Share

Bab 7 Dasar, macan kota!

Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.

“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.

Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.

“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.

“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh ruangan apartemen Ankara.

“Apa lagi, ya?” gumam Alena sembari meneliti tiap sudut ruangan. Setelah memastikan semuanya bersih, ia segera beranjak ke kamar Ankara. Sejujurnya ia gugup, tetapi jika tidak melakukan tugasnya, maka kemungkinan besar ia akan membangkitkan macan tidur lagi.

“Ayo, Alena, cuma siapin setelan kantor, terus lo bisa keluar.”

Alena meyakinkan dirinya, kemudian mulai membuka isi lemari Ankara yang lumayan rapi untuk ukuran seorang pria. Alena memutuskan untuk memilih kemeja kotak-kotak, dasi hitam, celana, jas, dan sepatu dengan warna senada.

“Lo ngapain?”

Alena tersentak kala suara maskulin Ankara terdengar dekat dengannya. Ia membalikkan badan dan melihat Ankara yang kini berdiri tepat di belakangnya. Alena sontak membalikkan tubuhnya lagi saat menyadari jika Ankara saat ini tidak mengenakan atasan dan hanya melilitkan handuk di pinggangnya.

“Setelan, g—gue siapin setelan. I—ini,” ucap Alena terbata sembari meletakkan pakaian tersebut di atas kasur. Tanpa menatap ke arah Ankara lagi, ia segera beranjak meninggalkan kamar, menuju ke dapur.

Alena menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya, melakukan itu berulang kali sembari memukul kepalanya. Bayangan Ankara dengan penampilan seperti itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Jujur saja, Ankara adalah lelaki pertama yang berdiri di depan Alena dengan penampilan yang ... Alena tak mampu untuk mengatakannya.

“Omelet? Nggak ada sayurnya, ‘kan?” tanya Ankara setelah duduk di depan Alena, lengkap dengan tampilan sempurnanya.

“N—nggak.”

Ankara mengernyitkan alisnya, merasa bingung dengan sikap Alena, tetapi mencoba untuk tidak memikirkannya. Ia mulai menyendokkan omelet tersebut ke dalam mulutnya, tetapi gerak gelisah Alena dan kegugupan gadis itu membuatnya tak nyaman.

“Lo kenapa?” tanya Ankara, dibalas dengan gelengan Alena yang tetap fokus pada makanannya.

Ankara mengernyitkan dahi, kemudian mulai mengingat sejak kapan Alena bersikap seperti ini. Senyum miring Ankara terbit saat menyadari bahwa gadis itu gugup karena melihat body sixpack-nya sehabis mandi.

“Lo nggak pernah liat ABS cowok sebelumnya, ya?” tanya Ankara yang membuat Alena tersendat, hingga matanya memerah. Ia meraih gelas berisi air dan segera minumannya.

“Atau ... lo emang nggak pernah pacaran?” lanjut Ankara yang lagi-lagi membuat Alena tersendat. Hal tersebut membuat Ankara tertawa sampai matanya menyipit.

“Buruan makan, kalau nggak mau telat,” ucap Alena setelah berhasil meredakan perih di tenggorokannya. Ia melangkah ke ruang tamu, meninggalkan Ankara yang masih sibuk tertawa.

Seusai sarapan, Ankara menemui Alena di ruang tamu, kemudian duduk tepat di depan gadis itu. Sedangkan Alena yang melihat kedatangan Ankara, sontak beranjak.

“Gue baru duduk, loh.”

“Gue nggak mau disalahin kalau lo telat,” ucap Alena tanpa berbalik menatap Ankara. Ia terus berjalan menuju loby, membuat Ankara hanya bisa mengikut di belakangnya.

“Lo beneran belum pernah pacaran?” tanya Ankara lagi saat mereka berada di dalam lift, tetapi Alena tampak tak acuh dan memilih menulikan telinganya.

Perjalanan menuju kantor cukup berjalan lancar, meskipun Alena berulang kali harus menahan emosinya karena ulah Ankara yang terus menggodanya perihal ia yang tak pernah pacaran.

“Rendi, mulai sekarang kamu laporkan semua jadwal saya ke Alena, karena mulai hari ini dia akan menjadi sekretaris pribadi saya. Pastikan juga dia tidak melakukan kesalahan,” ucap Ankara pada Rendi saat bertemu dengan lelaki itu di depan ruangannya.

“Baik, Pak.”

“Satu lagi, tolong siapkan meja kerja untuk Alena di dalam ruangan saya!” lanjutnya yang dibalas anggukan patuh dari Rendi. Setelahnya, Ankara beralih menatap Alena yang berdiri di belakangnya, ia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyerahkan tas kantor pada gadis itu.

“Bawa ke dalam, gue ada urusan dulu.”

Alena menarik napas dalam, kemudian melangkah ke ruangan Ankara untuk meletakkan tas tersebut. Alena berdecak kagum saat menatap interior ruangan Ankara yang tampak elegan dengan perpaduan black-gold. Ini memang bukan pertama kalinya ia ke sana, tetapi baru kali ini Alena bisa menikmati pemandangan itu.

Bunyi pintu yang dikeruk membuat Alena berbalik ke arah pintu. Ia sempat terdiam saat retinanya bertemu dengan retina pria yang beberapa hari ini tak pernah ia lihat lagi.

“Alena, kamu ngapain di sini?”

“Mulai sekarang dia bekerja sebagai sekretaris pribadi saya, ada masalah, Pak Bram?”

Bukan Alena yang menjawab pertanyaan dari Bram, melainkan Ankara yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu. Ia melangkah masuk, kemudian berdiri tepat di samping Alena.

“T—idak, Pak. Saya bawa data-data calon karyawan administrasi,” ucap Bram gugup sembari menyodorkan laporan yang ia bawa. Pandangannya sempat terkunci pada retina Alena, sebelum akhirnya Ankara memintanya untuk segera keluar dari ruangan.

“Gue nggak suka orang yang nggak profesional, apalagi pacaran di ruangan gue,” ucap Ankara dengan pandangan tetap fokus pada berkas di hadapannya. Sedangkan Alena justru mendelik kesal saat menyadari ucapan lelaki itu.

“Emang yang pacaran siapa?” gumam Alena, tetapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Ankara. Tak lama, Rendi datang bersama dua orang OB yang membawa meja dan peralatan kerja Alena.

“Sampai kapan lo mau berdiri di situ?” tanya Ankara setelah kini tinggal mereka berdua.

“G—gue, gue nggak tahu harus ngerjain apaan.”

Ankara melemparkan beberapa berkas ke arah Alena, kemudian beralih menatap gadis itu dengan pandangan dinginnya.

“Baca dan pahami! Di situ juga ada jadwal gue untuk minggu ini, tugas lo adalah hafal itu di luar kepala, paham?”

“Paham,” balas Alena disertai anggukan pelannya.

Mereka mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga tanpa sadar waktu makan siang telah tiba. Alena yang terlalu fokus pada pekerjaannya, sampai lupa untuk mengingatkan Ankara, hingga akhirnya kedatangan Rendi menyadarkan mereka.

“Pak, mau saya pesankan makanan?”

Ankara menggeleng menjawab pertanyaan Rendi, kemudian berkata, “Nggak usah! Mulai hari ini, untuk keperluan pribadi saya, termasuk makan siangnya diurus oleh Alena.”

“Mau makan apa? Di mana?” tanya Alena setelah Rendi pamit untuk pergi. Sedangkan Ankara tampak berpikir sejenak, kemudian meraih jasnya yang tergantung.

“Gue mau ketemu Devan, lo makan aja sendiri!” ucap Ankara sembari berlalu, meninggalkan Alena yang berdecak kesal.

“Dasar macan kota aneh! Tadi katanya jadi urusan gue, sekarang malah ninggalin,” keluh Alena sembari berlalu ke luar ruangan.

Alena melangkah sembari sesekali bersenandung, ruangan Ankara memang menjadi satu-satunya ruangan di lantai 24, sehingga keadaannya sedikit sepi, terlebih Rendi juga sudah turun lebih dahulu. Saat perjalanan menuju loby, pintu lift terbuka memperlihatkan Bram yang tersenyum sembari melangkah masuk.

“Jadi, ini pekerjaan baru kamu?” tanya Bram memecah keheningan yang tercipta. Suasananya memang sedikit canggung, mengingat hanya ada mereka berdua di dalam lift.

“Iya, Mas.”

“Mau makan bareng?” tawar Bram saat mereka sampai di loby. Alena tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk, menerima tawaran Bram. Mereka berjalan beriringan, menuju cafe Bram.

“Gimana keadaan adik kamu?” tanya Bram memulai pembicaraan, kini mereka tengah duduk berhadapan dengan makanan masing-masing di hadapan keduanya.

“Jadwal operasinya minggu depan.”

“Syukurlah sudah bisa dioperasi, maaf aku nggak bisa bantuin kamu,” sesal Bram yang membuat Alena menggeleng. Gadis itu tersenyum, mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

“Lupain aja, Mas. Lagi pula, aku udah dapat uangnya.”

“Dari Pak Ankara?” tanya Bram yang dibalas anggukan Alena, meskipun dengan sedikit keraguan di wajahnya. Bram meraih minumannya, tiba-tiba saja selera makannya hilang.

“Sepertinya Pak Ankara menyukaimu sampai bersedia meminjamkan uang sebanyak itu, bahkan menjadikan kamu sebagai sekretaris di perusahaan,” ucap Bram dengan pandangan ke lain arah, sedangkan Alena hanya bisa tersenyum masam. Andai Bram tahu, jika semua itu berdasar atas kontrak.

“Jadi begini kelakuan seorang sekretaris? Makan dengan enak, meninggalkan bosnya yang kelaparan.”

Alena dan Bram sontak beralih pada Ankara yang datang bersama Devan. Ankara melangkah semakin dekat ke arah Alena dengan tatapan datarnya, sedangkan Alena hanya bisa menatap sang empunya dengan pandangan bingung.

“Sekarang temenin gue makan!” tegas Ankara sembari menarik tangan Alena, setelah sebelumnya menyimpan beberapa lembar uang ratusan di atas meja.

Alena menatap Ankara yang sedari tadi hanya diam dengan pandangan bingung, bagaimana tidak? Lelaki itu sendiri yang meninggalkannya untuk makan bersama Devan, tetapi kini ia bertindak seolah Alena yang meninggalkannya untuk makan bersama Bram.

“Masakin!” pinta Ankara setelah mereka sampai di apartemen lelaki itu. Ia menyodorkan sebungkus pasta instan di depan Alena sembari meminta gadis itu untuk memasak untuknya.

“Cepat, Alena! Setelah ini gue masih ada meeting dan lo harus nemenin gue!” lanjutnya tegas, kemudian berlalu menuju ruang tamu, meninggalkan Alena yang hanya bisa menatapnya tak percaya.

“Habis kepentok kali, ya, si Macan Kota.”

“Buruan Alena! Gue laper!” pekik Ankara dari arah ruang tamu, membuat Alena terpaksa memasak untuknya, meskipun dengan perasaan dongkol.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status