Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.
Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa."Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan."Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa dengan kipas tangan yang terbuat dari bambu."Kemarin Mbak ke Bandung! Sepupu ada yang punya hajatan," tutur Mbak Lastri sambil menyerahkan plastik berisi makanan."Ow …." Aku segera menerimanya. Tak lupa aku berterimakasih."Hawa nantik, kamu lewel ya? Kamu nanis y? Jangan nanis cayang! Cini gendong Bude!" Mbak Lastri menirukan suara anak kecil, merayu Hawa biar dia tersenyum.Namun si kecil tak juga tersenyum malah menyembunyikan wajahnya di balik bajuku.Dengan telaten Mbak Lastri merayu Hawa hingga dia tersenyum dan mau di ajak olehnya. Aku menyerahkan Hawa, dari gendongan ku. Segera aku lihat plastik yang tadi di berikan padaku. "Nan, gimana Ibu mertuamu? Sudah berubah?" tanya Mbak Lastri sembari menggendong Hawa."Gak bakal dia berubah, Mbak! Yang buat dia berubah tu cuma satu, Uang …." Dengan lantang aku mengatakan itu pada Mbak Lastri."Iya, dia mah uang mulu yang di pikirin. Eh, Tau gak? Kemarin dia bilang sama Emak-Emak di tukang sayur, kalau kamu itu makannya banyak! Gak mau beberes rumah, sama gak suka bantuin beli belanjaan! Padahal aku lihat sendiri lho, kalau kamu itu sering belanja beras juga sabun." Mbak Lastri geleng-geleng kepala."Astagfirullahaladzim, dia bilang seperti itu, Mbak? Jahat banget!" Aku mengelus dada."Iya, Nan. Mending kamu bilang sama suami kamu!""Iya, Mbak. Nanti aku bicarakan dengan suamiku!" Aku sangking jengkelnya.Mbak Lastri menceritakan semua tentang Ibu mertuaku diluaran sana. Entah itu benar atau tidak aku juga tidak tahu. Terkadang tetangga juga suka mengadu domba agar terjadi permusuhan di antara menantu dan juga mertua. Karena bisa dijadikan bahan gunjingan sesama tetangga. Sudah menjadi hal yang biasa jika itu terjadi. Dari kejauhan aku melihat motor yang tak asing bagiku.Aku segera pulang, setelah melihat Mas Wawan pulang dari kerja. Kalau bukan karena Mas Wawan, mungkin aku sudah angkat kaki dari rumah ini.Dia memang kaku orangnya. Tidak membelaku dan juga membantu memberi nasehat kepada ibu. Awalnya aku gak tahu jalan pikirannya. Aku kecewa, selalu saja marah jika dia gak pernah ngebelain aku di depan ibunya. Tapi ternyata dia lebih dewasa. Dia hanya tidak ingin ada kesalahpahaman antara aku, dia dan juga Ibu. Mungkin karena dia tipe pria yang tidak banyak bicara. Sehingga tak bisa memberi pengertian kepada ku dengan baik-baik. Maksud dia baik, tujuan dia juga benar tapi cara penyampaiannya yang kurang pintar.Aku bisa memahami sedikit demi sedikit sekarang. Tapi tidak dengan tanggapan para tetangga. Mereka hanya berfikir kalau aku lah yang selama ini tidak benar. Dan selalu saja malas-malasan.Aku berjalan tergopoh-gopoh setelah melihat Mas Wawan pulang bekerja."Wan, tu istrimu. Baru pulang main dari tetangga. Dia bakal pulang kalau kamu juga pulang kerja. Kalau kamu gak ada, dia gak pernah ada di rumah!" sungut Ibu mertuaku pada Mas Wawan, yang baru saja pulang kerja, yang belum sempat melepas sepatunya."Bu, aku itu gak main, aku ngajak Hawa ngadem. Dari tadi dia kepanasan, rewel." Aku memberanikan diri menjawab, karena sudah bosan disudutkan terus-menerus tanpa perlawanan.Kalau tidak, dia akan bicara kemana-mana."Tu … dengar kan, sekarang dia mulai berani sama ibu. Itu akibat istrimu main terus ke tetangga. Ya seperti itu!" Ibu mertuaku semakin membuatku emosi. Sambil berkacak pinggang dia menatapku dengan tajam dan penuh ketidaksukaan.Mas Wawan meletakan sepatunya di rak bambu yang dibuat sendiri. Lalu berdiri kemudian menghampiriku.Tangan Mas Wawan meraihku. Dia menggelengkan kepalanya. Mengisyaratkan bahwa aku tidak boleh, meladeni ibunya. "Mas …." Aku berbisik hingga hampir tak terdengar.Mas Wawan hanya tersenyum, dan mengajakku masuk ke dalam kamar."Kok kamu gak jawab sih, Mas? Gak ngomong apa gitu?" tanya ku sembari bibirku monyong dua Senti."Sudahlah, Dek. Gak usah diladeni. Ibu memang begitu, kamu yang sabar menghadapi ibu. Maklum, ibu sudah tua!" Mas Wawan mencoba menenangkanku.Aku tak menjawab namun bibirku sedikit mencebik."Nanda, kalau suaminya pulang itu dibikinin kopi. Bukannya malah marah-marah gak jelas!" teriak Ibu dari ruang tamu."Tu denger, Mas. Ibumu itu memang bawel!" Aku melangkah pergi ke dapur setelah menyerahkan Hawa kepada Mas Wawan.Salah ku apa? Jika dipikir-pikir selama ini aku tidak juga ongkang-ongkang kaki dirumah. Meskipun ada Hawa, aku tetep mencuci baju, piring maupun bersih-bersih yang lain. Masak? Aku juga sering bantu ibu masak. Apalagi urusan mencabut rumput liar, itu sudah agenda mingguan yang wajib dikerjakan. Sabun habis aku juga beli. Mungkin dasarnya mertuanya kali yang gak peka. Kalau aku pernah berbuat salah. Biarkan itu menjadi penyesalanku seumur hidup. Bukan malah ikut memusuhiku.Benar bukan?🍀🍀🍀Hari ini Mas Wawan masih bekerja shift pagi. Berangkat jam tujuh pagi pulang jam tiga sore. Aku sengaja masak tumis kangkung dan menggoreng tempe menggunakan tepung. Tak lupa membersihkan rumah setelah Hawa terlelap. Mas Wawan pun juga sudah berangkat kerja.Bapak mertua, Adi dan juga ibu mertua sudah tidak ada dirumah. Mereka pergi dengan kesibukan masing-masing."Permisi," Teriak seseorang dari luar. Aku yang baru saja menyapu belakang rumah meninggalkan sapu begitu saja dan segera menghampiri sumber suara."Ya, cari siapa ya?" tanyaku penuh hati-hati. "Ibumu ada?" tanya wanita yang tidak aku kenal."Tidak ada, Bu. Maaf, sudah pergi!""Kemana?""Kerja, Bu. Di Rumah depan jalan berwarna hijau, jam segini biasanya masih disana." Aku menunjuk arah dimana ibu mertua bekerja."Baiklah, terima kasih. Aku akan cari kesana!"Wanita itu kemudian pergi meninggalkan aku yang masih penasaran kepadanya. Waktu pun terasa cepat tidak terasa jam menunjukan pukul dua tepat. Entah kemana ibu pergi. Biasanya jam satu dia sudah ada di rumah tapi tidak untuk saat ini. Belum terlihat ada tanda-tanda kedatangannya."Nan, kamu itu jangan suka ngasih tau sama orang dimana kerjaku." Tiba-tiba mertua datang dan langsung berbicara dengan menaikan nada bicara satu oktaf."Maksud ibu apa? Aku gak ngerti?" Aku mencoba mencerna ucapan ibu mertua."Tadi ada yang nyari kan? Kalau gak tau urusannya gak usah ikut campur!" "Aku niatnya baik kok!""Gak usah sok baik!"Kemudian Mas Wawan terlihat pulang. Tak biasanya dia pulang jam segini."Istrimu itu diajari sopan santun, Wan. Biar gak suka ngurusin urusan orang! Memangnya gak pernah dia ajari apa sama orang tuanya?!" Ibu berbicara lantang menghadap Mas Wawan yang baru saja masuk ke dalam rumah kemudian pergi begitu saja meninggalkan kami yang saling melempar pandangan."Mas ….""Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa."Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa."Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu."Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!" "Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!""Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?""Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah
Bab 6TetanggaIbu mertuaku tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak menyangka, aku akan bicara seperti itu."Hayo, sore-sore begini ngomongin apa?" Tiba-tiba Mbak Lastri datang dan ikut berkumpul."Dari Mana Mbak Lastri?" tanya Bu Yuni. Aku yang sudah masuk kedalam rumah hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Bukan bermaksud menguping tapi nada bicara mereka yang lumayan keras. Jadi siapa aja yang berada di jarak cukup jauh pun bisa terdengar olehnya."Dari rumah, Bu Yuni. Dari warung ya? Kok bawa gula segala. Gak mungkin kan ke rumah Bu Darti bawa gula?" Mbak Lastri terkekeh. Dia tetangga yang suka bercanda memang. "Ini lho. Bu Darti sama menantu gak akur!" Bu Yuni berbisik tapi masih jelas terdengar olehku dari kamar.Dasar para tetangga suka ghibah."Halah, sudah pada tau. Kalau Bu Darti ini gak suka sama Nanda! Ya kan, Bu?" Mbak Lastri terlihat menanyakan langsung pada mertuaku. Dia sedikit manyun karena ketidaksukaannya mengenai pertanyaan yang baru saja Mbak Lastri
Bab 7Kedatangan emak"Waalaikumsalam," Aku segera membuka pintu depan yang dari tadi aku tutup rapat. Karena dibelakang aku sedang sibuk mencuci piring.Alangkah terkejutnya aku, melihat sosok Emak berdiri di ambang pintu, tersenyum menatapku. Entah mengapa motor yang mereka kendarai tidak terdengar olehku.Ada rasa bahagia, karena mendapat kejutan dari Emak. Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya."Emak … Kok gak telpon dulu. Kan nanti bisa di jemput sama Mas Wawan." Sambil ku mencium takzim, punggung tangan Emak."Buat kejutan." Emak selalu tersenyum ketika berbicara padaku. "Masuk, Lek!" Aku memanggil Lek Agung yang telah mengantar Emak ke Wonogiri.Dia sedang duduk di kursi teras rumah, sambil menghisap rokok."Iya, Nan, nganter Emakmu itu. Katanya kangen sama cucunya." jawabnya singkat."Iya, terima kasih ya, Lek! Sudah repot-repot mengantar Emak kesini. Hawa lagi tidur." Segera aku menyuruh, Emak untuk beristirahat. Namun Emak menolaknya. Segera ku buatkan Emak d
Bab 8Kemarahan Nanda"Apa kamu gak pernah bantu-bantu mertua kamu ya? Katanya kamu selalu saja tidur, kamu gak pernah bantu dia masak atau juga beberes rumah, bener itu, Nan? Aku kok seringnya melihat kamu bersihkan rumput halaman rumah dan juga ngepel!" tutur Bude Rina sembari membenarkan gendongannya." Ow … ya, Bude? Ibu mertuaku bicara seperti itu? Padahal yang masak tiap hari itu aku, yang beberes itu juga aku. Dia lebih suka mengajak Hawa, jika pekerjaan rumah menumpuk. Nanti kalau Hawa menangis dia juga langsung memberikannya padaku! Bisa-bisanya bicara seperti itu?""Iya lho, dia bilang seperti itu. Kadang dia bilang kamu gak bantu dia berbelanja. Dari sabun sampe makan sehari-hari aja kamu gak bantu! Jahat sekali mertuamu bicara seperti itu!"Aku tak menjawabnya, hanya diam dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bude Rina.Ini tetangga bicara benar, atau hanya ingin mengadu domba aku dengan mertua?Dia pun pergi meninggalkan aku yang masih saja dibuat bertanya-tanya
Bab 9PendidikanUcapan Mas Wawan kala itu, masih terngiang jelas di ingatanku. Seakan aku tak percaya dibuatnya. Aku mencoba membiarkannya berlalu, namun tetap saja aku mengingatnya.Malam ini setelah Hawa terlelap di pangkuanku. Aku tak langsung bisa memejamkan mata.Pikiranku menerawang jauh. Mengingat setiap detik awal aku menginjakan kaki di rumah ini.Saat itu usiaku baru 21 tahun, bapakku sendiri sudah meninggal, sejak aku masih di bangku SMA. Tinggal Emak saja, aku tiga bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Kebetulan sekali aku adalah anak bungsu. Menjadi perempuan satu-satunya adalah beban tersendiri untukku. Aku diharuskan tetap di rumah, mencari pekerjaan di dekat rumah saja.Hati ini menginginkan merantau ke kota, mencari pengalaman dan juga mencari teman. Namun lain di kata, kedua kakak ku tak mengizinkan, apa lagi Emak. Dia takut sendirian tinggal di rumah. Aku menurut saja dengan mereka.Akhirnya aku bekerja di salah satu pabrik tekstil cukup terkenal di kota sebel
Bab 10Kakak iparMas Wawan tak menjawab sepatah katapun, dari semua ucapan temannya itu. Teman Mas Wawan yang mengantar kami ke Klaten bernama Mas Eko.Satu jam lamanya kami berada di mobil, tak ada obrolan tak ada sapaan. Hening.Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Rumah Mas Eko, masih satu RT dengan kami. Jadi dia sudah menjadi tetangga Mas Wawan cukup lama. Jadi mengetahui betul sifat ibu Mas Wawan.Dia tidak bermaksud menggurui, ataupun membela ku. Dia hanya mengatakan pendapatnya saja, setelah mendengar aku dan Mas Wawan berdebat di mobil.Akhirnya sampai di rumah Emak. Rumah joglo peninggalan almarhum bapak, bercat biru muda. Nampak damai terlihat. Sayu-sayu terdengar suara azan Magrib berkumandang.Karena memang letak rumah Emak sedikit jauh dari mushola.Dibukakan pintu rumah setelah mendengar mobil berhenti di halaman rumah.Emak tersentak kaget. Melihat ku menggendong Hawa, turun dari mobil.Disambutnya penuh suka cita, dan sesekali menyeka air matanya yang jatuh di
Bab 11Putus asa"Saya terima nikah dan kawinnya Nanda binti Jono Sutejo, dengan mas kawin tersebut dibayar, Tunai." Mampu aku ikrarkan dengan satu tarikan nafas."Sah," sahut saksi nikah, yang berada di hadapan kami.Tepat tanggal 6 Mei 2020, aku menikahi gadis pujaan ku. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.Gadis yang sudah aku pacari selama kurang lebih setahun itu, mengandung benih yang kutanam. Ada rasa ragu aku menikahi nya. Karena pengakuan pacarnya yang terdahulu, dia juga pernah melakukan hal terlarang itu.Namun berbeda dengan ucapan Nanda. Dia berani bersumpah atas nama Tuhan, di hadapanku. Ada keraguan dalam hati. Hingga setelah menikah, sikapku berubah dengannya.Aku tak lagi perhatian, dan sering kali marah padanya tanpa sebab.Ada rasa sesal, namun aku tak tega meninggalkannya dalam kondisi mengandung.Ibuku, salah satu orang yang kecewa dengan ku. Hingga akhirnya dia melimpahkan semua amarahnya pada Nanda.Mungkin ini tak adil untuknya.Namun aku
Bab 12Tangis EmakKetika Mbak Ari pergi ke warung, Emak yang sedang duduk di dapur, memanggilku."Nan ….""Iya, Mak!" Aku segera menghampiri Emak di dapur."Kamu seharusnya tadi gak bicara seperti itu sama kakak iparmu! Gak sopan!" Emak sembari mengupas mangga."Mak, aku memang hamil di luar nikah. Aku sudah menyesali semuanya. Tapi gak usaha bicara begitu juga!" Bibirku seketika manyun bak anak kecil merengek, meminta uang jajan."Menyesal? Kalau menyesal bicaramu tidak seperti itu!" Emak masih sibuk dengan kegiatannya."Lantas? Bicara yang bagaimana, Mak?" Aku sedikit menaikan nada bicaraku satu oktaf.Emak memandangku sejenak, lalu kembali mengupas mangga yang ada di tangannya."Nikah itu, bukan cuma kamu sama Wawan sudah sah. Selesai urusannya. Yang penting itu setelah nikah, kamu bisa beriringan dengan Wawan. Siapa Wawan? Wawan ya … orangtuanya … ya saudaranya. Begitu juga kamu … kamu tiga bersaudara, semuanya sudah berkeluarga, gak cuma Mas mu yang kamu hormati, istrinya juga