Share

Bab 3 Tanda tangan kontrak

Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.

“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.

“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.

“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi secepatnya.”

“Jujur saja Alena, saya sudah mencari donor ginjal untuk Alex sejak kedua ginjalnya semakin memburuk beberapa bulan lalu, dan beberapa hari yang lalu saya menemukannya. Makanya saya bilang sama kamu, kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali,” ucap Dokter Karin menjeda ucapannya. Ia mendekat ke arah Alena, menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

“Sebenarnya, ini sudah menyalahi aturan rumah sakit, tapi saya nggak tega liat perjuangan kamu. Hanya saja saya minta maaf, karena tidak bisa membantu dari segi biayanya,” lanjut Dokter Karin yang membuat Alena menangis terharu.

Alena mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipinya saat mengingat pertemuan dengan Dokter Karin semalam. Jika Dokter Karin saja berani menyalahi aturan rumah sakit hanya untuk menolongnya, maka Alena tidak mungkin mengorbankan Alex hanya untuk mempertahankan harga dirinya.

“Demi Alex!” tekad Alena sembari melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit tersebut. Ia menelan salivanya gugup, ini bukan pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat ini, karena tiga tahun yang lalu ia pernah melakukannya, tetapi tentu saja dengan alasan berbeda.

“Saya ingin bertemu dengan Pak Ankara,” ucap Alena pada karyawan di bagian loby perusahaan.

“Sudah membuat janji?”

“Dia memberikan ini ke saya,” balas Alena sembari menunjukkan kartu nama yang ditinggalkan Ankara kemarin. Kartu nama yang sempat ia buang di tempat sampah dan kembali mencarinya saat ia tak memiliki pilihan lain.

“Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya hubungi sekretarisnya.”

Alena mengangguk, mengiakan ucapan karyawan tersebut. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah, andai saja waktu itu ia memiliki pengalaman kerja, mungkin ia sudah menjadi bagian dari perusahaan ini, dengan menggunakan pakaian rapi dan juga tanda pengenal seperti karyawan lainnya.

“Ruangan Pak Ankara ada di lantai 24, Mbak, silakan!”

Alena melangkah dengan perasaan yang tidak menentu. Ia mulai menebak reaksi Ankara ketika melihatnya nanti, terlebih saat mengingat kejadian terakhir kali saat bertemu. Lift yang terbuka dan menunjukkan lantai 24 membuat perasaan Alena semakin was-was, entah hinaan, atau bahkan balasan tamparan yang akan ia dapatkan, tetapi yang pasti semua ini ia lakukan demi Alex.

“Mbak Alena?”

Alena mengangguk saat seorang pria yang ia yakini adalah sekretaris Ankara, baru saja menyapanya. Perasaan gugup semakin melanda ketika pria itu mengatakan bahwa Ankara telah menunggunya di dalam.

Alena memilin bajunya, ia bingung harus memulai pembicaraan. Sejak masuk lima menit yang lalu, ia hanya berdiri di depan meja Ankara, sedangkan sang empunya duduk di kursi, membelakangi Alena.

“Ada perlu apa?” tanya Ankara dengan nada datarnya sembari memutar kursi, menatap Alena yang membuat gadis itu semakin gugup.

“I—itu ... penawaran kontrak 1M, s—saya ... saya setuju.”

Alena memejamkan matanya ketika Ankara terkekeh sembari berdiri. Lelaki itu melangkah semakin dekat ke arahnya, membuat Alena bahkan tak sanggup untuk beradu pandang.

“Apa sopan bicara tanpa menatap lawan bicaramu?”

Alena semakin gugup, terlebih kini Ankara berucap sembari mengangkat dagu Alena dengan jari-jarinya. Alena bisa melihat dengan jelas, alis tebal, hidung mancung, bibir penuh, dan rahang tegas, serta mata hitam legam yang kini menatap tepat retinanya.

“Kamu pikir, tawaran itu masih berlaku?” tanya Ankara yang membuat Alena terbelalak. Seakan dihipnotis, Alena kini berlutut di depan Ankara. Ia masih ingat kalimat terakhir lelaki itu saat di cafe, Alena akan benar-benar berlutut jika itu menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan Alex.

“Apa ini yang namanya harga diri?”

Alena mengepalkan tangannya, menundukkan kepala dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Dengan sekuat tenaga, ia menahan rasa kesal pada Ankara yang sedari tadi tengah mempermainkannya.

Sedangkan Ankara kini melangkah kembali ke kursinya, menatap dalam pada Alena yang masih berlutut di hadapannya. Ia mengambil ponsel, kemudian mengabadikan momen tersebut.

“Berhubung saya manusia, bukan ‘sampah’ seperti yang pernah kamu katakan, maka saya akan berniat baik menolong kamu. Bangun!” perintah Ankara yang langsung dituruti oleh Alena. Ankara tersenyum miring saat melihat perubahan pada gadis itu, dari seorang yang pembangkang menjadi sangat penurut.

“Tanda tangan!” pinta Ankara sembari melemparkan sebuah map berisi kontrak perjanjian di atas meja. Sedangkan Alena, kini melangkah mendekat dan duduk di hadapan Ankara, membuka map tersebut.

Alena menarik napas panjang, kemudian mulai membaca satu per satu dari isi kontrak 1M yang terdiri dari hak dan kewajiban Ankara sebagai pihak pertama dan Alena sebagai pihak kedua.

Dalam kontrak tersebut dijelaskan, kewajiban Ankara akan membayar seluruh biaya rumah sakit Alex, melunasi seluruh hutang Alena pada rentenir, termasuk masalah penyitaan rumah, dan memberikan uang bulanan pada Alena sesuai dengan gaji sekretaris pribadi. Sedangkan kewajiban Alena ialah menjadi sekretaris pribadi Ankara untuk urusan kantor dan pribadi, dalam hal ini termasuk urusan makan, perlengkapan kerja, kebersihan apartemen, menjadi sopir pribadi, dan memenuhi seluruh kebutuhan Ankara. Serta, menjalankan peran ganda sebagai pacar Ankara yang akan dikenalkan pada orang tua lelaki itu.

“Semua ini harus saya lakukan?” tanya Alena setelah membaca kewajiban yang harus ia lakukan. Anggukan pasti dari Ankara menjadi jawaban yang membuat Alena menghela napas panjang. Ia beralih pada hak yang akan didapatkan masing-masing pihak.

Hak Ankara adalah semua kewajiban Alena, begitupun sebaliknya. Kontrak tersebut berlaku sejak penandatanganan kedua belah pihak dan hanya dapat berakhir dalam jangka waktu 5 tahun, atau ketika Alena dapat melunasi hutangnya tanpa menggunakan uang yang diberikan Ankara, dan atau Ankara sendiri yang menginginkan kontrak tersebut berakhir.

“Bagaimana?” tanya Ankara. Alena menggenggam erat map tersebut, sebenarnya ada hal yang mengganggu dalam pikirannya pada bagian kewajiban yang harus ia lakukan.

“Apa ada poin yang ingin kamu tambahkan? Berhubung saya adalah orang tampan yang baik hati, jadi saya kasih kamu satu poin tambahan, dengan catatan tidak melanggar aturan saya.”

Alena menggigit bibir bawahnya, ia bingung harus mengatakan keganjalan tersebut atau tidak, tetapi perasaannya tidak akan tenang jika tidak mengatakannya. Dengan sedikit mengumpulkan keberanian, Alena kini beralih beradu pandang dengan retina Ankara.

“S—saya ... saya tidak ingin ada sentuhan fisik,” ucap Alena pelan, bahkan sangat pelan, tetapi masih didengar dengan baik oleh Ankara yang seketika tertawa. Hal tersebut membuat Alena menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

“Jangan bilang kamu berpikir saya melakukan ini karena benar-benar tertarik sama kamu? Selain tidak tahu sopan santun, ternyata kamu juga tidak tahu diri,” ucap Ankara di tengah-tengah tawanya.

“Alena, dengarkan saya!” pinta Ankara setelah meredakan tawanya. Ia mencondongkan tubuh ke arah Alena yang tiba-tiba saja menjadi salah tingkah.

“Kamu bukan tipe saya! Saya bisa mendapatkan wanita dengan penampilan dewasa dan tentunya cantik, lalu kenapa saya harus menyentuh kamu ... yang bahkan tidak menarik?” ungkap Ankara yang diakhiri dengan pertanyaan meremehkan, kemudian kembali membenarkan duduknya.

Sedangkan Alena mengembuskan napasnya yang sempat tertahan beberapa waktu ketika Ankara berucap sangat dekat dengannya. Dengan sedikit bergetar, Alena meraih pulpen dan membubuhi tanda tangan di atas kontraknya.

“Pilihan yang tepat, anak baik!” ucap Ankara sembari menepuk pelan kepala Alena, diiringi dengan senyum penuh kemenangan, sedangkan Alena hanya bisa mengutuk lelaki itu di dalam hati dengan berbagai sumpah serapah.

“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan mengurus semua hutang kamu. Saya tidak ingin ambil risiko jika kamu akan kabur setelah mendapatkan uangnya,” lanjut Ankara sembari menarik tangan Alena keluar.

“Selamat datang di kehidupan yang sebenarnya, Alena.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status