Share

Bab 4 Kacau

Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.

“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.

“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”

“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.

Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berbelok menuju bagian administrasi.

“Alena, kamu tumben datang siang?” tanya Dokter Karin yang kebetulan baru saja selesai memeriksa kondisi Alex.

“Iya, Dok. Aku datang untuk melunasi biaya pengobatan Alex, jadi Dokter udah bisa mengatur jadwal operasinya.”

“Sudah kamu lunasi? Apa Bos kamu memberikan pinjaman?” tanya Dokter Karin dengan hati-hati. Ia sudah menganggap Alena seperti adiknya sendiri, sehingga ia perlu menanyakan hal ini dan memastikan Alena tidak melakukan hal aneh untuk mendapatkan uang tersebut.

“Iya, Dok. Aku diterima kerja di Foniks group dan bosnya memberikan aku pinjam itu, dengan pembayaran dipotong dari gajiku,” jawab Alena dengan senyum yang dipaksakan. Ia tidak ingin berbohong pada Dokter Karin, tetapi ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya dan membuat dokter yang sudah ia anggap seperti kakakkakaknya sendiri cemas.

“Baguslah kalau begitu, kamu mau balik kerja atau langsung pulang? Kebetulan aku pulang cepat hari ini, jadi aku bisa mengantar kamu pulang.”

“Makasih, Dok, tapi aku masih harus balik kerja,” balas Alena, sedangkan Dokter Karin memilih pamit.

“Alex, kakak harap operasinya berjalan lancar.”

Alena meraih tangan adiknya yang sangat kurus. Tanpa bisa dicegah air mata kembali mengalir di pipinya, ia takut jika suatu saat nanti harus tinggal sendiri di dunia. Selama ini, satu-satunya alasan Alena bertahan adalah Alex, jadi jika Alex pergi maka ia tidak punya alasan untuk hidup lagi.

“Kita pergi sekarang! Masih banyak hal yang harus diselesaikan.”

Alena terkesiap saat suara Ankara memecah keheningan ruangan. Lelaki itu berdiri di samping pintu sembari bersandar pada tembok, dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Terlihat arogan dan memesona dalam satu waktu. Alena menggeleng pelan, kemudian beranjak setelah meninggalkan kecupan rindu di kening Alex.

Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah Alena memakan waktu yang lumayan cepat, sehingga kini mereka tengah melangkah beriringan memasuki pekarangan rumah yang tampak sepi. Namun, tidak seperti biasanya, di depan pintu Alena terdapat tiga orang pria dengan wajah sangar, menatap setiap langkah mereka yang semakin mendekat.

“Mana uangnya?” ucap salah seorang dari pria sangar itu. Sedangkan Alena kini beralih menatap Ankara.

“Cukup, ‘kan?” tanya Ankara sembari memberikan cek yang berisi seluruh jumlah hutang Alena, termasuk pembayaran untuk penyitaan rumah.

“Gini, dong! Jadi, kita sama-sama enak dan urusan kita selesai!”

“Sertifikatnya!” pinta Ankara sembari menghalangi jalan ketiga orang itu yang hendak berlalu begitu saja. Tanpa rasa takut, Ankara kembali menyodorkan tangannya, meminta sertifikat rumah Alena.

Setelah ketiga lelaki itu memberikan sertifikatnya, kini Ankara beralih menatap Alena. Ia menyodorkan sertifikat tersebut, tetapi kembali menariknya saat Alena hendak mengambilnya.

“Sertifikat ini saya pegang, jangan sampai kamu berbuat curang dengan menjual rumah ini dan membayar utang. Itu sama saja menyalahi aturan!” ungkap Ankara dengan tegas, sedangkan Alena hanya bisa mengangguk lesu. Ingin membantah pun rasanya percuma, karena ia bahkan tidak punya kuasa untuk melawan.

“Untuk tambahan poin dari kontrak 1M itu akan saya perbaiki, dan besok kamu harus menandatanganinya lagi,” ucap Ankara sebelum beranjak dari hadapan Alena. Baru saja beberapa langkah, ia kembali memutar tubuhnya.

“Satu hal lagi, kontrak itu mulai berlaku besok pagi. Saya nggak suka orang yang tidak menghargai waktu!” tegas Ankara, kemudian benar-benar berlalu dari hadapan Alena.

Sedangkan Alena hanya bisa menatap punggung tegap dari pria jangkung yang kini mengambil alih hidupnya. Ia sadar, sejak menyetujui kontrak 1M itu, maka hidupnya bukan miliknya lagi.

***

Pagi-pagi buta Alena sudah siap dengan pakaian casual, memesan ojek online untuk membawanya ke tempat Ankara. Namun, baru saja hendak melakukan pemesanan, ia lupa untuk menanyakan alamat lelaki itu.

“Alena, lo ceroboh banget, sih!” rutuknya. Ia kini duduk di ruang tamu, memikirkan jalan keluar dari masalah yang timbul karena kecerobohannya. Lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk ke cafe tempat ia bekerja sebelumnya.

Alena melangkah dengan pelan ke arah cafe, tanpa diduga dari arah berlawanan, Bram datang dengan pakaian khas kantor. Alena yang teringat akan suatu hal yang harus diselesaikan sontak mempercepat langkahnya ke arah Bram.

“Pagi, Alena. Tumben pagi banget datangnya?” sapa Bram sembari membuka pintu cafe dan mempersilakan Alena untuk masuk lebih dahulu.

“Pagi Mas, ada hal penting yang mau aku omongin,” ucap Alena yang dibalas anggukan Bram. Lelaki itu mengajak Alena masuk ke dalam ruangannya.

“Mas, aku mau resign, tetapi maaf nggak sempat buat surat pengunduran diri,” ucap Alena pelan yang membuat Bram kaget. Pasalnya, Alena ini adalah karyawan yang paling rajin dan tak pernah membuat masalah, jadi ia cukup kaget dengan ucapannya.

“Kenapa? Apa ada yang mengganggu kamu? Kamu sakit? Atau—“

“Nggak, Mas. Aku ... aku kerja di tempat lain.”

“Tempat lain? Di mana? Kerja apa?” tanya Bram bertubi-tubi. Ia meraih tangan Alena, kemudian menggenggamnya.

“Alena, kamu bercanda, ‘kan?” lanjutnya yang dibalas gelengan Alena. Gadis itu menarik tangannya, kemudian tersenyum ke arah Bram.

“Nanti Mas Bram juga akan tahu. Pokoknya terima kasih karena selama ini udah baik banget sama aku. Hm ... aku pamit, Mas.”

“Tunggu! Oke, kalau kamu memang harus berhenti, tapi kita sarapan bareng dulu, ya!” pinta Bram yang membuat Alena berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mengiakan ajakan lelaki itu.

Sarapan Alena dan Bram yang terbilang cukup lama tadi membuat Alena kini harus berlari dengan perasaan takut menuju ruangan Ankara. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, seharusnya ini belum menunjukkan waktu jam kantor, semoga saja Ankara belum berada di kursi kebesarannya.

“Bu Alena, Pak Ankara sudah menunggu di dalam,” ucap seorang pria ber-name tag Rendi. Hal tersebut membuat Alena semakin dilanda rasa gugup, ia terus menggigit bibir bawahnya cemas.

“Lima pelanggaran di hari pertama! Kamu mencoba main-main dengan saya?”

Alena terkesiap setelah menutup pintu ruangan Ankara, pasalnya ia langsung disuguhi dengan ucapan sarkastik dari sang empunya. Dengan perasaan campur aduk, Alena hanya bisa terus menunduk dan bergumam maaf.

“Melewatkan sarapan, setelan, kebersihan apartemen, dan membuat saya menyetir sendiri. Terakhir, kamu datang ke kantor dengan pakaian santai. Kamu benar-benar mempermainkan saya? Jawab!” seru Ankara sembari berjalan ke hadapan Alena, mengangkat dagu gadis itu dengan sedikit kasar, membuatnya meringis.

“Kamu budeg? Kamu itu sedang menguji kesabaran saya atau memang bodoh?”

Alena memejamkan matanya, ia tidak sanggup menatap retina Ankara yang seakan ingin membunuhnya. Tatapan dan nada tegas lelaki itu terdengar seperti jurang kematian bagi Alena.

“Apa selama hidupnya, orang tua kamu tidak pernah mengajarkan untuk menggunakan otakmu?” ucap Ankara lagi dengan penuh penekanan. Berbeda dengan kalimat hinaan sebelumnya, kini Alena membuka matanya dan balik menatap Ankara dengan tatapan yang sama. Ia menghempaskan tangan lelaki itu, membuat sang empunya kaget.

“Pak Ankara ... pertama, Anda tidak memberitahukan alamat apartemen ke saya, bagaimana mungkin saya bisa datang ke sana? Saya bukan paranormal! Kedua, Anda juga tidak pernah mengatakan bahwa asisten pribadi itu, berarti saya harus berpenampilan seperti karyawan lainnya!” ucap Alena dengan tegas. Ia mengusap air matanya yang mengalir, kemudian menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya.

“Dan yang terakhir, Anda boleh menghina saya, tapi jangan pernah menghina orang tua saya!”

Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya yang penuh penekanan, Alena melangkah cepat meninggalkan ruangan, menyisakan Ankara yang terpaku, menatap lurus ke arah pintu yang baru saja dibanting dengan kasar oleh Alena.

“Jadi, maksudnya ini salah gue?” tanya Ankara pada dirinya. Ia terus mengulang pertanyaan tersebut sembari duduk kembali di kursinya, melihat Alena berucap dengan berapi-api seperti tadi, rupanya cukup mengganggu pikiran Ankara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status