Apa yang dikatakan Jayendra terbukti sudah, hanya dalam waktu tidak sampai 10 menit, ayam jago itu keok dan mati terkena taji tajam ayam jago merah. Orang-orang yang memasang taruhan untuk ayam hitam memaki kesal karena ayamnya kalah. Banyak orang di situ terlanjur memasang taruhan dalam jumlah besar untuk ayam hitam.
Salah seorang diantara mereka ada yang tidak terima ayam jago hitam kalah ditambah lagi dia sedang dalam keadaan mabuk. Maka mengamuklah dia bagai banteng yang terluka. Terjadilah keributan di sekitar lokasi judi itu, orang-orang saling baku hantam hanya karena ayam jago. Melihat keributan di lingkungan adu ayam jago yang semakin runyam, bandar judi itu segera mengumpulkan uang taruhan penonton dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri bersama komplotannya.
Ketika kerusuhan mereda, beberapa orang hendak menuntut haknya sebagai pemenang adu ayam, barulah mereka menyadari bandar judi itu sudah kabur dengan membawa uang mereka. Tetapi semua sudah terlambat, tidak ada seorangpun yang tahu di mana bandar judi itu tinggal. Namun tidak demikian dengan Jayendra.
Menangkap Bandar Judi Curang
Di sebuah pondok di pinggir kota, sang Bandar judi bersama tiga orang komplotannya, asyik menghitung uang perak dan emas yang mereka peroleh dari hasil taruhan peserta sabung ayam pagi tadi.
“Hahaha…kerja kalian bagus, kalian berhasil membuat kacau suasana sabung ayam tadi sehingga orang-orang itu tidak sadar uangnya telah kita bawa. Waah…lumayan juga hasil kita ini nanti malam kita bersenang-senang dengan gadis-gadis cantik di rumah plesir Andrawinan,” kata si bandar judi.
Tiba-tiba terdengar suara, “Aku minta bagianku, kalian tadi belum membayarku!” Keempat orang tadi celingukan dengan bingung mencari asal suara seperti monyet terkena tembakan sumpit.
“Hei, aku di sini!”
Spontan keempat orang itu menengok ke atas, Jayendra sedang duduk dengan santainya di atas blandar rumah. Rupanya karena keasyikan menghitung uang, mereka tidak menyadari kehadiran Jayendra di dalam rumah. Jayendra melompat turun dari blandar dan menghampiri mereka dengan tangan menengadah.
“Nah, sekarang aku minta bagianku, ayam merah yang kujagokan tadi menang. Aku sudah tahu akal bulus kalian, kerusuhan tadi kalian sendiri yang merancangnya.”
Sang bandar judi memandangnya dengan pandangan mengejek. “Kau boleh saja tahu akal bulus kami, tetapi setelah ini kau tidak akan bisa mengatakannya kepada semua orang karena sekeluarnya dari tempat ini kau sudah jadi mayat, hahaha.”
“Ayo serang dia,”katanya kepada anak buahnya.
Para begundal Bandar judi itu menghunus kerisnya dan mengeroyok Jayendra. Jayendra hanya memandang mereka dengan pandangan sinis, selendang di bahunya dilepas dan disabetkan kepada orang-orang itu. Salah satu dari mereka menusukan keris ke arah Jayendra, tangan si pemegang keris dililit selendang sehingga tak berkutik, dan dengan cepat Jayendra menghajar dagu lawannya sehingga lawannya tersungkur jatuh. Teman-temannya yang lain segera maju menyerang dan dengan selendang itu Jayendra menangkis tusukan keris. Tak lama kemudian hanya dengan beberapa jurus saja orang-orang itu dapat dilumpuhkan olehnya.
Sejurus kemudian, sang Bandar judi dan anak buahnya sudah bertumbangan di lantai, badan mereka memar-memar dan terluka.
“Sekarang berikan uangku!” bentak Jayendra pada sang bandar judi.
“B…baa…baik…ini ambilah uangmu, pergilah cepat!” katanya sambil memberikan sekantong uang pecahan perak dan emas.
Sementara itu, Wirota mengintip dengan takut-takut dari celah papan, dia tidak berani masuk ke dalam rumah. Jayendra sudah berpesan untuk tidak menyusulnya masuk ke dalam rumah apapun yang terjadi. Beberapa saat kemudian, Jayendra sudah keluar dari pondok itu.
“Paman Jayendra … kau berhasil mendapatkannya?” Jayendra tidak menjawab hanya tersenyum dan menunjukan sekantung uang kepada Wirota.
“Ini uangnya, ayo kita makan babi guling dan minum tuak di kedai dekat pasar,” ajak Jayendra.
Sejak saat itu, Wirota mulai belajar menjadi maling dan berjudi, di samping belajar ilmu kanuragan untuk bela diri, darinya Wirota belajar membuka berbagai jenis gembok dan kunci, melompati dinding dengan menggunakan mantera, menyirep penjaga, dan ilmu-ilmu kanuragan lainnya yang mendukung keterampilannya sebagai maling.
Suatu hari Jayendra memanggilnya
"Ngger, kemarilah sudah saatnya kau kuwarisi ilmu-ilmu kanuraganku karena aku tidak punya anak."
Wirota menghampiri Jayendra dan bertanya
"Paman mau mengajariku ilmu apa?"
"Mengajarimu ilmu beladiri supaya kelak kau menjadi orang yang kuat dan disegani orang. Tidak seperti sekarang, kau dengan mudah dipermainkan preman Pasar. Kita mulai besok ya," kata Jayendra.
*******
Menjelang dini hari, Wirota masih tertidur di tikarnya, tiba-tiba dia merasa wajahnya basah kuyup seperti terkena air hujan. Wirota gelagepan, wajah dan bajunya sudah basah oleh air. Ketika membuka matanya dilihatnya Jayendra sudah berdiri di depannya sambil terkekeh
"Ayo Ngger kita mulai latihan!"
"Paman, ini kan masih malam, lihat matahari saja belum muncul," kata Wirota sambil bersungut-sungut.
"Iya memang ini masih dini hari, tapi ini saat yang terbaik untuk latihan!" Kata Jayendra sambil menarik tangan Wirota pergi.
Wirota yang masih mengantuk berjalan terseok-seok mengikuti langkah Jayendra, ternyata Jayendra membawanya menuju sungai di belakang pondok mereka.
"Paman mau apa di sini? Aku tidak mau tempatnya gelap dan menyeramkan!"
"Tempat ini nantinya akan menjadi tempat yang menyenangkan bagimu Ngger," kata Jayendra sambil menceburkan Wirota ke dalam sungai.
Lagi-lagi Wirota gelagepan di dalam sungai, untunglah dia bisa berenang. Rasa kantuknya menghilang karena tercebur sungai yang dingin. Wirota segera berenang ke pinggir hendak menepi. Namun Jayendra menahannya dan melemparnya kembali ke sungai.
"Bocah ngeyel tetap di situ dan jangan pergi dari situ sampai matahari terbit!" perintah Jayendra.
"Paman, apa maksudmu memperlakukanku begini?" Seru Wirota.
"Sudah jangan cerewet, kamu kungkum saja di situ ya sampai subuh," perintah Jayendra.
Dengan bersungut-sungut Wirota terpaksa mengikuti instruksi Jayendra, tubuhnya sudah menggigil, giginya bergemrutuk karena kedinginan. Ingin rasanya dia keluar dari sungai dan kembali bergelung di ranjangnya yang hangat.
"Paman, aku kedinginan Paman!" Teriak Wirota.
Namun Jayendra tak peduli, masih tetap duduk di bawah pohon sambil memancing.
"Suatu saat kau akan mengerti Ngger, aku akan duduk di bawah pohon mengawasimu!" kata Jayendra.
Wirota mencoba bertahan dari hawa dingin yang menggigit tulangnya. Namun tak lama kemudian, tubuhnya sudah mulai bisa menyesuaikan diri dan udara dingin itu dirasakannya semakin berkurang. Tak terasa hari sudah menjelang subuh, Wirota berteriak memanggil Jayendra
"Paman, hari sudah subuh, aku keluar dari sungai ya!" teriak Wirota.
Tak lama kemudian Jayendra datang dengan tertawa terkekeh melihat Wirota
"Ayo keluar dari sungai, aku mau memberimu beberapa latihan, tapi kau harus makan dulu karena latihan kali ini sangat berat.
Setelah makan, Jayendra menyuruh Wirota membuat kuda-kuda. Dia memberikan contohnya kepada Wirota lalu berkata
"Coba, aku mau lihat bagaimana caramu membuat kuda-kuda," perintahnya pada Wirota.
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria