Perjumpaan dengan Larasati

Wirota mengambil sikap kuda-kuda.

"Kalau kuda-kudamu seperti itu, kau akan mudah di jatuhkan lawan," ejek Jayendra.

"Ah, mana bisa Paman, kuda-kudaku ini cukup kuat dan menurutku tidak ada yang bisa menjatuhkanku," kata Wirota dengan yakin.

Jayendra tidak menanggapi namun tubuhnya berkelebat dan kakinya menyapu kuda-kuda Wirota. 

"Bumm!" Wirota jatuh terlentang.

"Aduuuh Paman, sakit sekali!" kata Wirota sambil meringis menahan sakit.

"Ha ha ha tadi kau bilang kuda-kudamu sudah kuat dan tak mudah dijatuhkan. Mana buktinya, hanya sekali sapu saja kuda-kudamu sudah rontok!"

Wirota hanya tertunduk malu ketika Jayendra  mengejeknya. Ternyata memiliki ilmu silat yang handal tidaklah semudah yang dibayangkan. Seseorang harus memiliki fisik dan mental yang kuat jika ingin berhasil.

"Sekarang buat lagi kuda-kudamu," perintah Jayendra.

Wirota kembali membuat kuda-kuda, lalu Jayendra meletakan cawan berisi air di paha. bahu dan kepalanya.

"Nah sekarang kau sudah menerapkan posisi kuda-kuda yang benar. Kau harus tetap dalam posisi ini jaga jangan sampai cawan ini jatuh, jika sampai jatuh berarti posisimu sudah salah.

"Paman, berapa lama aku harus begini? Tanya Wirota.

Jayendra tampak berpikir lalu berkata

"Nanti menjelang makan siang baru kau boleh berhenti."

Lemaslah Wirota mendengar perintah Jayendra, berarti dia harus tetap dalam posisi itu selama 2 jam. 

Seorang anak perempuan seusianya lewat di depan rumahnya, anak itu tertawa melihat Wirota.

"Ha ha ha kau ini lucu sekali seperti patung Hanoman," ejeknya.

"Hei, diam kau dasar anak perempuan ceriwis!" tukas Wirota.

Tetapi anak itu ternyata tetap mendekati Wirota, mengamatinya lalu mengelilingi tubuhnya.

"Hei, mau apa kamu di sini? Pergi sana!" usir Wirota dengan marah.

Namun anak itu tidak marah, dia malah menggelitiki tubuh Wirota sehingga tubuhnya bergerak-gerak kegelian.

"Hei, jangan digelitiki nanti cawannya jatuh!" teriak Wirota.

"Pyaarr pyaarr pyaarr!"

Cawan itu berjatuhan dan pecah berkeping-keping, terbelalak mata Wirota melihat kenakalan anak itu. Anak perempuan itu memandang Wirota dengan pandangan ketakutan, lalu mundur selangkah dan berlari keluar halaman. Wirota yang marah lalu mengejarnya

"Hei, jangan pergi!" kata Wirota sambil mengejar anak perempuan itu. 

Mendengar keributan di halaman rumahnya Jayendra keluar dari dalam rumah. Melihat Wirota sedang mengejar anak perempuan, Jayendra berteriak.

"Wirota, apa yang kau lakukan? Disuruh latihan malah bermain!" seru Jayendra.

"Paman, dia sudah mengacaukan latihanku, tadi dia menggelitikiku sampai cawan-cawan ini pecah!" Wirota mengadu.

Ketika Wirota sedang berbicara dengan Jayendra, anak perempuan itu segera melarikan diri. Dari sudut matanya Wirota dapat melihat anak perempuan itu sudah lari. Wirota bermaksud mengejarnya namun dilarang Jayendra.

"Sudah sudah Ngger, tak usah kau tanggapi anak itu. Kau ulangi lagi posisi seperti tadi ya, kita latihan di belakang saja supaya dia tidak mengganggumu lagi," ujar Jayendra.

Huh, dasar anak-anak susah juga mengajarkan mereka untuk disiplin, batin Jayendra.

******

Tidak hanya mengajarkan ilmu beladiri, jayendra juga mengajarkan Wirota untuk menjadi seorang pencopet di pasar. Namun Jayendra berpesan kepadanya

"Ngger, kalau mencopet, jangan mencopet dari orang miskin, kasihan mereka itu sudah kere nanti jadi tambah kere, hasilnyapun tak seberapa. Copetlah para Nayaka Praja dan Pangreh Ageng yang korup atau para lintah darat itu," perintah Jayendra.

"Inggih Paman," jawab Wirota.

"Sekarang kau kuberi tugas, aku telah mengajarimu cara mencopet di pasar dan cara mencari mangsa yang sesuai dengan target kita. Besok pagi kau kutugasi mencopet Mantri Pasar, orang itu sering memalak pedagang dengan kutipan uang pajak pasar yang besarnya tidak sesuai ketentuan dari Kerajaan. Tetapi tidak seorangpun yang berani melaporkannya. Kau harus bisa mencopet uangnya lalu hasilnya sebagian untuk keperluanmu sebagian harus kau sedekahkan kepada orang miskin," kata Jayendra.

"Baik Paman."

Keesokan paginya Wirota siap bertugas memakai caping agar wajahnya tidak terlalu jelas terlihat. Dia sudah siap ke pasar menjalankan tugas dari Gurunya. Rupanya ini adalah salah satu ujian Jayendra dalam pelajaran mencopet. Wirota sudah sering mengamati bahwa  Mantri Pasar itu setiap pagi berkeliling menagih setoran di toko-toko. Wirota dapat melihat, kantong uang itu diselipkan di pinggangnya, 

Ini saatnya aku bergerak, batin Wirota.

Usai menagih biasanya Mantri pasar itu akan mampir ke kedai sate yang berada di depan pasar. Dalam keramaian pasar itu, Wirota memepet tubuh Mantri Pasar itu dan Hup... kantong uang itu berpindah ke tangannya tanpa disadari pemiliknya. Wirota segera memasukan uangnya ke kantongnya dan membuang kantong milik Mantri Pasar itu ke dalam got.

Pasti Paman Jayendra akan senang melihatku berhasil mencopet Mantri Pasar itu, batin Wirota dengan gembira. Sebelum pulang ke rumahnya, dia membeli daging babi guling dan satu bumbung tuak sesuai pesanan Jayendra. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, di depan Kedai Babi Guling itu, terlihat anak perempuan yang kemarin mengganggunya. Anak perempuan itu berbaju lusuh, mukanya kotor, menengadahkan tangan meminta-minta pada orang-orang di pasar. Anak perempuan itu wajahnya kuyu tampaknya dia belum makan seharian. Segera Wirota mendatanginya dan memberinya bungkusan daging babi guling yang dibelinya tadi.

"Ini ambilah untukmu," kata Wirota.

"Terimakasih Ndoro, terimakasih," katanya sambil memberi hormat.

"Ambil uang ini untuk hidupmu besok, supaya kau tidak perlu mengemis lagi," kata Jayendra sambil memberinya uang 10 kepeng tembaga.

Anak perempuan itu terkejut melihat jumlah yang diterimanya, dia menengadah melihat wajah orang yang memberinya uang dan makanan.

"Ndoro, ini banyak sekali saya ..."

Anak perempuan itu tidak meneruskan kata-katanya melainkan hanya terbengong-bengong memandangi wajah Wirota yang sangat dikenalnya.

"Kau anak yang kemarin itu?" Tanyanya kepada Wirota dengan nada terkejut.

"Sudahlah jangan pikirkan soal itu. Kuharap kau tidak mengganggu latihanku lagi. Sekarang pulanglah, jangan mengemis lagi. Dimana rumahmu?" tanya Wirota.

"Rumahku di pinggir hutan dekat dengan rumahmu," kata gadis itu sambil berlari pulang.

Wirota membeli lagi daging babi guling lalu berjalan pulang ke rumahnya. 

Sampai di rumah Wirota melaporkan hasillnya kepada Jayendra

"Paman tadi aku sudah mencopet Mantri Pasar itu, mudah sekali melakukannya tinggal kupepet dan uang itu sudah berpindah tangan. Aku membelikan pesananmu daging babi guling dan tuak. Lalu aku bertemu dengan anak yang kemarin menggangguku. Dia sedang mengemis di depan kedai babi guling. Karena kasihan lalu aku memberinya sebungkus babi guling dan 10 kepeng uang tembaga. Ini sisa uangnya, aku belum sempat memberikan kepada orang-orang yang memerlukan.

Jayendra mengangguk puas atas prestasi Wirota dan berkata

"Ya, aku tahu dia anak seorang janda yang sudah sakit-sakitan, kasihan anak itu, aku sering memberinya uang supaya dia tidak perlu mengemis lagi. Ayo, kita makan mumpung masih hangat," kata Jayendra sambil membuka bungkusan babi guling dan menuang tuak dari bumbung ke cawan. 

Sore hari ketika sedang berlatih silat di depan rumah, Wirota melihat gadis kecil itu sedang duduk di bawah pohon talok di halaman rumahnya menontonnya berlatih. Di depannya ada sekeranjang mbili hasil panenannya. Dia menunggu Wirota di bawah pohon sampai selesai berlatih kemudian mendatanginya

"Maafkan aku ya kemarin sudah mengganggumu," kata anak perempuan itu dengan wajah menyesal. 

"Tidak apa-apa, siapa namamu?" Tanya Wirota.

"Namaku Larasati, panggil saja aku Laras. Rumahku berada di sebelah timur rumahmu. Oh ya, ini ada mbili hasil panenku," kata Larasati sambil memberikan sebakul kecil mbili kepada Wirota.

"Siapa namamu?" Tanya Laras.

"Aku Wirota, kuharap kau dan aku sekarang bisa berteman baik," kata Wirota sambil tersenyum.

Sejak itu Wirota dan Laras menjadi sahabat yang tak terpisahkan, Wirota begitu menyayangi Laras seperti adiknya sendiri. Seringkali Wirota memberinya oleh-oleh jajan pasar atau sekedar mentarktirnya babi guling.