Share

Menyusup ke Istana

Musim Kemarau Panjang

Tahun ini musim kemarau yang panjang telah melanda Singasari dan seluruh bagian di pulau Jawa. Sungai, pengairan dan sawah-sawah mengering. Rakyat sudah menderita karena kelaparan, para pedagang bahan pokok menjual bahan makanan dengan harga tinggi setelah selama musim panen menimbun beras dan palawija di gudang.

Wirota merasa geram karena Pejabat Pemungut Pajak masih saja tetap membebankan pajak yang tinggi kepada rakyat dan tak pernah peduli kepada penderitaan rakyat kecil. 

Ketika malam telah larut, Wirota dengan pakaian serba hitam dengan kedok menutup sebagian wajahnya, datang ke rumah pejabat pajak itu. Matanya menatap tajam ke arah rumah pejabat itu. Rumahnya besar dengan tembok yang tinggi dan dijaga oleh beberapa penjaga yang pastinya berilmu tinggi. Beberapa ekor anjing penjaga berkeliaran di halaman rumah yang selalu menyalak setiap kali ada bayangan bergerak atau bau yang tak di kenal.

“Sial, Pejabat itu punya banyak anjing penjaga, aku harus bekerja keras menyirep mereka,” gumam Wirota.

Usai menyirep para penjaga beserta anjing penjaganya, Wirota segera bergerak masuk halaman merayap di tembok yang tinggi dengan ilmu Cicak Merayap. Sesampainya di halaman, Wirota memejamkan matanya memanggil para perewangannya untuk mencari keberadaan harta si Pejabat. Tak berapa lama kemudian Wirota menuju ke suatu tempat di belakang lemari besar dan ternyata di belakang lemari itu ada sebuah rak batu rahasia. Dengan cepat tangan Wirota bekerja meraup mengambil uang emas dan perak sebanyak-banyaknya dalam kantong yang telah disiapkannya.

Setelah uang terkumpul cukup banyak sesuai kemampuannya membawa karung, Wirota menggembol kantong uang itu dalam tas yang dijahit seperti ransel, kemudian bergerak pergi meninggalkan rumah pejabat pajak itu. Namun sialnya ketika tengah berlari melintasi halaman belakang menuju tembok, dua orang penjaga mencegatnya menghadang jalan keluarnya dengan tombak.

“Siapa kamu dan mau apa kamu di sini!” bentak mereka.

Sial, aku sudah gagal menyirep mereka, maki Wirota dalam hati.

Kedua penjaga itu kemudian menyerangnya, Wirota menghindari serangan tombak mereka kemudian berlari menuju pagar. Namun para penjaga itu terus mengejarnya sampai ke pagar belakang.

Huh, mengapa mereka bisa lolos dari ilmu sirepku, para penjaga di sini rupanya memiliki ilmu kanuragan yang hebat, batin Wirota.

“Sekarang kau sudah tidak bisa kemana-mana lagi,” ujar penjaga itu dengan nada mengejek melihat Wirota sudah terdesak di bawah pagar tembok yang tinggi.

Wirota hanya tersenyum sinis di balik kedoknya, dan tiba-tiba saja dia menghilang tanpa bekas meninggalkan kedua penjaga itu kebingungan mencarinya. Dengan ilmu Ajian Welut Putih, Wirota berhasil lolos dari kejaran penjaga rumah pejabat pajak tersebut. Dalam merampok Wirota tidak pernah membunuh korbannya, yang dilakukannya adalah sebatas melumpuhkan saja tidak sampai melukai mereka sampai parah kecuali jika terpaksa. Setelah berada jauh dari rumah Pejabat itu, Wirota bersuit memanggil Jlitheng kuda hitamnya lalu memacu kudanya menuju perkampungan kumuh di pinggir kota.

Sesampainya di sebuah rumah, Wirota menaruh beberapa keping uang emas dan perak di masing-masing rumah, ada yang di simpan di dalam tempayan tempat beras,ada pula yang hanya disorongkan lewat pintu atau jendela. Umumnya para rakyat miskin di kota itu sudah tahu setiap bulan seseorang akan datang ke rumah mereka memberi sejumlah uang.

Kembali ke rumahnya dalam kesendirian, Wirota minum tuak dan menyantap pisang rebus hasil panen di kebunnya. Mereka sengaja tinggal di daerah yang jarang penduduk. Hal itu memang dilakukan Jayendra agar profesi dan semua data dirinya tidak diketahui banyak orang. Sambil menenggak tuak, dipegangnya lencana itu dan menyebut sebuah nama

“Arya Rahu, sampai ke ujung duniapun aku akan terus mencarimu.”

Malampun semakin dingin, Wirota masih asyik minum tuak untuk sejenak melupakan kesedihannya setelah Jayendra gugur dibunuh Arya Rahu. Akhirnya Wirota 

Hari itu Wirota bangun kesiangan setelah semalaman dia mencuri di rumah pejabat pajak itu. Dengan mata masih setengah mengantuk, Wirota segera ke sumur untuk mandi menyegarkan tubuhnya. Tiba-tiba dia teringat dengan rencananya untuk menyusup ke istana. Dia berencana akan menyusup sebagai seorang Abdi Dalem istana. Tidak sulit baginya untuk memperoleh seragam abdi dalem dan samir sebagai penanda kepangkatan dan jenis tugas yang diemban seorang abdi dalem.

Ketika melewati sebuah rumah, Wirota melihat ada seragam abdi dalem lengkap dengan samirnya di jemur di halaman belakang. Dengan mudah Wirota mengambil pakaian abdi itu tanpa diketahui orang-orang di sekitarnya. Entah bagaimana nasib abdi itu ketika menyadari seragam kerjanya sudah raib.

Dengan berjalan kaki, Wirota menuju istana, mengelilingi temboknya. Di bagian belakang keraton ada pintu butulan kecil biasanya untuk lewat para abdi yang akan pergi keluar keraton tanpa harus berjalan memutar sampai depan istana. Butulan pintu kecil itu biasanya dikunci dari dalam, namun hal itu bukanlah masalah baginya untuk masuk kedalamnya. Setelah mengusap pintu dan menyebut mantera, pintu itu akan terbuka sendiri dan dengan mudah Wirota masuk ke dalamnya.

Sekarang Wirota telah berada di sebuah halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga dan pepohonan yang rimbun. Di halaman itu ada seorang remaja laki-laki mungkin sebaya dirinya atau mungkin sedikit lebih muda, sedang mengejar ayam aduan.

“Jalu … kemarilah jangan pergi!”

Remaja itu berlarian mengejar-ngejar ayam namun ayam itu selalu saja bisa menghindar berlarian sambil mengepak-ngepakan sayapnya dan berkotek-kotek dengan berisik.

“Petok … kok kok kok petok!”

Melihat remaja itu tak pernah berhasil mengejar ayam, Wirota tak tahan berkomentar

“Kalau kau mengejarnya seperti itu, ayam itu akan lari ketakutan,” ujar Wirota.

Melihat Wirota berdiri di situ remaja laki-laki itu berkata

“Kalau begitu bantulah aku menangkapnya.”

“Baiklah, sebentar aku akan menangkapnya,” ujar Wirota

Wirota berlutut di tanah kemudian memanggil ayam itu sambil merapal mantera dalam hati. Tiba-tiba saja ayam yang semula panik berlarian kesana kemari menjadi lebih penurut. Sang ayam dengan sukarela mendatangi Wirota yang dengan segera menangkap ayam itu dan mengelusnya. Ajian itu adalah ajian pertama yang dipelajarinya dari Jayendra ketika Jayendra menyuruhnya mencuri ayam.

“Bagaimana kau bisa melakukannya?” tanya remaja itu dengan heran.

"Ah, itu gampang aku sudah sering melakukannya," ujar Wirota sambil tersenyum penuh arti.

Tentu saja memikat ayam adalah hal yang mudah bagiku karena aku adalah maling ayam he he he,batin Wirota.

Remaja itu segera menyambut ayam dari Wirota dan memasukan lagi ke kandang.

“Terimakasih akhirnya ayamnya bisa kembali, siapa namamu?”

“Aku Wirota dan kau sendiri siapa?” tanya Wirota.

“Panggil saja aku Jaya,” jawabnya sambil melihat ke arah Samir yang dipakai Wirota.

Samir yang dipakai Wirota adalah penanda tugas sebagai abdi dalem yang sering disuruh keluar istana untuk berbelanja berbagai keperluan istana.

Jaya yang sedang bosan di dalam istana kemudian berkata

“Aku sedang bosan di sini, tidak ada keramaian di tempat ini,  semua terasa sepi. Kau bisa mengajakku keluar sebentar melihat keramaian?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status