik Brockley biar makin baik. “Ayo kejar kakak kalau bisa!” Berat rasanya Riley menyebut dirinya ibu padahal usia dan tanggung jawabnya sudah sama seperti ibu.“Aku pasti akan menang kalau lomba lari dengan Kakak!” seru Brockley dengan penuh semangat. Dia pun melangkah panjang, menapakkan kakinya di atas tanah dan rerumputan.“Ayo kalahkan Kakak lagi kalau bisa!” ucap Riley sengit seraya mencebikkan bibirnya.“Gendong aku sampai rumah kalau aku menang!”“Pijiti Kakak lagi kalau kau kalah lagi!”“Baik!”Dengan sepenuh tenaganya Brockley berlari dengan sangat kencang. Deru angin membuat rambutnya berkibaran di udara. Beberapa kali dia menyeka keringat yang menetes di keningnya. Dia bergumam sendiri bahwa dia mesti menang kali ini.Saat sedang berlari kencang, tiba-tiba kaki Riley tersandung batu hingga tubuhnya terjungkal ke depan.Bukh!“Haduh!” rintihnya sambil memegangi dengkulnya yang lecet.Bukannya terus lari dan mengejar kemenangan, Brockley malah berhenti dan menolong Riley. Dia mengusap darah yang keluar dari kulit lembut Riley. “Pasti sakit, Kak?” desisnya dengan raut wajah khawatir.“Sakitnya hilang pas kau pegang, Brockley. Jari tanganmu seperti obat,” canda Riley sambil tersenyum, padahal sedari tadi dia menahan sakit. “Kenapa kau berhenti? Harusnya kau lari lagi dan bisa menang.”Brockley kecil mengangkat bahunya sekali sambil mengerutkan bibir. “Aku kasihan sama Kak Riley. Aku tidak tega melihat Kakak jatuh apalagi terluka seperti ini.”Kemudian Brockley mematahkan batang keladi, lalu mengoleskan getahnya ke bagian luka. “Semoga cepat sembuh!” ucapnya sambil mengusahakan senyum.“Karena kau sudah menang, jadi biar Kakak gendong sampai rumah.”“Kakak sedang terluka. Tidak usah. Lain kali saja gendongnya?”“Nanti kita kelupaan. Ayolah!” Akhirnya Brockley pun naik ke punggung Riley meskipun Riley tertatih-tatih menuju rumah.***Di usianya yang masih sangat belia, Brockley mendapat banyak pelajaran berharga dari Riley tentang banyak hal, tidak hanya sebatas membaca, menulis, dan berhitung saja. Brockley diajarkan sastra, sejarah, bahkan filsafat dan ilmu alam. Riley mendapatkan semua pengetahuan itu dari gurunya dan juga dari puluhan buku yang dia baca.“Aristoteles berusaha membuat keberaturan dalam sistem pemerintahan. Dia menciptakan sistem klasifikasi monarki, oligarki, tirani, demokrasi, dan republik.”Brockley mengangguk paham mendengarkan pembelajaran dari gurunya.Dalam sebuah kesempatan, Riley berdiri di hadapan Brockley sambil membacakan beberapa penggal karya Homer.Sebuah pertunjukan yang begitu luar biasa dari Riley Royse, hingga membuat anak kecil itu merasa takjub dan terpana.Sejak saat itu, Brockley gemar membaca puisi karya penyair ternama. Tidak hanya itu, sejak kecil dia pun mulai berkarya menulis beberapa bait puisi yang indah.Ada satu puisi karya Brockley yang cukup menyita perhatian, dengan judul ‘Dia’.Saat ku gelapkan pandangan.Aku melihat Dewi yang hadir.Bukan dari surga.Dia muncul dari hati.Tapi, akankah dia bisa masuk ke hati?Belum juga berusia sepuluh tahun, Brockley sudah bisa membuat jantung Riley berdesir. “Bagaimana ceritanya kau bisa menulis puisi sebagus ini?” tanyanya sambil mengernyitkan kening.“Karena aku sering membaca puisi karya Kak Riley. Kakak bilang itu bagus? Aku rasa karyaku itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan karya Kakak.”Bukan, bukan itu maksud Riley. Tapi, bagaimana bisa seorang Brockley bisa menggetarkan hatinya? Kenapa tiba-tiba Riley tersentuh hatinya saat membaca puisi itu? Apakah ada yang keliru? Riley menghembuskan napas panjang dan membuang mukanya.Karena dari kecil sudah dicekoki pemikiran yang berat, rasa ingin tahu Brockley pun meningkat dengan cukup signifikan. Dia bertanya dengan penuh rasa penasaran, “Kak, untuk apa kita diciptakan?” Matanya agak menyipit dan pandangannya sangat serius.Riley memundurkan kepalanya dan menaruh penanya. Cukup banyak jawaban yang bertebaran di dalam benaknya. Namun, jika dia jawab seperti apa yang ada pada persepsinya, dia ragu kalau Brockley bakal paham apa yang bakal dia sampaikan. Menurutnya, usia Brockley yang masih kecil mungkin belum bisa mencernanya.Riley tersenyum lalu menjawab, “Arti kehidupan akan kita ketahui setelah kita melewati tahapan hidup yang panjang dan berat. Pertanyaanmu terlalu tinggi, Brockley. Lebih baik kau bertanya hal-hal yang ringan saja.”Brockley mendengus pendek. Dia mengoles dagu dan bertanya kembali, “Apa itu cinta?”Lagi-lagi Riley menaruh penanya dan menghentikan menulisnya. “Ketika kau sudah mulai dewasa, kau akan mengerti sendiri apa itu cinta, tanpa harus dijelaskan oleh siapa pun.”“Aku harus tahu sekarang!” desak Brockley tak peduli.Menyaksikan Brockley begitu antusias, Riley terperanjat dan sedikit syok. “Kau masih sangat kecil, Brockley. Lagi pula, kau tidak mengenal perempuan di sini kecuali Kakak dan Bibi Yara saja.”“Aku penasaran karena hampir semua puisi karya Kakak itu tentang cinta. Laki-laki di sini hanya Paman Herbert, aku, dan Kak Lothar. Kok bisa Kakak banyak nulis puisi cinta?”Riley memaksakan senyum menyaksiakan tingkah anak kecil di hadapannya ini. “Pokoknya, soal cinta, nanti pas sudah besar kau akan mengerti sendiri, setidaknya pas kau sudah masuk ke masa pubertas nanti, mungkin tiga tahun lagi.”“Apa tandanya?”“Kau bermimpi dan cairan akan keluar dari kemaluanmu.” Riley mengatakan itu dengan terang-terangan.Mendengar penjelasan yang gamblang dan buat penasaran itu, Brockley hanya bisa mengangguk beberapa kali.Dalam sebuah kesempatan yang lain, Brockley yang telah menginjak usia dua belas tahun lantas meminta sesuatu. “Ceritakan aku tentang peperangan zaman dulu!”Seperti seorang guru sejarah, Riley membuka salah satu buku usang yang menceritakan peperangan era sebelum masehi. Dia menceritakan tentang gagahnya panglima yang memimpin pasukan perang.Brockley berdiri sambil mengepalkan tinju. “Aku akan jadi panglima perang juga!” serunya dengan suara yang sangat lantang.Raja Avraam berulang kali melakukan pencarian anaknya dan rombongan tapi hasilnya nihil. Selama belasan tahun lamanya dia menunggu kehadiran putra sulungnya itu. Dan Megan, selama belasan tahun pula dia merindukannya. Suami istri itu resah mencari dan menunggu Brockley.Paman Herbert punya kebijakan lain. Dia memutuskan untuk mengembalikan Brockley kembali ke desa pada saat Brockley sudah dewasa disertai dengan ilmu dan skill bela diri yang luar biasa. Alasan lain adalah dia berpikir bahwa Kekaisaran Omra pasti menang perang dan telah menguasai desa.Jika pulang sekarang, tentunya dia dan lainnya hanya akan menjadi budak, atau setidaknya menjadi masyarakat biasa yang harus bekerja bagi Imperium Omra dan membayar pajak setiap bulan. Bagi Herbert, dia harus menjadikan Brockley setara dengan Jenderal Perang, bahkan kalau bisa lebih dari itu.“Kapan kita pulang, Paman?” tanya Brockley setelah baru saja latihan bela diri. Masa remajanya dipenuhi dengan latihan fisik setiap hari. Tiada hari
Saking terkejutnya, Herbert lantas duduk dan terus mencecar pertanyaan. “Apakah ada orang yang pernah datang ke rumah kita? Katakan padaku, Riley!” Herbert menghunuskan tatapan tajamnya ke arah bola mata Riley.“Kita tinggal di tengah hutan yang tidak pernah terjamah oleh orang luar. Tidak ada orang yang tahu keberadaan kita. Aku tidak mengerti, Kak, kenapa sampai sekarang kau masih menahan kami. Janjimu kepada Kak Avraam kita akan kembali ke desa ketika Brockley sudah berumur delapan tahun seandainya mereka kalah perang. Jika mereka menang perang, tidak perlu kita berlama-lama mengasingkan diri. Tujuan kita mengasingkan diri supaya kita dan Brockley tetap aman. Sebagian penduduk desa yang mengasingkan pun sama seperti kita. Seandainya mereka menang perang, untuk apa berlama-lama tinggal di hutan ini?” Riley menumpahkan semua kekesalannya setelah hampir dua puluh tahun mengasingkan diri.Padahal, bukan jawaban itu yang diharapkan oleh Herbert. Sebenarnya Herbert hanya ingin tahu siapa
Riley yang masih syok dan ketakutan tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, dia sangat menghormati Herbert layaknya dia menghormati Avraam. Dia juga menyayangi Brockley layaknya menyayangi anak kandungnya sendiri. Namun, dia tidak bisa membela siapa pun kali ini. Dia pasrah.Di luar rumah, sekitar pekarangan, Brockley sudah bersiap. Dia menatap pamannya dan berkata sebelum bertarung. “Apa alasan Paman tidak mau memulangkanku?”Meski belum sembuh total seratus persen, Herbert menggagahkan diri. “Benar kau mau tahu apa alasannya, keponakanku?”“Katakan saja padaku, Paman!” sergah Brockley dengan raut wajah penasaran.Herbert menarik napas dalam-dalam, bagaimana pun, dia sangat sayang sama Brockley. “Saat kau berumur lima belas tahun, aku mendapatkan info bahwa ayahmu telah meninggal karena diracuni oleh pengkhianat kerajaan. Ya, ayahmu pernah menjadi raja. Sejak itu, ibumu diangkat menjadi Ratu menggantikan posisi ayahmu. Dua tahun lalu, adikmu bernama Grock Leofwine dinobatkan menjadi Raja
Jika mereka berdua pulang dengan menggunakan kereta kuda seperti pada saat pergi, mereka hanya butuh waktu sekitar lima sampai tujuh hari. Sayangnya, tiga tahun lalu kuda tersebut mati meskipun Brockley sangat sering memacunya. Sementara perjalanan dengan berjalan kaki bisa saja menempuh waktu sampai dua puluh hari, bahkan lebih dari itu.Mengingat sosok Paman Herbert, lantas Brockley pun berkata dengan bijak. “Semenjak menghilangkan prasangka baik terhadap manusia, saat itulah aku mengerti arti kehidupan. Selama ini aku terjebak dalam kebaikan yang keliru. Orang yang aku anggap baik, sebenarnya tidak sepenuhnya baik.”Karena sepakat, Riley hanya menganggukkan kepala dengan tersenyum tipis. Tidak disangka hanya dengan satu kejadian saja, Brockley bisa mengambil pelajaran berharga dari situ. Riley terpukau akan kalimat yang baru saja terucap itu.Kemudian Brockley menegaskan pandangannya dan melanjutkan dengan nada yang tegas dan menggetarkan, “Selagi dia berasal dari tanah, dia tetap c
“Siapa orangnya?” Riley dengan cepat bertanya karena saking penasaran.“Bukan Bibi Yara. Sementara perempuan yang aku kenal hanya dua orang.”Riley menyetop jalannya. Dia terpaku dalam diam, dipaksa berpikir sendiri padahal dia pun tahu siapa orangnya. Namun, dia tak merespons.Melihat Riley berhenti, Brockley pun turut berhenti. Dia membalik badannya lalu berkata, “Ada apa Kak Riley?”Riley menunduk malu sambil menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”Melihat ekspresi canggung di wajah Riley, Brockley tak mau membuat perempuan itu terus terkurung dalam suasan hati yang menggelisahkan. Brockley mulai paham bagaimana cara mengubah suasana yang tegang agar menjadi cair. Jangan sampai perjalanan panjang ini tampak membosankan.“Kau adalah perempuannya, Kak Riley.”Untuk menepis kegelisahannya, Riley pun memaksakan diri memanggil Brockley dengan panggilan berbeda, “Nak, kau tidak boleh bercanda!”Tiba-tiba Brockley berhenti dan tercenung. “Kapan terakhir kau m
Satu yang lainnya berteriak dengan pandangan licik. “Ngapain kalian berdua di tengah hutan he? Kalian berdua mau mesum? Apa kalian sudah menikah? Kalian tidak mungkin suami istri karena untuk apa kalian mesum di sini!? Kau juga terlalu muda untuk ibu-ibu itu, Anak muda!” Si botak itu terus mencerocos, nanya sendiri jawab sendiri.Si rambut gondrong menatap kejam. “Anak muda, kau akan kami biarkan mesum di sini, lalu setelah itu pergilah, tapi tinggalkan semua apa yang kalian bawa!” Lelaki itu mengawasi dua karung besar dan satu kantong kecil. Mereka berdua pikir, sepertinya lelaki dan perempuan ini cukup kaya kalau dilihat dari apa yang dibawa. Sepertinya mereka akan menjadi kaya hari ini. Karena sudah lebih dari lima hari ini belum dapat mangsa, ketika melihat korban yang sepertinya lemah, maka dua orang itu tampak semangat sekali.Si botak kembali menebas-nebaskan dahan-dahan di dekatnya, bermaksud menggertak dan menakut-nakuti. Si pirang mengeluarkan pisau kecil dan cambuk lalu mem
Butuh waktu perjalanan selama setengah hari untuk bisa sampai di pasar. Selama dalam perjalanan, ada banyak hal yang mereka bahas. Untuk menghilangkan bayang-bayang dua mayat barusan, Brockley coba menghibur Riley yang masih saja keringat dingin tubuhnya.“Aku harap di pasar nanti ada yang menjual sayap. Hm, dalam karya penyair ternama, katanya bidadari itu bersayap.” Kemudian dia memperhatikan sekujur tubuh Riley dengan mimik wajah yang menghibur. “Riley, mana sayapmu? Apa transaparan?” Brockley mengerutkan alisnya sambil menyunggingkan senyum halus.Wajah yang tegang itu lambat laun mulai mendatar, tanpa ekspresi. Ketika Brokley terus mencecar dengan berbagai gombalan, akhirnya senyum manis pun terbit dari wajah manis Riley. Tapi dia malu memperlihatkan senyumnya. Terpaksa dia membuang pandangannya ke arah pepohonan rimbun. Tanpa berkata apa-apa.Deg!Brockley berusaha bijak. “Kepahitan hidup mengajarkan kita akan banyak hal. Akan tetapi, kenikm
Setelah mendirikan sebuah kemah untuk mereka beristirahat, Brockley menghidupkan api unggun untuk memberikan kehangatan di sekitar sana. Dia akan tidur di luar sementara Riley tidur di dalam.Namun, Riley tidak bisa tidur. Dia duduk di samping Brockley sambil melihat api di hadapan mereka. “Aku mau ngobrol sama kau, Brockley. Aku heran, kenapa kau bisa sangat peduli dengan dua pengemis tadi?”Brockley meneguk air hangatnya lalu berkata, “Walaupun aku belum pernah merasakan apa yang mereka rasakan, tapi aku berusaha untuk merasakannya. Sungguh pedih. Aku pastikan mereka merasakan pedih di hatinya ketika dicaci, dihina, ditertawakan, diusir. Aku membayangkan jika aku di posisi mereka. Maka dari itu, aku tidak tega melihat orang dizalimi.”Setelah hening beberapa saat, dia melanjutkan, “Dan aku lebih tidak suka dengan para penjaga pasar itu. Seandainya mereka sudah keterlaluan, bisa jadi aku berekelahi dengan mereka. Aku sudah banyak membaca kisah-kisah pembu