Part 37 (Di atas Kebahagiaan Masih Ada Derita) Mauren menelepon Venya, ia menceritakan masalahnya mulai dari A sampai Z. Termaksud kegelisahanya mendapati Andriansyah baru beberapa menit yang lalu melamarnya. "Jadi begitu Ma, aku bingung harus jawab apa?" Mauren menarik kursi, ia menunggu air mendidih. "Kamu nyaman tidak sama dia?" tanya Venya. Sesaat Mauren terdiam, perempuan itu menopang dagunya dengan tangan kanan. "Jujur sama Mama, kamu nyaman sama Andriansyah atau tidak?" Venya mengulang pertanyaan, Mauren mengangguk kecil. "Nyaman Ma." "Menurut kamu Andriansyah itu orangnya seperti apa?" Mauren merasa Venya seperti sedang mengintrogasinya sekarang. Memberi pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal. Apa coba maksud Mama bertanya seperti itu padaku? gerutu Mauren dalam hati. "Mauren," "Menurut pandanganku yah Ma, Andriansyah itu orangnya baik. Dia bertanggung jawab, terus pekerja keras. Dan aku lihat, dia setia kok orangnya," ungkap Mauren. Venya menahan senyum, ia men
Part 38 (Restu Dan Kabar Kematian) "Andriansyah, apa benar kamu melamar putriku?" tanya Bram, pria itu melipat kedua tangannya sambil bersandar pada kursi. Ia memanggil Andriansyah ke ruangannya karena desakan dari sang istri. Pasalnya, sepulang dari apartemen Andriansyah, Mauren terus tersenyum. Putrinya itu terlihat sedang berbunga-bunga dan dimabuk asmara. Membuat hati Bram menghangat melihat Mauren perlahan bangkit dari keterpurukan. Meski putrinya harus tertatih dalam membuka hati dan berdamai dengan luka lamanya. Its okey, semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. "Benar, Pak." Bram memicingkan mata, ia menatap Andriansyah dengan tatapan tajam. Pria itu sudah siap mengajukan banyak pertanyaan pada calon menantunya. Mauren bilang ia nyaman, sementara Andriansyah sendiri sudah beberapa kali meminta putrinya untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, Bram tetaplah Bram. Dia berkaca dari apa yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu. "Kamu yakin dengan keputusanmu? Mengi
Ending (Akhir Yang Bahagia) Waktu terus berlalu, hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan, dan seterusnya. Setelah menunggu hampir lebih dari tiga bulan. Perempuan itu akhirnya memantapkan diri menjatuhkan pilihan pada Andriansyah. Dan hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan di salah satu hotel bintang lima. Mauren tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Ia senang sekaligus gugup. Hatinya berbunga-bunga, momen sakral yang dulu pernah ia rasakan kini terulang kembali, dan tentunya bersama dengan pria yang takut kehilangan dirinya. Selama menunggu masa Iddah selesai, Mauren dan Andriansyah semakin dekat. Mereka kian lengket. Siapa sangka, yang awalnya hanya menganggap layaknya adik-kakak. Kini mereka telah melangkah ke jenjang pernikahan. Status mereka berubah. Andriansyah berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga dan menyayangi Mauren dengan segenap hati dan jiwanya. Bismillahirrahmanirrahim. "Saya nikahkan dan saya kawinnya engkau Andriansyah Nugroho dengan anak saya, M
Part 1 (Komentar Ipar Memicu Kecurigaan)****Aku yang saat itu sedang membuka aplikasi berwarna biru membulatkan mata. Sebuah komentar yang menandai suamiku membuat alisku bertaut. [Selamat yah Sheri, anakmu dan @Iden, lucu. Langgeng terus.] Begitu lah isi komentar tersebut. Tanpa bisa kutahan, aku menerka-nerka. Kenapa Meli, kakak iparku menandai Mas Iden dalam komentarnya. Lalu anak siapa yang ia maksud? Aku belum hamil? Dan Sheri, siapa perempuan itu? Lantas ada hubungan apa postingan yang memperlihatkan bayi lucu dan menggemaskan ini dengan suamiku? Astaga, nyaris kepalaku ingin pecah memikirkannya. Segera kuscreenshot komentar Meli berserta postingan tersebut. Setelahnya, melihat akun yang bernama Sheri Puspitasari, sosok yang memposting foto bayi itu. Tidak ada hal yang mencurigakan. Akun FB Mas Iden pun tidak berteman dengannya. Lalu, kenapa Meli menandainya. Seakan ia sedang memberi ucapan bahagia pada Mas Iden. Ada apa ini? Apa telah terjadi—ahh, aku mikir apaan si
Part 2 (Mencari Bukti!)Aku mengikuti mobil Mas Iden menggunakan taksi, meminta pak sopir menjaga jarak agar kami tidak ketahuan. Dua puluh limat menit perjalanan, mobil yang Mas Iden kemudikan berhenti di depan rumah. Ini bukan rumah Ibu? Apa jangan-jangan ini rumah wanita bernama Sheri itu?"Pak tolong jaga jarak, jangan sampai ketahuan," ucapku sambil menepuk punggung pak sopir. Tatapan mataku tak bisa lepas dari mobil milik Mas Iden. Pria berstatus suamiku itu turun dari mobil. Tiba-tiba saja seorang wanita membuka pintu rumah, ia langsung berlari memeluk suamiku. Dada ini bergemuruh hebat, ingin sekali aku turun dan melabrak mereka. Namun, bagaimana jika Mas Iden tidak mau mengaku, dan justru terus membohongiku dengan sandiwara yang ia buat. Apalagi aku tidak punya bukti yang memperlihatkan adanya hubungan di antara mereka. Aku mengeluarkan ponselku, mengambil potret kemesraan itu. Beberapa menit mereka saling bercengkrama, entah apa yang mereka berdua obrolkan. Yang jel
Part 3 (Pilih Aku atau Dia?)Aku mengetuk pintu rumah Sheri. Menunggu sang pemilik rumah ini membuka pintu. Tidak lama kemudian, pintu rumah akhirnya dibuka. Aku tersenyum, memperlihatkan deretan gigiku melihat Kak Meli mematung. "Aku melihat mobil Mas Iden di depan rumah ini, dan mobil Kakak juga. Makanya aku datang ke sini, apa yang kalian lakukan di sini?" Aku menodong Kak Meli dengan pertanyaan. Wanita itu nampak gugup, ia menoleh kebelakang. Dan akhirnya menutup pintu. "Kakak lagi kunjungi teman Kakak, anaknya sakit," ucapnya. Aku menelan ludah, membasahi tenggorokan yang kering dan panas. "Kalau Mas Iden? Ngapain dia di sini?" Aku kembali bertanya, Kak Meli membulatkan matanya. "Kalau Iden—dia.""Dia apa kak?" Aku menyilang kedua tangan di dada, menunggu kelanjutan ucapan Kak Meli yang terbata-bata. "Iden Kakak suruh ke sini buat nemenin Kakak." Aku mengangguk kepala mendengar jawabannya. Kurang pas dengan kenyataan aslinya. Kalau benar, kenapa Mas Iden yang lebih dulu
Part 4 (Keputusannya!)"Cepat katakan, kamu pilih dia atau aku!" Aku menunjuk kearah wanita itu. Paling tidak suka jika Mas Iden mulai mengulur waktu. Tinggal bilang, bersamanya atau bersamaku. Melihat Mas Iden diam ubun-ubunku makin panas. "Jawab aku, Mas!""Pilih saja Sheri, Den, kalian sudah punya anak." Ibu menyahut, menatapku tak suka. "Iya Mas, kita kan saling mencintai. Buat apa kamu pertahankan dia, hidup dalam kepalsuan itu melelahkan," tutur Sheri. Aku menarik tangannya, lantas menampar pipinya lagi. "Plak!"Mas Iden terkejut, ia menyembunyikan Sheri di belakang punggungnya. "Berani kamu tampar Sheri, Mauren! Kamu tampar sampai dua kali!" Ibu menatapku garang, sedangkan Mas Iden, matanya mendelik tajam. "Baru dua kali, ribuan kali tanganku tak akan puas menamparnya." "Cukup, Mauren. Kendalikan dirimu, Sheri tidak salah. Aku lah yang salah, aku yang datang padanya!""Apa katamu, Mas? Kalian berdua sama-sama salah. Dasar bajing*n."Aku mendorong Mas Iden, pukulan keras
Part 5 (Dianggap Apa Aku Selama Ini?)Kudengar suara gedoran pintu, kemudian di susul dengan suara teriak dari luar. "Mauren, keluar! Kita bicara baik-baik!"Begitu lah kalimat yang keluar dari mulutnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Iden. Apa kurang jelas perkataanku saat singgah di rumah istri keduanya. Tok ...Tok ..."Mauren, Mas mohon keluar. Masalah ini bisa diselesaikan baik-baik. Jangan kekanak-kanakan." Aku memicingkan mata, apa katanya? Kekanak-kanakan. Coba dia yang diselingkuhi. Pasti kata-kata itu akan ditarik dari mulutnya. Sedikit pun aku tidak menanggapi. Memilih menyantap semangkuk mie instan yang baru selesai kubumbui. "Mauren, Mas tahu kamu ada di dalam. Ayolah keluar, apa susahnya sih bicara sebentar!"Kesekian kalinya Mas Iden berteriak. Apa tenggorakannya itu tidak kering, aku yang mendengarnya saja sudah jengah. "Mauren!"Kutarik napas dalam-dalam, kepalan tanganku makin kuat. Sialan!Bukannya dia sudah menjatuhkan pilihan. Dan memilih kembali pada