Share

4. Tidak Ingin Kalah

Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Disinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen.

Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya bermain dengan wanita di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.

‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin setelah mempertimbangkan matang-matang, tidak ingin hatiku semakin terluka lebih dalam melihat kemesraan Marvin bersama Stela.

Brakkk

Suara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Laki-laki yang berstatus suamiku mendatangi kamarku.

Mataku menatap penampilan Marvin jauh berbeda dari biasanya, kacau. Rambut acak-acakan, dan kaos lengan pendek lecek.

Untuk apa Marvin kesini? Tidak cukupkah dia menyakiti hatiku, berselingkuh dengan Stela di apartemen. Oh tidak, ada baiknya laki-laki itu kesini karena aku akan mengutarakan keputusan bulat, berpisah dengannya.

“Berani kamu mengusik ketenanganku, Sila!” geramnya dengan penuh penekanan di setiap kata.

Bulu kudukku berdiri, merinding mendengarnya. Bukankah disini aku yang harus marah, telah dikecewakan dan disakitinya, pikirku.

“Ngapain kamu kesini?” Aku berusaha melawan mengabaikan rasa takut melanda diriku. Selama ini aku selalu menurut dan lembut pada Marvin. Ini adalah rumah peninggalan orang tuaku yang telah diwariskan atas namaku jadi aku berkuasa disini.

“Berani kau mengadukan semuanya pada papa.” Matanya menatap tajam padaku seraya berjalan menghampiriku. “Lihatlah karenamu, sekarang papa harus di rawat di rumah sakit!” Kilat mata merah penuh benci tertuju padaku.

Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf padaku, malah dengan lantang menyalahkanku. ‘Kau berduaan dengan wanita lain, papa sakit karena kesalahanmu sendiri.’ Tanganku menulis di kertas yang ku ambil di atas nakas samping ranjangku.

Mata elang itu dengan malas membaca tulisan tidak bermutu namun rapi dan cantikku. Maklum, penulis, biasa menulis sudah sewajarnya bagus dan rapi bukan, itulah anggapan Marvin pada Sila. Ya, laki-laki itu tahu kesibukan Sila selama ini sebagai penulis di rumah.

Kedua tangannya mengepal erat seperti siap meninju, sudah pasti aku sasarannya. “Dasar wanita gila. Kamu berani mengusik keluargaku, habis riwayatmu.”

Aku diam, merasa takut. Walau aku yakin sepenuhnya tidak bersalah, namun ancaman Marvin berhasil melumpuhkan keberanianku.

Tangannya terayun meraih daguku, dicengkramnya dengan kuat, mulutku berbentuk huruf O. “Awshh. sakit.” Sungguh ini yang paling menyakitkan dari semua perlakuan buruk Marvin selama ini padaku. Mataku

“Jangan usik kebahagianku bersama kekasihku.” Air mataku menetes. “Urusi saja kehidupanmu sendiri.” Daguku dilepas kasar, meninggalkan bekas kemerahan disana.

‘Sendiri,’ lirihku dengan getir. Aku sudah tidak kuat bersamanya lagi, yang ada hanyalah tindakan kekerasan yang aku terima.

“Keluar!” teriakku mengusir.

Mendengar suara tinggi, Marvin murka.

Sila berani menatap tajam tak ada ketakutan sama sekali disana. “Pergi!” ucapku lagi.

“Aku berhak disini!” bantah Marvin tepat di depan wajahku.

“Apa kamu lupa siapa diriku? Suamimu!” imbuhnya seperti mengingatkan dan aku tidak lupa itu. Tapi perlu diketahui itu hanya sementara karena apa, akan ada perpisahan diantara kita.

Segera tanganku menulis lagi.di kertas kosong dengan huruf balok. ‘AKU MINTA CERAI’

Marvin melotot kaget tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Matanya memerah dan rahangnya mengeras menyorotkan emosi membara atas ketidaksukaan permintaanku.

Aku yakin atas keputusanku sekarang, berharap semua selesai baik-baik cukup aku yang tersakiti disini dan kemudian hari akan mendapatkan gantinya dengan mendapatkan kebahagiaan yang lain tentunya dengan pasangan yang baru, itulah harapanku.

“Cerai, kamu bilang! Siapa yang berani suruh kamu minta cerai, hah!” Tangan Marvin menjambak rambutku dengan kasar.

“Shhh.” Aku meringis berusaha melepaskan diri namun gagal, tenaga Marvin jauh lebih besar daripada miliknya.

“Cepat katakan, siapa orangnya!” tuntutnya lagi menduga keputusanku ada ikut andil orang lain. Yang Marvin ketahui selama ini adalah aku sangat mencintainya hingga rela mengalah setahun ini.  

Apakah disini penting menanyakan orangnya. Sudah pasti jelas ini keputusanku sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Disini aku yang menjalani, sudah sepatutnya aku juga yang memutuskan termasuk memilih jalan perceraian.

“Bi Sumi?” tebak Marvin, segera kepalaku menggeleng tidak membenarkan itu semua. Bi Sumi tidak ada campur tangan sedikitpun atas semua ini.

Brughhh

Tangannya mendorong kepalaku hingga membuat tubuh ringkihku terhempas di atas ranjang. Tangisku semakin terisak, setiap hari mendapatkan perlakuan kasar, sayangnya semakin kesini semakin tidak manusiawi.

Aku berusaha kuat dan bangun, menulis lagi di kertas, suaraku telah habis teredam suara tangis.

‘Berbahagialah dengan kekasihmu. Lepaskanlah aku.’

Marvin terkekeh setelah membacanya, beralih menatapku tajam seperti siap menerkamku hidup-hidup.

“Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu.” ucap dengan suara rendah.

Mataku membulat, mengapa Marvin menolak, bukankah disini adalah kesempatannya untuk hidup berbahagia dengan wanita lain tanpa ada aku yang menjadi penghalangnya.

“Kenapa?”

Dia menyeringai mengerikan. “Jangan harap kamu bisa lepas dariku, Sila! Setelah kau merusak hubunganku dengan papa dan Stela, rasakan hukumanmu.” Oh tidak, dia ingin membalaskan dendam padaku, aku ketakutan, berharap bisa lepas malah semakin terjebak di lembah kehancuran semakin dalam bersamanya. 

‘Apa yang dia lakukan?’ batinku dengan tangan meremas sprei motif bunga warna cokelat muda.

“Layani aku sekarang!” titahnya seraya melepas kaosnya hingga bertelanjang dada.

Terlihat alarm berbahaya mendekat, aku berusaha pergi menjauh dari sesuatu akan terjadi, sebelum menyesal semakin dalam.

Tanganku di cekal hendak melarikan diri. “Jangan, aku tidak mau,” tolakku tidak mau melayani dengan tubuhku walau sejengkal saja.

Mulai sekarang aku tidak menganggap Marvin sebagai suami dan telah melepasnya kepada wanita lain. Aku sudah tidak sanggup berjuang seorang diri untuk mempertahankan pernikahan ini lagi terlebih bukan atas dasar cinta

Pernnikahanku dengan Marvin di ujung tanduk perceraian terlepas penolakan sebelumnya, aku tak ingin kembali terjerembab dalam lubang kehancuran, melayani hasrat Marvin yang sekarang siap menerkamku di atas ranjang.

Marvin telah milik dan dimiliki Stela, jadi buat apa aku melayaninya. Kasihan tubuhku, memuaskan laki-laki yang sama sekali tidak mencintaiku dengan tulus.

“Jangan menolak jika kamu masih mencintaiku,” mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.

“Brengsek,” umpatku mulai merasakan tenaganya tidak sebanding dengan Marvin.

Sayang seberusaha apapun aku melawan, nyatanya tenaga Marvin yang telah dikuasai amarah itu membuatku kalah telak dan berakhir pasrah di bawah kungkungan Marvin. Hingga pergulatan dan penyatuan tubuh terjadi terjadi di ranjang, aku melayani Marvin disaat hati ini sudah diselimuti rasa benci dan kecewa pada laki-laki itu. Sinar matahari yang terang memenuhi kamar menjadi saksi pergulatan sepihak ini, aku tidak menikmatinya sama sekali.

Suara desahan dan erangan bercampur jeritan memenuhi seisi kamar Berbeda dengan sebelumnya, aku melayaninya dengan ikhlas lahir batin, sadar akan kewajibanku sebagai istri. Sungguh, bukan ini yang aku harapkan di sela-sela air mataku berjatuhan seiring permainan kasar Marvin menyentuh tubuhku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status