Share

Bab 6 Gara-gara makanan

Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.

“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.

“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.

“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan handuk yang melilit di pinggang, disertai tetesan air yang menetes di dada bidangnya yang tidak terbungkus apapun.

Alena terpaku dengan pandangan yang fokus ke arah Ankara, bahkan saat lelaki itu beranjak masuk setelah membuka pintu untuknya.

“Lo mau sampai kapan berdiri di depan pintu?”

Pertanyaan yang dilontarkan Ankara membuat Alena tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng pelan, menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak seharusnya hanya karena melihat Ankara tanpa atasan. Ia mengembuskan napas panjang, kemudian melangkah masuk menuju dapur, tanpa menatap Ankara lagi.

Sedangkan Ankara hanya mengindikkan bahunya, tak peduli dengan sikap Alena yang memang selalu aneh di matanya. Ia beranjak ke kamar, kemudian kembali lagi menemui Alena setelah mengenakan bajunya.

“S—silakan!”

Ankara menatap Alena dengan alis terangkat, kemudian terkekeh pelan saat menyadari kegugupan gadis itu. Ia bangkit dan melangkah ke arah Alena yang sontak mundur hingga sampai menempel di dinding. Ankara mendekatkan wajahnya dan semakin dekat.

“Kontrak!” pekik Alena dengan mata tertutup. Tak ada hal yang melintas dalam pikirannya, kecuali poin dari isi kontrak yang ia ajukan.

Ankara tertawa menyaksikan mimik wajah Alena yang sangat lucu. Ia memundurkan langkah hingga duduk kembali ke tempatnya semula dengan masih tertawa.

“Dasar gadis aneh dengan pikiran mesum, apa yang dipikirkan otak kotormu itu, hm?” tanya Ankara di sela-sela tawa nyaringnya.

Alena yang menyadari situasi, membuka mata, wajahnya memerah karena malu dengan pikirannya sendiri. Ia memukul kepala pelan, merutuki kebodohannya.

“Duduk! Temani saya makan!” pinta Ankara setelah berhasil meredakan tawanya. Bagai dihipnotis, Alena menarik kursi dan duduk di hadapan lelaki itu. Sedangkan Ankara mulai meraih sendok dan menatap satu persatu makanan yang tersaji di hadapannya.

Seakan memiliki dua kepribadian, Ankara yang tadi tertawa, kini memasang wajah dinginnya ke arah Alena. Hal tersebut membuat Alena menatapnya cemas, menunggu Ankara mengatakan hal yang membuatnya kesal.

Dalam hitungan detik, piring yang berisi sayuran dilempar ke lantai oleh Ankara. Ia juga melakukan hal yang sama pada udang dan cumi. Sedangkan Alena membelalak kaget, dengan jari yang langsung menutup mulutnya.

“Kamu dendam? Mau bunuh saya? Saya itu alergi seafood dan saya nggak suka makan sayur!”

Alena memejamkan matanya, tak berani menatap Ankara. Ia pikir, lelaki itu hanya alergi dengan coklat, tetapi ternyata dia juga alergi dengan makanan laut.

“Maaf,” cicit Alena.

“Sebenarnya, fungsi otak dalam kepala kamu itu apa?” tanya Ankara sarkastik, kemudian beranjak meninggalkan Alena.

Alena menatap makanan yang sudah ia buat susah payah dengan pandangan nanar, kemudian beralih untuk membersihkannya. Hingga pecahan dari piring menggores tangan Alena yang membuat gadis itu menangis. Ia menelungkupkan wajahnya di antara tangan yang ia lipat di atas lutut.

Ck, dasar gadis aneh!” gumam Ankara yang ternyata menatap Alena dari jauh. Ia menggeleng pelan, kemudian masuk ke kamarnya dan mengabaikan Alena yang masih terus menangis.

Sedangkan Alena, sejujurnya menangis bukan karena goresan kecil di jarinya, melainkan merasa kasihan pada makanan yang sudah ia buat dengan sekuat tenaga itu. Dengan masih menangis, Alena membersihkan kekacauan yang disebabkan oleh Ankara, kemudian kembali ke apartemennya.

Saat sampai di kamarnya, Alena kembali meneruskan tangisnya. Ia tidak bisa menghentikan air mata yang sedari tadi mengalir.

“Dasar macan nggak punya hati nurani! Emang makanan itu salah apa? Padahal bisa ngomong baik-baik, nggak usah dibanting gitu juga,” gerutu Alena. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur, memejamkan mata dan tanpa sadar ia tertidur.

Alena membuka mata saat merasakan perih di perutnya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.00 WIB, sudah lewat tengah malam dan ia lupa untuk mengisi perutnya.

Dengan langkah gontai, Alena menuju dapur, mencari makanan yang bisa menghentikan konser caci-cacing di perutnya. Namun, ia tidak menemukan makanan apapun.

“Bego banget, Alena! Semua makanan lo kasih ke macan.”

Alena merutuki kebodohannya, tak habis pikir dengan sikap ceroboh yang tak hilang darinya. Efek terlalu semangat memasak dan niat ingin menebus kesalahan tadi pagi, membuat Alena lupa menyisihkan makanan untuk dirinya sendiri.

“Ya udahlah, terpaksa makan mie lagi. Nggak apa-apa, Alena, mie juga makanan,” gumam Alena sembari mengusap air mata dan menggantinya dengan senyuman.

***

Sejak tadi Ankara terus gelisah di tempat tidur, mencoba memejamkan matanya, tetapi tak bisa. Suara tangis Alena terus terngiang di kepalanya, membuat Ankara terserang insomnia. Ia melirik jam di ponselnya, sudah dini hari dan ia harus bertahan dengan keadaan gelisah ini.

“Mana perut gue bunyi dari tadi,” gumam Ankara sembari mengusap perutnya. Tak kuasa terus menahan lapar, akhirnya Ankara memutuskan untuk mencari makanan di dapur. Sesampainya di sana, ia hanya melihat nasi serta rendang yang dibawa Alena tadi.

“Ya, udah dingin,” ucap Ankara saat mencoba sedikit rendang yang ada di sana, berpikir sejenak hingga sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia memasukkan kembali rendang dan nasi itu ke dalam rantang dan membawanya ke luar.

Ankara memencet bel apartemen Alena dengan perasaan tak sabaran, sesekali melirik sekitar yang sangat sepi. Ankara mencobanya sekali lagi dan berhasil, kini di depannya sudah ada Alena yang membawa ... panci?

“Ngapain?” tanya Alena yang tak dihiraukan oleh Ankara, lelaki itu menerobos masuk, langsung menuju ke dapur.

“Astaga! Ankara, nggak sopan banget,” kesal Alena sembari menyusul Ankara yang sudah duduk manis di meja makan. Ia menatap Alena dan menatapnya dengan tatapan menyuruh gadis itu untuk segera duduk di depannya.

“Gue lapar, tapi nggak suka makanan dingin.”

Alena memutar bola matanya malas, ingin sekali ia mengatakan pada lelaki itu untuk mati saja karena terlalu pemilih makanan, tetapi tak mungkin, mengingat ia masih terikat kontrak.

“Tinggal lo panasin apa susahnya, sih?” tanya Alena ketus yang membuat Ankara menggeleng tegas.

“Uang 1M gue akan sia-sia kalau tetap melakukan semuanya sendiri,” balas Ankara sembari menyodorkan rantang yang ia bawa. Sedangkan Alena hanya bisa mendengkus sembari menggerutu di dalam hati, meskipun tetap menjalankan keinginan Ankara. Entah ke mana dialog baku mereka, karena tanpa sadar mereka berucap dengan panggilan lo-gue, seperti dua orang teman akrab.

Sembari menunggu Alena memanaskan makanan untuknya, Ankara terfokus pada mie dengan asap mengepul di dalam mangkok. Mie yang tampak menggugah selera itu membuat Ankara menelan salivanya susah payah, hingga tanpa meminta izin pada pemiliknya, ia meraih mie tersebut dan memakannya.

“In— mie gue!” pekik Alena setelah selesai memanaskan makanan dan menemui Ankara yang sedang memakan mie-nya.

“Lo....”

Alena menghentikan ucapannya, menarik napas dalam untuk meredakan emosinya. Dengan sedikit kasar ia menarik mangkok mie yang tengah dinikmati Ankara, membuat lelaki itu nyaris tersendat.

“Gue lagi makan, Alena!”

“Ini mie gue!”

“Terus apa masalahnya? Balikin!” tegas Ankara sembari menarik kembali mie-nya, tetapi Alena tak tinggal diam dan ikut menariknya. Aksi tarik menarik pun tak terelakkan, hingga membuat mie tersebut tumpah.

“Tuh, ‘kan jadi tumpah! Nggak mau tahu, sekarang keluar!” pekik Alena dengan tatapan tajamnya. Hal tersebut membuat Ankara menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kemudian meraih rendang yang sudah dipanasi Alena.

“Nggak usah kayak orang susah! Besok gue beliin sekardus,” ucap Ankara sembari melangkah menuju apartemennya, menyisakan Alena dengan emosi yang tampak jelas di wajah gadis itu.

“Dasar macan kota nggak tahu diri!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status