[2 Tahun Lalu]Menjalani hari berstatus sebagai mahasiswa semester awal, tepatnya semester dua. Pastilah dipenuhi berbagai ekspektasi dan keinginan untuk terlibat langsung dengan segala kegiatan kampus, ingin meraih banyak penghargaan atas kegiatan yang diikuti, berharap nilai terdongkrak sempurna karena aktif dalam kegiatan kampus, dan banyak lagi.Tidak jarang keinginan dan ekspektasi yang dicurahkan melebihi batas kemampuan yang dimiliki, melebihi batas waktu yang ditetapkan, dan meninggalkan banyak kekecewaan dan rasa gagal. Meski begitu, momen-momen pada semester awal juga yang seringkali dianggap sebagai proses pembentukan mental menuju semester berikutnya.Seorang wanita berambut cokelat yang terpadu indah dengan kulit putih bersihnya, penampilannya menarik meski sebagai mahasiswa semester awal yang selalu dinantikan banyak teman seangkatannya. Tidak hanya bermodalkan penampilan menarik, wanita dengan kalung liontin sabit itu juga memiliki keaktifan, ketangkasan, dan kepintaran
Trauma, tentu suatu hal yang tidak ingin dialami dan dirasakan siapapun. Namun, perasaan yang dilewati dengan berbagai beban pikiran dan kejadian yang diluar kendali, kerap kali menjadi siksaan dalam diri seseorang."Kuat?" tanya seorang pria berambut cepak pada wanita yang sedari tadi menunduk.Kaki yang tertekuk dan pundak yang terlihat lemah, seolah tidak bisa lagi menanggung beratnya beban hidup. Bermandikan peluh dan air mata yang sulit dikendalikan, wanita bernama lengkap Arshavina Citrani itu mengangguk untuk menanggapi pertanyaan ketua kelompoknya, "harus," jawabnya lirih.Perlahan kepala itu terangkat dan menyibakkan rambut lurus panjang yang sedari tadi menutupi wajahnya, mengusap keseluruhan wajah dengan baju yang disingkapkan guna menghapus jejak peluh dan air mata, "enggak ada alasan untuk kabur dari tanggung jawab," ucap Vina mengulum senyum simpul."Yakin?" tanya Afrian sambil mengulurkan tangan membantu Vina untuk berdiri, uluran tangan yang disambut cepat bersama deng
Kehebohan wanita berkulit tan itu benar-benar mengusik suasana hati Vina yang berada di ambang batas, keceriaannya jelas terasa meski berbanding terbalik dengan perasaan Vina kini. Seperti ungkapan yang baru diutarakannya tadi, tapi ... untuk apa program kerja disukai para wanita desa bila kepala desa tidak memberi izin?Tidak penting disukai oleh mayoritas orang bila sang penguasa tidak menyukai, tidak penting pula berada di pihak besar bila tidak memiliki pengaruh seperti pihak tinggi. Begitulah kondisi yang sekarang dialami sekaligus yang dipikirkan Vina, sampai kemudian langkah berderap mendekati kamar pojok.Afrian, Erwin, dan Angga bergantian masuk ke kamar dan duduk bersandar di salah satu sisi ruangan. Melihat enam insan itu duduk, perlahan dan dibantu Liona pun Erina beranjak duduk dan juga bersandar dengan kaki diluruskan."Kenapa kalian ini?" tanya Erina menyadari keheningan di antara anggota kelompok mahasiswa itu.Tidak ada jawaban, enam mahasiswa amat disibukkan oleh piki
Semua mata tertuju pada pria berambut cokelat bersetelan kaus oblong dan celana pendek, pria yang berseru dan berhasil mengalihkan fokus tujuan tiga temannya. Empat hari dari lima puluh hari yang diberikan pihak kampus untuk mengabdi pada masyarakat, tentu bukanlah waktu yang sebentar jika mengingat progres mereka yang bahkan belum dimulai."Kita palsukan laporan mingguan dari kegiatan kita selama ini, sudah hampir seminggu, kan?" ucap Angga membuat Afrian langsung berdecak."Enggak semudah itu, kocak," timpal Afrian seraya membaringkan dirinya, "kita bakal presentasikan itu dan juga ada dokumentasinya. Kita baru kasih usul saja sudah dipatahkan sama kepala desanya, gimana mau ada program?" lanjut ketua kelompok itu dengan kekesalan yang tak bisa ia sembunyikan.Melihat kepasrahan yang tercermin dari seorang Afrian, membuat tiga anggota lain turut membaringkan dirinya dan sesekali menghembuskan napas bebas, "sudah empat hari di sini, empat hari juga gue enggak olahraga Yoga, empat har
Perintah yang menggaung dari depan rumah terdengar jelas di telinga wanita dalam kelompok itu, perintah yang dengan mudahnya diserukan meski tidak menyinggung, "dari pada bendungan, gue lebih setuju tetap adakan sosialisasi dan kegiatan belajar untuk para wanita di sini." Vina berceletuk sambil mengambil perlengkapan yang diminta Afrian."Kenapa?" tanya Liona mengambil alih alat tulis dari tangan Vina."Bikin bendungan itu enggak bisa dalam waktu satu bulan dan itu juga bakal makan biaya besar," jawab Vina sambil menyodorkan buku ke Desry yang sudah memegang kamera dan ponsel untuk merekam segala hal."Iya tapi itu bakal bermanfaat banget buat warga sini," ucap Liona sebagai orang yang telah mengusulkan pembuatan bendungan itu."Tapi saat kita selesai di sini, mereka yang enggak paham apapun, bendungan buat listrik itu bakal rusak dan terbengkalai. Syukur banget enggak makan korban jiwa," sahut Vina seraya beranjak keluar kamar, "sudahlah kita lanjut bahas di depan saja sama yang cowo
"Dibunuh apaan? Memangnya aku ada bilang dibunuh? Seram banget sih, Vina," tukas Erina menunjuk Vina yang mengernyit.Tunjukkan yang seolah menyudutkan Vina, tersirat mengatakan bahwa wanita itu salah dengar tentang yang diucapkan, "kak Erina yang bilang tadi, ayah kak Erina dibunuh. Ya aku tanya dong, dibunuh siapa? Pembunuhnya sudah tertangkap belum?" tutur Vina kemudian bertanya lagi, bahkan kali ini menegaskan pertanyaannya."Enggak, aku enggak bilang gitu loh, Vin," ucap Erina yang bahkan wanita itu menoleh pada lima mahasiswa lainnya yang sedari tadi termenung, "memangnya aku bilang ada yang dibunuh?"Afrian berdeham dan memberi kode pada Vina untuk diam dan kembali duduk, namun wanita berambut lurus dengan poni samping justru mengabaikan kode itu. Sampai Afrian pun menjawab, "Enggak kok, kak Erina enggak ada bilang begitu. Kamu salah dengar, Vin."Mendengar hal itu, sontak Vina membuka matanya lebar dan mencari pembelaan dari teman lainnya. Baik Desry, Liona, Angga, maupun Erwin
Galian di tengah desa dekat pintu masuk utama menuju desa sudah terlihat, "satu meter cukup kali ya, Af?" tanya seorang pria berambut kribo."Hm, satu setengah meter sih kalau bisa. Kan nanti masih mau kita tambah bata setiap sisinya biar air laut tidak tercemar langsung," jawab pria dengan celana panjang dan kaus polos, pria yang sedari tadi berdiri dekat galian sambil sesekali mencatat hal yang diperlukan, "tapi nanti kalau ada tanda air laut genangan, kita timbun lagi terus langsung tambah tanah biar tiap sisinya bisa dikasih bata," lanjutnya yang diacungi ibu jari oleh pria kribo itu.Galian untuk pembuatan saluran pembuangan akhir sudah dimulai sejak dua hari lalu, galian yang akan menjadi pusat dari setiap rumah dan bangunan yang ada di desa. Akan ada banyak penggalian yang dilakukan dengan berbagai perhitungan, keahlian dasar mahasiswa yang tidak pada tempatnya itu sangat diandalkan agar rumah kayu yang telah didirikan juga tidak terganggu."Afrian," panggil salah seorang pria
Bincang dan tawa ringan saling bersahutan, kunjungan dosen setelah satu pekan melaksanakan kuliah kerja nyata adalah wujud bimbingan sebenarnya. Waktu antara pemangku adat, pengasuh mahasiswa selama di desa, dan kepala desa bersama dosen cukup memakan beberapa momen selama pengerjaan program."Baiklah kalau begitu. Saya boleh izin ke tempat mahasiswa saya tinggal selama di sini? Sekalian buat dengar cerita mereka selama di desa Metanoia," ujar pria berperawakan cukup gemuk itu, ujaran yang tertuju pada Danang, Erina, dan Ujang namun terdengar oleh Afrian.Memang, sedari awal kedatangan dosen bersama Erwin yang baru pulang membeli perlengkapan program, Afrian sudah mendampingi dan mendengar semua obrolan mereka. Dan seperti biasa pula, Erina lebih banyak diam dan mengukir senyum."Oh iya iya, silakan Pak. Keliling desa kami juga bisa, seperti yang tadi saya bilang ada banyak kontribusi mahasiswa selama di sini," tutur Danang mengizinkan dosen untuk berkeliling desa dan bertamu ke rumah