Share

Dianggap Apa Aku Selama Ini?

Part 5 (Dianggap Apa Aku Selama Ini?)

Kudengar suara gedoran pintu, kemudian di susul dengan suara teriak dari luar.

"Mauren, keluar! Kita bicara baik-baik!"

Begitu lah kalimat yang keluar dari mulutnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Iden. Apa kurang jelas perkataanku saat singgah di rumah istri keduanya.

Tok ...

Tok ...

"Mauren, Mas mohon keluar. Masalah ini bisa diselesaikan baik-baik. Jangan kekanak-kanakan."

Aku memicingkan mata, apa katanya? Kekanak-kanakan. Coba dia yang diselingkuhi. Pasti kata-kata itu akan ditarik dari mulutnya.

Sedikit pun aku tidak menanggapi. Memilih menyantap semangkuk mie instan yang baru selesai kubumbui.

"Mauren, Mas tahu kamu ada di dalam. Ayolah keluar, apa susahnya sih bicara sebentar!"

Kesekian kalinya Mas Iden berteriak. Apa tenggorakannya itu tidak kering, aku yang mendengarnya saja sudah jengah.

"Mauren!"

Kutarik napas dalam-dalam, kepalan tanganku makin kuat.

Sialan!

Bukannya dia sudah menjatuhkan pilihan. Dan memilih kembali pada masa lalunya. Lantas kenapa ia harus kembali lagi ke sini, itu barang-barangnya sudah kuletakkan di depan gerbang. Kurang baik apa coba diriku ini. Memang dasarnya dia yang tak mau belajar menerima.

"Mauren!"

Aku beranjak dari kursi, interaksinya dengan wanita bernama Sheri itu masih membekas dikepala ini. Berbulan-bulan aku dibodohi, dipermainkan. Hidup dalam kepalsuan. Dan disaat semuanya terbongkar, dia mencoba menggores luka lagi.

"Mas tidak akan pergi sampai kamu keluar!"

Demi Tuhan.

Mas Iden benar-benar keterlaluan. Pria egois yang hanya memikirkan kebahagiannya sendiri! Bisa-bisanya Ibu dan Kak Meli tak pernah menceritakan hal sebesar ini padaku. Mereka ikut menutupi kebohongan Mas Iden. Tak akan kubiarkan mereka tenang, selama luka dihatiku masih menganga lebar. Mereka harus turut merasakan sakitnya!

Mataku menyala, aku kembali dengan membawa segelas air putih. Aku meletakkannya di meja makan, dan fokus pada mie yang beberapa detik lalu kuabaikan.

"Ya Tuhan Mauren, sebentar lagi hujan turun. Buka pintunya,"

"Mauren ayo lah."

Aku menikmati makan siangku di tengah huru-hara. Pikiran berkeliaran kemana-mana. Ada untungnya juga janji pra nikah itu. Aku yang ceroboh, dan teledor tertolong dengan janji yang kami buat dan sepakati.

"Keluar atau Mas dobrak pintunya!"

Batas kesabaran ini mulai menipis. Dengan kesal aku mendorong kursi mundur, lalu bangkit.

"Mauren!" Suara itu naik beberapa oktaf. Setelah ketuk palu nanti, rumah ini akan kujual.

Kupercepat langkah menuju pintu, tanpa basa-basi kuputar gagang pintu. Dan kemudian mendorongnya sampai wajah Mas Iden terpampang jelas di depanku.

Napas ini memburu. Beberapa menit kami hanya saling menatap. Mengungkap amarah lewat tatapan mata.

"Mauren!"

Kesepuluh kalinya Mas Iden memanggil namaku. Tangan yang hendak menyentuhku itu dengan cepat kutepis.

"Jauhkan tangan kotormu dariku! Apa kamu tidak punya sopan santun, berteriak-teriak di rumah orang!" Aku memarahinya, ingin sekali kucakar wajahnya yang tak seberapa itu.

"Ini rumah kita?"

"Kita katamu? Semuanya sudah berakhir, pergi dari sini. Silakan kembali pada masa lalumu itu. Dasar penipu,"

"Aku bukan penipu, Muaren!" Ia berteriak lantang di depanku, urat-urat lehernya terlihat jelas.

"Lalu apa? Bajing*n, pria pengecut yang tidak punya keberanian untuk mengakui kesalahannya! Menikah karena gagal move on, ya Tuhan Mas. Hatimu itu terbuat dari apa?" sergahku.

Aku melipat kedua tangan, dada yang dihimpit batu besar itu sudah membeku. Aku telah kembali pada Mauren yang dulu, Mauren yang tak ingin perduli pada apa pun. Untuk sekarang, biarkan aku egois. Biarkan aku hanya memikirkan diriku sendiri.

"Aku khilaf!"

"Omong kosong, secuil pun aku tidak percaya lagi padamu."

"Mauren jangan egois, aku akan belajar mencintaimu?"

Tawaku menggema, sayatan luka di hati ini makin melebar.

"Belajar Mas? Setelah dua tahun kita menikah, kamu baru belajar mencintaiku?"

Aku mengerutkan kening, Mas Iden mematung di tempat.

"Dua tahun Mas, dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Ngapain aja kamu selama dua tahun? Memikirkan masa lalumu itu? Kembali padanya, aku sudah tidak membutuhkanmu lagi. Pergi dari sini!" Aku mendorong tubuh Mas Iden. Kenyataan apalagi ini. Dua tahun, dua tahun ia menjadikan pernikahan ini lelucon. Dimatanya aku ini dianggap apa? Pelarian?

"Mauren buk—"

"Cukup, jangan jelaskan apa pun lagi padaku. Jika kamu keberatan mengakhiri hubungan kita. Biar aku yang mengakhirinya! Tapi janji pra nikah itu tetap ada!"

Aku menyeka peluh di kening, sekali lagi kudorong tubuhnya menjauh.

"Aku sudah berusaha mencintaimu, tapi-"

"Kamu bukan berusaha mencintaiku Mas, tapi kamu tidak pernah ada niatan untuk mencintaiku. Aku tidak akan memaksamu bertahan. Silakan pergi dengan wanita impianmu! Dan anggap perhatianku kemarin itu sebagai sandiwara!" murkaku.

Muka Mas Iden memucat. Ia mengusap wajahnya.

"Kenapa kamu keras kepala, Mauren?!"

"Kamu tanya kenapa? Karena kamu tidak pernah mengerti aku, Mas. Bagaimana kamu bisa mengenalku? Jika hanya wanita itu yang ada di otakmu dan hatimu!"

Mas Iden membuang napas kasar, aku memintanya mundur kala kakinya melangkah mendekat.

"Pergi, dan jauhi aku!"

"Kamu keterlaluan Mauren, ini masalah kecil?"

"Aku bilang pergi! Jangan pernah injakan kakimu lagi di rumah ini!"

"Mauren kendalikan emosimu,"

"Sudah cukup, apa kamu tidak punya telinga. Sudah kukatakan pergi! Bawa juga barang-barangmu." Aku menarik tangan Mas Iden, mengeluarkan seluruh tenagaku menyeretnya.

"Jangan lakukan ini Mauren!"

Aku melempar koper Mas Iden begitu saja. Entah kekuatan dari mana yang tiba-tiba merasukiku.

"Kamu keberatan dengan perceraian kita karena takut janji pra nikah itu kan. Sayang, keputusanku sudah bulat!"

Aku menutup gerbang setelah berhasil mengusir Mas Iden.

"Kita—"

"Kita cukup sampai di sini!"

Aku berbalik badan, mengatur napas yang masih memburu.

Kuayun kakiku ini, tidak sekali pun menoleh kebelakang.

Sesampainya di depan pintu, aku melenggang masuk. Kututup pintu kencang.

Aku berjalan cepat menuju kamarku, berkas-berkas penting kumasukan ke dalam tas. Siang ini juga aku akan datang ke pengadilan agama. Kuurus dengan cepat perpisahan kita, Mas. Kamu tidak perlu khawatir, kita tidak akan ada ikatan lagi. Setelah itu giliran kalian yang hancur. Aku akan mencari tahu tentang Sheri dan anakmu itu. Akan kucari celah untuk menghancurkan kalian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status