Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Disinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen.
Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya bermain dengan wanita di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.
‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin setelah mempertimbangkan matang-matang, tidak ingin hatiku semakin terluka lebih dalam melihat kemesraan Marvin bersama Stela.
Brakkk
Suara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Laki-laki yang berstatus suamiku mendatangi kamarku.
Mataku menatap penampilan Marvin jauh berbeda dari biasanya, kacau. Rambut acak-acakan, dan kaos lengan pendek lecek.
Untuk apa Marvin kesini? Tidak cukupkah dia menyakiti hatiku, berselingkuh dengan Stela di apartemen. Oh tidak, ada baiknya laki-laki itu kesini karena aku akan mengutarakan keputusan bulat, berpisah dengannya.
“Berani kamu mengusik ketenanganku, Sila!” geramnya dengan penuh penekanan di setiap kata.
Bulu kudukku berdiri, merinding mendengarnya. Bukankah disini aku yang harus marah, telah dikecewakan dan disakitinya, pikirku.
“Ngapain kamu kesini?” Aku berusaha melawan mengabaikan rasa takut melanda diriku. Selama ini aku selalu menurut dan lembut pada Marvin. Ini adalah rumah peninggalan orang tuaku yang telah diwariskan atas namaku jadi aku berkuasa disini.
“Berani kau mengadukan semuanya pada papa.” Matanya menatap tajam padaku seraya berjalan menghampiriku. “Lihatlah karenamu, sekarang papa harus di rawat di rumah sakit!” Kilat mata merah penuh benci tertuju padaku.
Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf padaku, malah dengan lantang menyalahkanku. ‘Kau berduaan dengan wanita lain, papa sakit karena kesalahanmu sendiri.’ Tanganku menulis di kertas yang ku ambil di atas nakas samping ranjangku.
Mata elang itu dengan malas membaca tulisan tidak bermutu namun rapi dan cantikku. Maklum, penulis, biasa menulis sudah sewajarnya bagus dan rapi bukan, itulah anggapan Marvin pada Sila. Ya, laki-laki itu tahu kesibukan Sila selama ini sebagai penulis di rumah.
Kedua tangannya mengepal erat seperti siap meninju, sudah pasti aku sasarannya. “Dasar wanita gila. Kamu berani mengusik keluargaku, habis riwayatmu.”
Aku diam, merasa takut. Walau aku yakin sepenuhnya tidak bersalah, namun ancaman Marvin berhasil melumpuhkan keberanianku.
Tangannya terayun meraih daguku, dicengkramnya dengan kuat, mulutku berbentuk huruf O. “Awshh. sakit.” Sungguh ini yang paling menyakitkan dari semua perlakuan buruk Marvin selama ini padaku. Mataku
“Jangan usik kebahagianku bersama kekasihku.” Air mataku menetes. “Urusi saja kehidupanmu sendiri.” Daguku dilepas kasar, meninggalkan bekas kemerahan disana.
‘Sendiri,’ lirihku dengan getir. Aku sudah tidak kuat bersamanya lagi, yang ada hanyalah tindakan kekerasan yang aku terima.
“Keluar!” teriakku mengusir.
Mendengar suara tinggi, Marvin murka.
Sila berani menatap tajam tak ada ketakutan sama sekali disana. “Pergi!” ucapku lagi.
“Aku berhak disini!” bantah Marvin tepat di depan wajahku.
“Apa kamu lupa siapa diriku? Suamimu!” imbuhnya seperti mengingatkan dan aku tidak lupa itu. Tapi perlu diketahui itu hanya sementara karena apa, akan ada perpisahan diantara kita.
Segera tanganku menulis lagi.di kertas kosong dengan huruf balok. ‘AKU MINTA CERAI’
Marvin melotot kaget tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Matanya memerah dan rahangnya mengeras menyorotkan emosi membara atas ketidaksukaan permintaanku.
Aku yakin atas keputusanku sekarang, berharap semua selesai baik-baik cukup aku yang tersakiti disini dan kemudian hari akan mendapatkan gantinya dengan mendapatkan kebahagiaan yang lain tentunya dengan pasangan yang baru, itulah harapanku.
“Cerai, kamu bilang! Siapa yang berani suruh kamu minta cerai, hah!” Tangan Marvin menjambak rambutku dengan kasar.
“Shhh.” Aku meringis berusaha melepaskan diri namun gagal, tenaga Marvin jauh lebih besar daripada miliknya.
“Cepat katakan, siapa orangnya!” tuntutnya lagi menduga keputusanku ada ikut andil orang lain. Yang Marvin ketahui selama ini adalah aku sangat mencintainya hingga rela mengalah setahun ini.
Apakah disini penting menanyakan orangnya. Sudah pasti jelas ini keputusanku sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Disini aku yang menjalani, sudah sepatutnya aku juga yang memutuskan termasuk memilih jalan perceraian.
“Bi Sumi?” tebak Marvin, segera kepalaku menggeleng tidak membenarkan itu semua. Bi Sumi tidak ada campur tangan sedikitpun atas semua ini.
Brughhh
Tangannya mendorong kepalaku hingga membuat tubuh ringkihku terhempas di atas ranjang. Tangisku semakin terisak, setiap hari mendapatkan perlakuan kasar, sayangnya semakin kesini semakin tidak manusiawi.
Aku berusaha kuat dan bangun, menulis lagi di kertas, suaraku telah habis teredam suara tangis.
‘Berbahagialah dengan kekasihmu. Lepaskanlah aku.’
Marvin terkekeh setelah membacanya, beralih menatapku tajam seperti siap menerkamku hidup-hidup.
“Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu.” ucap dengan suara rendah.
Mataku membulat, mengapa Marvin menolak, bukankah disini adalah kesempatannya untuk hidup berbahagia dengan wanita lain tanpa ada aku yang menjadi penghalangnya.
“Kenapa?”
Dia menyeringai mengerikan. “Jangan harap kamu bisa lepas dariku, Sila! Setelah kau merusak hubunganku dengan papa dan Stela, rasakan hukumanmu.” Oh tidak, dia ingin membalaskan dendam padaku, aku ketakutan, berharap bisa lepas malah semakin terjebak di lembah kehancuran semakin dalam bersamanya.
‘Apa yang dia lakukan?’ batinku dengan tangan meremas sprei motif bunga warna cokelat muda.
“Layani aku sekarang!” titahnya seraya melepas kaosnya hingga bertelanjang dada.
Terlihat alarm berbahaya mendekat, aku berusaha pergi menjauh dari sesuatu akan terjadi, sebelum menyesal semakin dalam.
Tanganku di cekal hendak melarikan diri. “Jangan, aku tidak mau,” tolakku tidak mau melayani dengan tubuhku walau sejengkal saja.
Mulai sekarang aku tidak menganggap Marvin sebagai suami dan telah melepasnya kepada wanita lain. Aku sudah tidak sanggup berjuang seorang diri untuk mempertahankan pernikahan ini lagi terlebih bukan atas dasar cinta
Pernnikahanku dengan Marvin di ujung tanduk perceraian terlepas penolakan sebelumnya, aku tak ingin kembali terjerembab dalam lubang kehancuran, melayani hasrat Marvin yang sekarang siap menerkamku di atas ranjang.
Marvin telah milik dan dimiliki Stela, jadi buat apa aku melayaninya. Kasihan tubuhku, memuaskan laki-laki yang sama sekali tidak mencintaiku dengan tulus.
“Jangan menolak jika kamu masih mencintaiku,” mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.
“Brengsek,” umpatku mulai merasakan tenaganya tidak sebanding dengan Marvin.
Sayang seberusaha apapun aku melawan, nyatanya tenaga Marvin yang telah dikuasai amarah itu membuatku kalah telak dan berakhir pasrah di bawah kungkungan Marvin. Hingga pergulatan dan penyatuan tubuh terjadi terjadi di ranjang, aku melayani Marvin disaat hati ini sudah diselimuti rasa benci dan kecewa pada laki-laki itu. Sinar matahari yang terang memenuhi kamar menjadi saksi pergulatan sepihak ini, aku tidak menikmatinya sama sekali.
Suara desahan dan erangan bercampur jeritan memenuhi seisi kamar Berbeda dengan sebelumnya, aku melayaninya dengan ikhlas lahir batin, sadar akan kewajibanku sebagai istri. Sungguh, bukan ini yang aku harapkan di sela-sela air mataku berjatuhan seiring permainan kasar Marvin menyentuh tubuhku.
Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.Maklum Marvin sedang emosi, tidak heran menyentuh tubuhku dengan kasar sebagai pelampiasannya.Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.“Eh,” Aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu keluar dari intiku.Tanganku terulur mendapati ada sisa cairan disana, mataku membola. “Dia tidak memakai pengaman?”“Brengsek,” umpatnya kasar semakin menar
“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya. Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasa
“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh. Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya. “Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu. Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir. “Sila, mau kemana
Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya. “Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini. Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin. Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta. ‘Ak
“Besok, aku akan menikahi kekasihku.” Jderrrr“Apa!” Tubuhku terlonjak kaget dari sofa, rasanya jantungku terlompat dari posisinya membuat duniaku berhenti saat itu juga.Apakah ini mimpi, tidak pernah terlintas sedikit pun ucapan keramat itu keluar dari mulut laki-laki di hadapanku yang telah menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku cintai hendak menikah lagi. Dan apa katanya tadi, menikahi kekasihnya, akankah selama ini ada wanita lain selain diriku di hatinya.‘Tidak!’ Kepalaku menggeleng, menepis apa yang terjadi di hadapanku adalah mimpi belaka.Pikiranku berkelana, sadar keadaan rumah tangga kita tidak seharmonis seperti keluarga pada umumnya. Dia sibuk bekerja berangkat kerja pagi, pulang malam. Suamiku adalah CEO di perusahaan Gunawan Group tak lain milik keluarga besarnya menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit, bergerak di bidang property dan ritel.Dia selalu bersikap dingin dan kasar, berbicara bila penting saja, tidak pernah memberi perhatian dan sayan
Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu. Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan. Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku. Tok tokBi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.Bi Sumi, asisten rumah yang dipe
Keringat dingin membasahi dahiku, tubuhku gemetar usai berperang batin. Rasa trauma yang mendiami diri puluhan tahun kini aku lawan demi bertemu dengan suamiku yang telah tidak pulang tiga hari tanpa memberikan kabar. Ini ketiga kalinya aku keluar rumah, pergi ke rumah mertua setelah sebelumnya aku menghantarkan orangtuaku ke peristirahatan terakhir dan berkunjung ke rumah mertuaku saat menikah. Aku menghela nafas, lega. “Akhirnya sampai dengan selamat.” Netraku menatap rumah dua lantai berdesign klasik dominan warna putih tak lain adalah rumah mertuaku.“Mbak Sila, baik-baik saja?” Bi Sumi menatapku khawatir dan perhatian. Bukannya pergi dengan suami malah ditemani asisten rumah, tak apa setidaknya aku tidak pergi sendiri.Kepalaku menggeleng. “Ayo, Bi.” Tak sabaran, aku melangkah mendekati gerbang hitam tertutup rapat kemudian tanganku menekan tombol bel di samping pagar hitam besi itu. Bi Sumi mengikuti dari belakang.Seorang laki-laki parubaya berpakaian hitam bertubuh gagah tak