Share

Dikeroyok Preman Pasar

Melihat Wirota berani menghina mereka, spontan para preman itu marah dan mulai menghajar Wirota. Anak remaja itu berusaha melawan, namun jumlah mereka lebih banyak dan tubuh mereka lebih besar. Sehingga akhirnya para preman itu berhasil merampok uang Wirota dan meninggalkannya di pojok teras pasar dalam keadaan babak belur. 

Wirota menggigil ketakutan bercampur rasa sakit yang meliputi seluruh tubuhnya. Cukup lama dia rebahan di pojok teras sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Beberapa saat kemudian hujanpun turun. Dari kejauhan seorang laki-laki berumur 40 tahunan berlari menghindari hujan namun langkahnya tampak sempoyongan karena mabuk, mendatangi emper pasar sambil membawa bumbung tuak, kemudian duduk di dekat Wirota.           

Mulutnya terus menggerutu dan mengomel tidak jelas, tampaknya orang itu sedang mabuk berat.

Wirota ketakutan melihat orang itu dan beringsut menghindarinya. Dari kejauhan Wirota melirik ke arah pemabuk itu dengan takut-takut, ingin rasanya dia berlari kencang meninggalkan tempat itu, namun tubuhnya terasa berat dan sakit jika digerakan. Melihat gelagat Wirota pemabuk itu menegurnya

“Jangan takut Ngger, aku bukan orang jahat.”

Pemabuk itu menengok ke arah Wirota dan bertanya, “Siapa yang memukulimu sampai seperti itu?”

“Aku tidak tahu, mereka preman pasar itu memukuliku kemudian merampokku. Aku bukan penduduk di sini, aku berasal dari Lamajang,” ujar Wirota.

“Hahaha … aku tahu, gerombolan Gagak Rimang yang memukulimu. Jangan khawatir, tadi mereka kalah judi denganku sehingga uang yang mereka rampok ada di tanganku sekarang. Mereka itu tidak pernah menang jika berjudi denganku, hahaha…,” Pemabuk itu tertawa terkekeh-kekeh penuh kemenangan, menertawakan kebodohan Gagak Rimang.

“Gusti … kenapa aku harus bertemu orang seperti ini? Kalau begitu sama saja lolos dari mulut singa masuk ke mulut buaya,” gumam Wirota.

Pemabuk itu menenggak kembali tuaknya, dari mulutnya keluar lagu-lagu sumbang bercampur sumpah serapah yang tidak jelas. Hujan makin deras turun dari langit, Wirota yang kedinginan menggigil di sudut emperan pasar. Malam semakin larut, pelahan rinai hujan semakin berkurang dan akhirnya reda. Tinggal suara kodok bersahut-sahutan diluar berpesta di kubangan air. 

Pemabuk itu menengadahkan tangannya keluar teras.

“Hmm … hujan sudah reda, ayo ikut aku pulang ke rumahku.” 

Wirota sedikit bimbang, pemabuk yang kasar itu masih menakutkan baginya, sungguh berbeda dengan Romo Ampal yang lemah lembut dan tak pernah berkata kasar.

“Sudahlah Ngger, tidak usah ragu-ragu, kau ikut saja aku daripada terlantar di pasar jadi pengemis dan jadi bulan-bulanan preman pasar,” ajaknya dengan tidak sabar.

Wirota akhirnya menganggukan kepala tanda bersedia namun ketika dia menggerakan tubuhnya untuk bangkit, rasa sakit menyerbu ke seluruh sendi-sendi tulangnya dan otot-otot tubuhnya.

“Tunggu, aku tidak kuat berjalan, preman-preman pasar itu sudah memukuliku sampai tubuhku tak kuat berjalan,” keluh Wirota.

Pemabuk itu mendatangi Wirota, kemudian memapah tubuhnya untuk berdiri.

“Terima kasih,” ucap Wirota dengan lirih.

Setelah beberapa saat berjalan sambil dipapah, sampailah mereka di sebuah pondok kayu beratap sirep yang terletak di pinggir kota, di dekat sebuah hutan kecil.

“Ini rumahku, ayo masuklah, aku akan mengobati luka-lukamu,” ucap orang itu.

“Syukurlah, ternyata dia tidak sejahat yang kukira,” batin Wirota.

Sepeminuman teh kemudian, orang itu telah kembali membawa kain bersih dan ramuan obat di tangannya. 

“Minumlah jamu ini, agar lukamu lekas sembuh, aku akan membersihkan luka-lukamu,” ujar pemabuk itu sambil membersihkan luka-luka di tubuh Wirota.

Wirota kemudian bertanya kepada pemabuk itu.

 “Ki Sanak, siapa namamu?”

“Namaku Jayendra, lalu siapa namamu?”

“Namaku Wirota.”

“Dimana orang tuamu?  Bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanya Jayendra.

“Aku sudah tidak punya orang tua, guruku Lembu Ampal telah dibunuh oleh sekelompok orang tak dikenal. Mungkin setelah ini aku akan mencoba mencari pekerjaan sebagai pelayan di kedai tuak atau kuli angkut di pasar,” ucap Wirota.

Jayendra mengerutkan keningnya dan berkata, “Lebih baik kau ikut aku saja, nanti akan kuajarkan berbagai ilmu kanuragan yang dapat kau pergunakan untuk membela diri,” ujar Jayendra.

Selesai merawat luka-luka di tubuh Wirota, Jayendra bertanya kembali.

“Berapa uangmu yang diambil preman pasar tadi?”

“Uang itu ada 20 kepeng tembaga, 10 kepeng perak dan 1 kepeng emas,” jawab Wirota.

Jayendra merogoh kantongnya mengeluarkan isinya dan menghitungnya, kemudian diserahkan kepada Wirota.

 “Ini uangmu kukembalikan,” ujar Jayendra sambil menumpahkan koin ke tangan Wirota.

Wirota terkejut melihat apa yang dilakukan Jayendra.

“Ki Sanak, kenapa kau malah memberiku uang?” tanya Wirota dengan heran.

“Aku hanya mengembalikan uangmu yang diambil oleh gerombolan Gagak Rimang. Bukankah tadi aku sudah memberitahumu bahwa kelompok Gagak Rimang tadi kalah judi dariku. Uang yang dipakai mereka berjudi adalah milikmu. Oh … ya, panggil saja aku Paman supaya lebih enak di dengar,” ujar Jayendra.

Wirota hanya mampu menganggukan kepalanya dan berkata dengan haru “Terima kasih, Paman.”

Sejak itu Wirota tinggal bersama Jayendra di rumahnya dan mengikutinya kemanapun Jayendra pergi.  Hari ini Wirota mengikuti Jayendra seperti biasa berjudi sabung ayam di belakang pasar. Orang-orang sudah ramai mengerumuni dua ayam jago berbadan besar, yang satu berwarna hitam satunya berwarna merah. Pada taji ayam jago itu sudah diberi pisau tajam yang akan menyayat tubuh lawannya ketika mereka berkelahi. Ayam jago hitam itu berbadan besar dan tampak kokoh, berbeda dengan ayam jago merah, tubuhnya lebih kecil, namun gerak-geriknya lebih gesit.

“Tunggu sebentar di sini, aku akan pasang taruhan dulu ke bandarnya,” ujar Jayendra sambil melangkah pergi. Setelah selesai memasang taruhan, Jayendra berjongkok di pinggir gelanggang sabung ayam di sebelah Wirota.

“Paman, kau pasang taruhan untuk ayam yang mana?”tanya Wirota.

“Aku pasang untuk ayam jago merah.”

“Paman, ayam jago merah itu tampak kecil dan ringkih, kenapa tidak pasang untuk ayam hitam saja?”

“Ah…sudahlah, kau lihat saja sendiri nanti. Orang-orang itu sudah banyak yang memasang taruhan untuk ayam hitam ini.        

Tak lama kemudian pertandingan pun dimulai, kedua ayam jago itu sudah mulai saling terjang, dan patuk. Sayap mereka berkepak-kepak setiap kali menerjang lawannya. Terkadang terjangannya luput sehingga taji-taji tajam itu melukai penonton yang berkerumun di sekelilingnya. Sorak-sorai keras terdengar setiap kali jagoan mereka berhasil melukai lawannya. Setelah beberapa saat berlalu, ayam jago hitam itu mulai kelelahan dihajar lawannya ayam jago merah. 

“Nah, kau lihat sendiri kan, ayam jago hitam itu tidak mampu bergerak cepat karena badannya besar dan berat. Tunggu saja sebentar lagi ayam hitam itu keok dihajar ayam jago merah,” ujar Jayendra penuh percaya diri.

Waktu berlalu, kedua ayam itu kini sudah mulai mengalami luka-luka, terutama tubuh ayam jago hitam itu yang tampaknya mengalami pendarahan hebat setelah dihajar ayam merah yang walaupun tubuhnya kecil tetapi gerakannya lebih gesit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status