Share

Bab 3

Brockley tumbuh cepat dan sehat. Di usia kanak-kanak, Riley mengajarkannya membaca dan berhitung.

“Berapa lima ditambah lima?” tanya Riley sambil sumringah menghadap Brockley.

“Hm ... Sepuluh!” jawab Brockley tanpa ragu.

Riley mengacungkan kedua jempolnya. Layaknya seorang guru dan sesuai amanah dari Avraam, Riley mengajari dan mendidik Brockley dengan sepenuh hati. Dari Brockley bayi sampai berusia lima tahun, Riley yang merawatnya, memandikannya, mencebokinya, menghiburnya, menyuapinya, dan memberikan dongeng sebelum tidur. Riley yang mengajarkan duduk, merangkak, berdiri, berjalan, dan bicara.

Riley selau mengawasinya setiap saat dan di mana pun. Jika Brockley mau main di luar rumah, dia pasti menemaninya dengan penuh suka cita. Jika Brockley merengekkan sesuatu, dia pasti memenuhinya. Dia tidak pernah marah kalau Brockley nakal. Jangankan memukul, bahkan membentak saja dia tidak pernah. Dia membesarkan dan mendidik Brockley penuh dengan kesabaran dan kelembutan.

Dia menyayangi Brockley seperti dia menyayangi dirinya sendiri.

Ketika Brockley berumur delapan tahun, Riley sering mengajaknya bermain di hutan sebab anak di usia itu memang sedang aktif-aktinya. Dia mengasah motorik Brockley biar makin baik. “Ayo kejar kakak kalau bisa!” Berat rasanya Riley menyebut dirinya ibu padahal usia dan tanggung jawabnya sudah sama seperti ibu.

“Aku pasti akan menang kalau lomba lari dengan Kakak!” seru Brockley dengan penuh semangat. Dia pun melangkah panjang, menapakkan kakinya di atas tanah dan rerumputan.

“Ayo kalahkan Kakak lagi kalau bisa!” ucap Riley sengit seraya mencebikkan bibirnya.

“Gendong aku sampai rumah kalau aku menang!”

“Pijiti Kakak lagi kalau kau kalah lagi!”

“Baik!”

Dengan sepenuh tenaganya Brockley berlari dengan sangat kencang. Deru angin membuat rambutnya berkibaran di udara. Beberapa kali dia menyeka keringat yang menetes di keningnya. Dia bergumam sendiri bahwa dia mesti menang kali ini.

Saat sedang berlari kencang, tiba-tiba kaki Riley tersandung batu hingga tubuhnya terjungkal ke depan.

Bukh!

“Haduh!” rintihnya sambil memegangi dengkulnya yang lecet.

Bukannya terus lari dan mengejar kemenangan, Brockley malah berhenti dan menolong Riley. Dia mengusap darah yang keluar dari kulit lembut Riley. “Pasti sakit, Kak?” desisnya dengan raut wajah khawatir.

“Sakitnya hilang pas kau pegang, Brockley. Jari tanganmu seperti obat,” canda Riley sambil tersenyum, padahal sedari tadi dia menahan sakit. “Kenapa kau berhenti? Harusnya kau lari lagi dan bisa menang.”

Brockley kecil mengangkat bahunya sekali sambil mengerutkan bibir. “Aku kasihan sama Kak Riley. Aku tidak tega melihat Kakak jatuh apalagi terluka seperti ini.”

Kemudian Brockley mematahkan batang keladi, lalu mengoleskan getahnya ke bagian luka. “Semoga cepat sembuh!” ucapnya sambil mengusahakan senyum.

“Karena kau sudah menang, jadi biar Kakak gendong sampai rumah.”

“Kakak sedang terluka. Tidak usah. Lain kali saja gendongnya?”

“Nanti kita kelupaan. Ayolah!” 

Akhirnya Brockley pun naik ke punggung Riley meskipun Riley tertatih-tatih menuju rumah.

***

Di usianya yang masih sangat belia, Brockley mendapat banyak pelajaran berharga dari Riley tentang banyak hal, tidak hanya sebatas membaca, menulis, dan berhitung saja. Brockley diajarkan sastra,  sejarah, bahkan filsafat dan ilmu alam. Riley mendapatkan semua pengetahuan itu dari gurunya dan juga dari puluhan buku yang dia baca.

“Aristoteles berusaha membuat keberaturan dalam sistem pemerintahan. Dia menciptakan sistem klasifikasi monarki, oligarki, tirani, demokrasi, dan republik.”

Brockley mengangguk paham mendengarkan pembelajaran dari gurunya.

Dalam sebuah kesempatan, Riley berdiri di hadapan Brockley sambil membacakan beberapa penggal karya Homer.

Sebuah pertunjukan yang begitu luar biasa dari Riley Royse, hingga membuat anak kecil itu merasa takjub dan terpana.

Sejak saat itu, Brockley gemar membaca puisi karya penyair ternama. Tidak hanya itu, sejak kecil dia pun mulai berkarya menulis beberapa bait puisi yang indah.

Ada satu puisi karya Brockley yang cukup menyita perhatian, dengan judul ‘Dia’.

Saat ku gelapkan pandangan.

Aku melihat Dewi yang hadir.

Bukan dari surga.

Dia muncul dari hati.

Tapi, akankah dia bisa masuk ke hati?

Belum juga berusia sepuluh tahun, Brockley sudah bisa membuat jantung Riley berdesir. “Bagaimana ceritanya kau bisa menulis puisi sebagus ini?” tanyanya sambil mengernyitkan kening.

“Karena aku sering membaca puisi karya Kak Riley. Kakak bilang itu bagus? Aku rasa karyaku itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan karya Kakak.”

Bukan, bukan itu maksud Riley. Tapi, bagaimana bisa seorang Brockley bisa menggetarkan hatinya? Kenapa tiba-tiba Riley tersentuh hatinya saat membaca puisi itu? Apakah ada yang keliru? Riley menghembuskan napas panjang dan membuang mukanya.

Karena dari kecil sudah dicekoki pemikiran yang berat, rasa ingin tahu Brockley pun meningkat dengan cukup signifikan. Dia bertanya dengan penuh rasa penasaran, “Kak, untuk apa kita diciptakan?” Matanya agak menyipit dan pandangannya sangat serius.

Riley memundurkan kepalanya dan menaruh penanya. Cukup banyak jawaban yang bertebaran di dalam benaknya. Namun, jika dia jawab seperti apa yang ada pada persepsinya, dia ragu kalau Brockley bakal paham apa yang bakal dia sampaikan. Menurutnya, usia Brockley yang masih kecil mungkin belum bisa mencernanya.

Riley tersenyum lalu menjawab, “Arti kehidupan akan kita ketahui setelah kita melewati tahapan hidup yang panjang dan berat. Pertanyaanmu terlalu tinggi, Brockley. Lebih baik kau bertanya hal-hal yang ringan saja.”

Brockley mendengus pendek. Dia mengoles dagu dan bertanya kembali, “Apa itu cinta?”

Lagi-lagi Riley menaruh penanya dan menghentikan menulisnya. “Ketika kau sudah mulai dewasa, kau akan mengerti sendiri apa itu cinta, tanpa harus dijelaskan oleh siapa pun.”

“Aku harus tahu sekarang!” desak Brockley tak peduli.

Menyaksikan Brockley begitu antusias, Riley terperanjat dan sedikit syok. “Kau masih sangat kecil, Brockley. Lagi pula, kau tidak mengenal perempuan di sini kecuali Kakak dan Bibi Yara saja.”

“Aku penasaran karena hampir semua puisi karya Kakak itu tentang cinta. Laki-laki di sini hanya Paman Herbert, aku, dan Kak Lothar. Kok bisa Kakak banyak nulis puisi cinta?”

Riley memaksakan senyum menyaksiakan tingkah anak kecil di hadapannya ini. “Pokoknya, soal cinta, nanti pas sudah besar kau akan mengerti sendiri, setidaknya pas kau sudah masuk ke masa pubertas nanti, mungkin tiga tahun lagi.”

“Apa tandanya?”

“Kau bermimpi dan cairan akan keluar dari kemaluanmu.” Riley mengatakan itu dengan terang-terangan.

Mendengar penjelasan yang gamblang dan buat penasaran itu, Brockley hanya bisa mengangguk beberapa kali.

Dalam sebuah kesempatan yang lain, Brockley yang telah menginjak usia dua belas tahun lantas meminta sesuatu. “Ceritakan aku tentang peperangan zaman dulu!”

Seperti seorang guru sejarah, Riley membuka salah satu buku usang yang menceritakan peperangan era sebelum masehi. Dia menceritakan tentang gagahnya panglima yang memimpin pasukan perang.

Brockley berdiri sambil mengepalkan tinju. “Aku akan jadi panglima perang juga!” serunya dengan suara yang sangat lantang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status