Share

Bab 5 Suasana Aneh

Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo.

“Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.

Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.

Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah duduk di hadapan Alena. Namun, tak ada respon apapun dari Alena, membuat Ankara kini memusatkan perhatian padanya.

“Oke, kamu nggak usah minta maaf. Lagi pula, melakukan kesalahan di hari pertama kerja memang sering terjadi. Jadi, saya akan lupakan sikap kamu tadi,” lanjut Ankara. Ia melirik Alena yang sedari tadi seperti enggan menatanya, gadis itu sibuk mengaduk minuman di hadapannya.

“Sebenarnya, saya mau ke mall, tetapi sedang malas menyetir. Saya hanya curhat, jadi kamu jangan merasa....”

Ankara menghentikan ucapannya saat Alena bangkit, kemudian meraih kunci mobil yang diletakkan Ankara di meja.

“Kamu mau ke mana?” tanya Ankara bingung.

“Ke mall, ‘kan?” tanya balik Alena sembari melangkah ke luar, sedangkan Ankara terpaku sesaat, sebelum akhirnya sudut bibirnya terangkat. Ia menyimpan selembar uang ratusan di atas meja, kemudian menyusul langkah Alena.

“Dari mana Bapak tahu?” tanya Alena memecah keheningan di dalam mobil, sedangkan Ankara yang duduk di kursi penumpang mengernyitkan alisnya bingung.

“Dari mana Bapak tahu saya bisa menyetir?” ulang Alena yang membuat Ankara mengangguk paham.

“Saya tahu semual hal tentang kamu. Saat kuliah kamu punya mobil, hidup berkecukupan, tetapi semua berubah saat orang tua kamu meninggal dan Alex butuh banyak biaya untuk pengobatan. Saya bahkan tahu, kalau kamu adalah lulusan sarjana manajemen, wisudawan termuda dengan IPK sempurna,” jelas Ankara.

Sedangkan Alena sempat tertegun, tetapi kembali menormalkan ekspresinya saat menyadari semua hal bisa didapatkan dengan mudah karena uang, termasuk informasi tentangnya.

“Saya rasa itu lebih dari cukup untuk mengangkat kamu menjadi asisten pribadi sekaligus sekretaris saya di kantor, ‘kan?”

“Bukannya Bapak sudah punya sekretaris?” tanya Alena.

“Hem, tetapi nggak ada aturan yang melarang saya memiliki dua sekretaris, ‘kan?” tanya Ankara yang dibalas senyum masam Alena. Ia lupa, tak ada yang tidak bisa dilakukan seorang Ankara Foniks.

“Satu hal lagi, jangan panggil saya Bapak! Saya nggak setua itu. Kalau cuma berdua, panggil saja Ankara, umur kita hanya beda dua tahun.”

Beberapa saat dalam perjalanan, kini mereka telah sampai di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Kota Metropolitan. Ankara yang disusul oleh Alena di belakangnya, melangkah menuju salah satu toko yang hanya didatangi oleh orang-orang kelas atas. Tentu saja Alena pernah ke tempat ini, tetapi itu dulu saat kedua orang tuanya masih hidup.

“Kamu coba ini!” pinta Ankara pada Alena dengan menyerahkan beberapa baju. Sedangkan Alena hanya menurut saja. Ia kembali mengambil beberapa baju kemudian meminta Alena mencobanya. Hal ini terjadi selama kurang lebih satu jam, dan kini di tangan Alena terdapat beberapa paper bag berisi belanjaan mereka atas keinginan Ankara.

“Apa lagi, ya?” tanya Ankara sembari mengamati baju yang tergantung di etalase.

“Saya rasa ini sudah lebih dari cukup, Pa— hmm, Ankara,” ucap Alena sembari melirik paper bag yang bahkan tidak muat di tangannya. Sedangkan Ankara tampak berpikir sesaat, sebelum akhirnya mengangguk setuju. Ia membayar semua belanjaan itu, kemudian melangkah ke luar dengan Alena yang terus mengekor.

“Kita ke apartemen saya di Denpasar Recidence, kamu tahu tempatnya?” tanya Ankara yang dibalas anggukan Alena. Sepanjang perjalanan, mereka hanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Alena yang fokus menyetir, dan Ankara yang tampak sibuk mengecek email masuk perihal pekerjaannya.

Alena mendengkus menatap Ankara yang berjalan cepat di depannya, sedangkan ia tertinggal karena harus membawa paper bag yang sangat banyak, padahal beberapa paper bag juga berisi belanjaan Ankara.

“Jalan lebih cepat dong, Alena!”

Kalimat yang sama terus diucapkan Ankara, membuat Alena semakin dilanda rasa kesal. Ia benar-benar muak melihat lelaki di hadapannya.

“Ganteng doang, tapi nggak punya hati nurani,” geram Alena pelan, lagi pula ia tidak mungkin mengatakan itu dengan suara lantang, bisa-bisa Ankara akan murka padanya.

“Mulai hari ini, kamu tinggal di sini.”

Alena menatap Ankara dengan pandangan kaget, kemudian menatap apartemen mewah yang katanya akan menjadi tempat tinggalnya. Jadi, apakah dia harus tinggal bersama Ankara? Berdua?

“Hilangkan pikiran kotormu! Saya tinggal di apartemen sendiri, tepat di samping apartemen kamu!” ucap Ankara seakan mampu membaca pikiran Alena, sedangkan gadis itu hanya bisa tersenyum canggung dengan wajah yang sedikit memerah, ia sungguh malu.

“Apartemen ini lumayan lengkap dan saya pikir belanjaan tadi sudah lebih dari cukup untuk kamu gunakan, jadi kamu tidak perlu kembali ke rumahmu. Saya melakukan ini karena tidak ingin kekacauan terjadi lagi seperti tadi pagi,” lanjut Ankara sembari duduk di sofa ruang tamu, diikuti Alena yang duduk di depannya.

“Ini!”

Alena mengernyitkan alisnya, kemudian meraih map yang diletakkan Ankara di meja. Rupanya itu adalah kontrak 1M yang mengikat mereka. Alena menatap Ankara dengan pandangan penuh tanya.

“Seperti yang saya katakan kemarin, satu poin tambahan dari kamu sudah saya masukkan dan juga satu poin tambahan dari saya. Tanda tangan kembali!”

Alena mengangguk paham, kemudian mulai membaca isi dari map tersebut. Isinya sama dengan kontrak kemarin, hanya saja kontrak ini ditambah dengan poin yang diminta Alena mengenai tak ada sentuhan fisik, serta poin tambahan dari Ankara yang menegaskan pada Alena agar tidak jatuh cinta padanya.

“Saya sengaja menambahkan poin untuk melarang kamu jatuh cinta pada saya. Pesona saya memang susah untuk ditolak, tapi saya tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkan orang lain memiliki saya hanya dengan modal cinta, apalagi jika itu kamu. Jadi, tanda tangan!” jelas Ankara yang langsung dituruti oleh Alena.

Bagi Alena, poin tambahan yang diberikan Ankara sama sekali tidak penting untuknya. Lagi pula, Alena tidak akan pernah hanyut dalam pesona Ankara yang hanya modal tampang, tetapi nol besar dari segi menghargai sesama.

“Kontrak ini biar saya yang simpan, jika sewaktu-waktu saya sudah bosan dengan kontrak ini, maka saya sendiri yang akan meminta kamu untuk pergi,” lanjutnya yang dibalas anggukan Alena.

Untuk beberapa saat, mereka berada dalam keheningan, sebelum akhirnya bunyi dari perut Ankara memecah suasana yang ada. Wajah Ankara memerah, sedangkan Alena sekuat tenaga menyembunyikan tawanya.

“Ini semua karena kamu yang tidak menyiapkan sarapan untuk saya! Sekarang, pesankan makanan!” pinta Ankara sembari meraih remot tv dan menyalakannya.

“Saya pesankan pizza?” tanya Alena yang dibalas gumaman Ankara. Sejujurnya, lelaki itu benar-benar malu dan Alena menyadari itu, tetapi sekuat tenaga ia tidak membangkitkan macam yang tengah tertidur.

Setelahnya, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga bunyi bel memecah keheningan. Alena menengadahkan tangan di depan Ankara yang membuat lelaki itu menatapnya, seolah bertanya ‘kenapa?’

“Uang, buat bayar pizza,” jelas Alena dengan pandangan malas. Ia segera beranjak membuka pintu setelah menerima uang dari Ankara, kemudian menyajikan pizza tersebut di meja.

“Silakan!”

“Makan! Saya tidak ingin kamu mati dan dituduh sebagai pembunuh hanya karena tidak memberi kamu makan,” ucap Ankara sembari menyodorkan sepotong pizza ke hadapan Alena. Sedangkan Alena yang tengah sibuk memilah paper bag miliknya dan milik Ankara hanya diam dengan tatapan lurus pada Ankara.

Ck, menyusahkan! Buka mulut!” pinta Ankara sembari menyodorkan sepotong pizza di depan mulut Alena, perlahan gadis itu menerima suapan Ankara dalam keadaan bingung. Sama halnya dengan Ankara yang tampak kaget dengan hal yang ia lakukan sendiri.

“Makan sendiri! Gue bukan pembantu lo!” ucap Ankara sembari meletakkan kembali potongan pizza di tempatnya. Ia bangkit sambil meraih paper bag miliknya. Tanpa sepatah katapun lagi, ia beranjak meninggalkan Alena yang terpaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status