Share

Bab 5

"Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa.

"Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa.

"Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu.

"Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!"

"Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!"

"Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?"

"Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah gitu aja!" Lelaki yang bergelar suami itu menggendong Hawa dan sesekali mencium pipi Hawa yang gempal.

Aku diam, sedikit ada rasa tenang di hati. Mas Wawan terkadang juga tersulut emosi. Namun mungkin kali ini dia menyadari betul posisi ku. Sehingga dia cukup sabar menghadapiku kali ini.

Aku segera menyerahkan Hawa pada Mas Wawan. Agar aku bisa mengambilkan minum untuk Mas Wawan dan juga menyiapkan air hangat, untuk mandi si Hawa.

Entah pergi kemana wanita itu? Batang hidungnya langsung tak terlihat kembali. Padahal belum lama ia datang sudah menghilang lagi.

Entah siapa yang tadi datang kerumah? Membuat ibu mertua seakan gelisah hingga tak betah dirumah.

Tiba-tiba bapak sudah kembali dari bekerja. Dia duduk di kursi sembari menghisap rokok yang tinggal setengah.

"Pak, ini minumnya!" Kusodorkan teh panas di hadapannya.

"Terima kasih. Ibumu mana?"

"Gak ada, Pak. Dia keluar! Pak, tadi siang ada yang mencari Ibu seorang wanita. Tapi Nanda gak kenal. Setelah Nanda bilang sama Ibu. Sepertinya dia gak suka. Siapa dia, Pak?"

"Bapak juga gak tau!" Bapak mertua terdengar membuang nafas dengan berat.

Tatapannya jauh ke depan. Entah apa lelaki itu pikirkan. Dia tak ingin berbagi rasa dengan ku. Mungkin sungkan atau memang aku masih orang luar yang tak berhak tau.

Mas Wawan juga tak memberitahuku apa-apa tentang wanita itu. Mungkin dia juga tidak tahu seperti diriku.

🌸🌸🌸

Hari ini Mas Wawan berangkat jam tiga sore, dia akan pulang jam sepuluh malam. Mas Wawan kerja menjadi satpam di salah satu kantor pemerintahan.

Gajinya gak terlalu besar. Namun cukup untuk membeli susu formula untuk Hawa. Hawa bayi mungil, yang sangat suka dengan susu. Mungkin karena asupan yang baru di berikan padanya, hanyalah susu. Jadi jika setiap aku telat memberi susu, dia akan rewel dan terus menangis. Seperti kebanyakan bayi perempuan, Hawa sedikit manja.

Namun kebutuhan bayi tidak hanya susu, melainkan sabun mandi dan juga bedak maupun minyak telon. Meskipun tidak sesering membeli susu.

Kadang juga dia aku pakaikan Pampers, jadi semakin banyak pengeluaran yang harus disiapkan setiap bulannya.

Belum lagi kebutuhanku yang lainnya.

Jadi wajar jika gaji Mas Wawan yang tidak seberapa belum cukup jika harus memberikan sebagian pada ibu. Karena harus membayar kredit motor juga yang belum lunas.

Pernikahan diusia kami yang masih muda tidak cukup mempersiapkan matang-matang masa depan. Hingga akhirnya masih banyak kekurangan.

Akibat pergaulan bebas dan juga keinginan nafsu setan membuat semuanya terjadi begitu saja. Kurang pemahaman dan juga kurangnya iman.

Menjadi pelajaran agar kelak aku dan Mas Wawan bisa mendidik Hawa lebih baik lagi.

****

Ibu mertua terlihat berbincang dengan tetangga di halaman rumah. Sesekali ibu melanjutkan menyapunya, tapi lebih sering dia berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan, sehingga terlihat serius dan juga menguras emosi.

Dari kejauhan aku pun kepo dengan apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya

Aku sengaja bertanya pada Ibu Yuni. Dia salah satu tetangga yang rumahnya tidak terlalu jauh. Mungkin hanya selang lima rumah saja. Dia tinggal di rumah seorang diri, suaminya sudah lama meninggal dunia. Anak-anaknya semua merantau.

"Ada apa, Bu Yuni. Kok tumben main ke sini?" Aku mengagetkan mereka. Bu Yuni lantas menengok ke arahku.

"Iya, Nan. Mampir, tadi abis beli gula di warung. Lagi ngapain?" Bu Yuni bertanya balik padaku.

"Ini lagi mau nyetrika, suami mau berangkat kerja. Malah mati listriknya, gak kuat! Tadi …." Sembari aku menyalakan meteran tiba-tiba ibu mertua sudah memotong pembicaraanku.

"Lagian dari tadi ngapain? Jam segini baru nyetrika? Main ke tetangga? Gak inget kerjaan rumah?!" sahut Ibu yang terlihat tidak suka.

"Iya, Nan. Kalau nyetrika pagi aja. Jangan jam segini. Takutnya gak kuat!" Bu Yuni mulai terpengaruh.

"Bu, kalau Hawa ada yang jaga. Aku dah nyetrika dari tadi! Tangan Nanda cuma dua, gak mungkin mau ngerjain dua pekerjaan sekaligus. Lagian ibu dari tadi pagi kemana? Katanya ke tempat e Bu Yuni, kerokan, kok gak ada di rumah seharian? Emang bahu milik Bu Yuni, lebarnya kayak lapangan bola? Maka nya lama!"

"Tu denger, Bu. Dia itu menjawab kalau dikasih tahu! Jadi mertua apa gak naik darah? Kalau setiap ngasih nasehat dia ngelawan begitu?" ucap mertuaku sambil melanjutkan kegiatannya menyapu.

Aku hanya tersenyum, mendengar perkataan mertuaku. Dan mempersiapkan kalimat yang akan aku ucapkan agar mereka bungkam setelah mendengarnya.

"Kenapa Ibu gak mau jaga Hawa tadi pagi? Kalau Ibu jaga Hawa, aku kan bisa nyetrika sejak tadi pagi!" Skakmat, ini baru permulaan ya. Tunggu aja, besok kamu akan mati kutu dibuatnya.

"Ibu itu sibuk. Kerja, masak dan segala macem. Jadi gak sempet ngurusin hal yang gak penting!" jawab Ibu gelagapan.

"Maksud Ibu Hawa gak penting. Hawa kan cucu ibu sendiri, ya kan Bu Yuni? Ibu Yuni juga punya cucu kan? Sayang kan sama cucu?" Pandanganku beralih kepada Bu Yuni yang masih membawa gula di dalam plastik.

"Ya iyalah. Sayang dong sama cucu. Cucuku itu kalau gak saya gendong dia nangis. Bu Darti ini sayang kan sama cucu? Baru satu lho cucunya, masak gak pernah gendong?"

"Digendong, Bu. Tapi pas lagi banyak orang! Kalau gak ada orang ya bodo amat mau nangis kek mau apa kek!" beberku yang mulai jengah dengan sikap mertua.

"Kok gitu sih, Bu Darti! Seriusan yang dibilang menentu mu itu! Ih, keterlaluan kamu, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status