Share

PEDANG NAGA BUMI

Kini Wirota telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, dia mengikuti jejak Jayendra menjadi seorang maling dan penjudi yang handal.  Malam hari usai merampok, Wirota biasanya mampir ke rumah-rumah orang miskin dan membagikan uang dengan diam-diam. Uang itu seperti biasa diletakan di dalam tempayan tempat beras atau hanya disorongkan di bawah pintu.

Satu hal yang selalu diingatnya dari Jayendra, dia melarangnya merampok orang miskin, bahkan mewajibkan Wirota membagikan sebagian hasil rampokannya kepada rakyat miskin.  Sungguh berbeda dengan ilmu yang didapatnya dari Lembu Ampal gurunya yang selalu melarangnya melakukan kejahatan seperti mencuri, merampok, berjudi.  Namun lama kelamaan Wirota menganggapnya sebagai hal biasa, bagaimanapun juga dia harus bertahan hidup dan hanya dengan cara menjadi maling itulah Wirota bisa bertahan hidup.

Larasati lama kelamaan mengetahui profesi Wirota yang sebenarnya, dalam hati kecilnya dia merasa sedih,marah dan kecewa, sosok yang dianggapnya sebagai pelindungnya ternyata adalah seorang maling. Namun dia memahami, sebagai orang miskin mereka harus bertahan hidup dan menjadi maling adalah pilihan Wirota untuk bertahan hidup. Setelah ibunya meninggal, Laras tak ingin membebani Wirota dengan dirinya, Laras memutuskan untuk menjadi abdi dalem di istana agar kehidupannya lebih baik. Sore itu dia menemui Wirota untuk berpamitan.

"Kangmas Wirota, aku sudah diterima menjadi abdi dalem di istana, hari ini aku pamit, besok aku sudah mulai bekerja," ungkap Larasati.

"Jadi kau sudah tidak di sini lagi?" tanya Wirota yang terkejut dengan pemberitahuan Laras yang mendadak itu.

Larasati tersenyum dan berkata

"Tentu saja aku masih menyempatkan pulang membersihkan dan merawat rumah peninggalan orangtuaku. Tetapi aku harus pergi karena aku tak ingin membebanimu lagi. Terimakasih atas kebaikanmu kepada keluargaku selama ini."

Wirota yang merasa kehilangan Laras lalu berkata

"Aku tidak keberatan menanggung kehidupanmu karena selama ini kau telah kuanggap sebagai adikku dan ibumu sudah bagaikan orangtua sendiri bagiku. Kalau kau di istana bagaimana aku bisa menemuimu?" Tanya Wirota.

"Kan aku masih bisa pulang walaupun hanya setahun sekali. Sudah ya aku pulang dulu," kata Laras.

Dengan berat hati Wirota melepas kepergian Larasati pergi ke istana menjadi seorang abdi dalem

Wirota kembali lagi kepada kesehariannya bersama Jayendra berjudi dan menjadi maling. Walaupun mereka hidup dalam kekurangan, namun Wirota merasa bahagia hidup besama Jayendra yang telah dianggapnya seperti orangtua sendiri.

Namun kebahagiaan Wirota bersama Jayendra tidaklah lama, suatu malam Jayendra didatangi 5 orang tak dikenal.  Ketika itu Jayendra sedang duduk bersantai di depan rumahnya yang berada di tepi hutan di pinggir kota Singasari.  Tiba-tiba muncul 5 orang laki-laki menemuinya. 

“Sudah lama aku mencarimu Mahesa Bungkalan, tak kusangka ternyata kau bersembunyi di sini!” kata seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan Jayendra.

“Ooh, ternyata kamu Arya Rahu, dunia ini ternyata cuma selebar daun kelor, kita bertemu lagi setelah 10 tahun lamanya berpisah. Apa maumu mencariku kemari?!” tanya Jayendra.

“Huh, tidak usah berlagak pilon, pastinya kau sudah tahu pengkhianat seperti dirimu tidak pantas hidup di dunia ini. Sekarang serahkan Pedang Naga Bumi itu kepada kami!"

"Aku tidak memiliki pedang itu Rahu, bukankah dulu kau sudah merebutnya dari orang-orang Cina itu?" kata Jayendra.

 “Diamlah kau Bungkalan, berikan pedang itu, jika tidak aku akan mengantarmu ke alam baka,” ucapnya sambil menyerang Jayendra dengan pedangnya.

Dia mulai bergerak menebas kepala Jayendra, namun Jayendra dengan gesit menghindari tebasan itu.  Ketika usai menghindar, salah satu begundalnya sudah menyambutnya dengan sebuah tikaman pedang, beruntung Jayendra dapat menghindari tikaman itu dan merebut pedang dari tangan penyerangnya.  Terkesiap ketiga orang itu, setelah sekian lama berpisah dan usianya sudah bertambah, Jayendra masih memiliki kekuatan prima seperti waktu mudanya semasa menjadi telik sandhi di kerajaan Singhasari. Namun bagaimanapun juga, usia tetap mempengaruhi kinerja seorang petarung.

Di serang dengan senjata bertubi-tubi membuat Jayendra mulai kelelahan, ilmu silat para pengeroyoknya tidak bisa dianggap enteng. Apalagi sudah lama dia tidak berlatih ilmu bela diri bersama sesama prajurit kerajaan semasa dia masih bekerja untuk Raja Wisnuwardhana. Selama ini lawan-lawan yang dihadapinya di luar istana hanyalah beberapa penjahat dengan ilmu cakar kucing yang hanya bisa digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil.  Ditambah lagi, para penyerangnya pada malam itu jumlahnya banyak dan masih berusia muda dengan stamina prima.  Akhirnya ada saatnya Jayendra tidak dapat menghindar, dadanya ditusuk keris penyerangnya, dia jatuh tersungkur bersimbah darah.

Orang-orang itu kemudian menggeledah rumah Jayendra, namun mereka tidak menemukan apa yang mereka cari, di rumah itu hanya terdapat koin emas dan perak hasil rampokan. Dengan gusar akhirnya mereka meninggalkan rumah Jayendra dengan tangan kosong.

Sementara itu Wirota baru saja pulang membeli tuak pesanan Jayendra.  Ketika sedang di jalan, Wirota berpapasan dengan lima orang penunggang kuda, yang memacu kudanya dengan kencang bagai angin lesus.  Wirota merasa heran, lima orang itu baru keluar dari tikungan menuju pondok mereka berdua. Tetapi untuk apa orang-orang itu mengunjungi pondok mereka, seketika perasaan Wirota mulai tidak enak, firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan Jayendra.  Maka Wirota segera berlari menuju pondoknya.

Memasuki halaman pondoknya Wirota menemukan Jayendra yang sedang sekarat.

Paman…!” teriak Wirota.

Wirota memangku jenazah ayah angkatnya sambil menangis tersedu-sedu. Walaupun Jayendra seorang maling, namun Wirota banyak berhutang budi kepadanya.

"Wirota, ambilah pedang  Naga Bumi itu yang kusimpan di atas blandar rumah. Bawalah dan jagalah dari orang jahat," kata Jayendra dengan nafas yang tinggal satu-satu, kemudian kepalanya terkulai lemas.

"Pamaan ....!"

Kini Wirota sebatang kara lagi di dunia ini, tanpa ada sosok ayah di sisinya. Malam itu sendirian Wirota mensucikan jenazah ayah angkatnya kemudian menguburkannya di halaman rumah. Usai menguburkan ayah angkatnya, Wirota kembali menangis di pusara Jayendra hingga menjelang pagi; Wirota menangis dan berkata

“Maafkan aku Paman, aku belum bisa mengadakan upacara perabuan yang layak untukmu. Hanya doa kupanjatkan kepada Sang Hyang Widhi agar kau mendapatkan tempat terbaik di Nirwana dan terlahir kembali dalam keadaan yang lebih baik.”

Ketika akan masuk rumah, di halaman rumah Wirota menemukan sesuatu yang berkilat-kilat. Diambilnya benda itu ternyata sebuah lencana bergambar mahkota raja, tanda pengenal Pejabat Kerajaan. Dalam Lencana itu tercetak nama Arya Rahu, Wirota mengantongi lencana itu sambil bergumam

"Arya Rahu, aku akan mencarimu walau sampai ke ujung dunia. Kau harus mati karena telah membunuh Paman Jayendra."

Tiba-tiba Wirota teringat pesan Jayendra tentang Pedang Naga Bumi yang disimpan di blandar rumah. Wirota segera masuk rumah dan merogoh semua blandar yang ada di rumah itu. Pedang Naga Bumi akhirnya di temukan di blandar di dapur, berbungkus sarung pedang yang terbuat dari tembaga dan kulit ikan pari. Wirota turun dari blandar dan duduk di tikar melolos pedang dari sarungnya.

Temaram sinar lampu minyak memantul di badan pedang membiaskan cahaya kuning keemasan.

"Pedang ini sangat indah, pasti dibuat dari bahan terbaik dan seorang Empu pembuat senjata yang hebat," gumam Wirota.

Pedang itu terbuat dari perunggu dan besi, di badan pedang terdapat ukiran naga yang dibuat dengan detil yang rumit dan indah. Di atas ukiran naga terdapat tulisan huruf kanji yang asing baginya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Supriyonosusanto
lanjutkan lagi mau baca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status