Bab 6
TetanggaIbu mertuaku tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak menyangka, aku akan bicara seperti itu."Hayo, sore-sore begini ngomongin apa?" Tiba-tiba Mbak Lastri datang dan ikut berkumpul."Dari Mana Mbak Lastri?" tanya Bu Yuni. Aku yang sudah masuk kedalam rumah hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Bukan bermaksud menguping tapi nada bicara mereka yang lumayan keras. Jadi siapa aja yang berada di jarak cukup jauh pun bisa terdengar olehnya."Dari rumah, Bu Yuni. Dari warung ya? Kok bawa gula segala. Gak mungkin kan ke rumah Bu Darti bawa gula?" Mbak Lastri terkekeh. Dia tetangga yang suka bercanda memang. "Ini lho. Bu Darti sama menantu gak akur!" Bu Yuni berbisik tapi masih jelas terdengar olehku dari kamar.Dasar para tetangga suka ghibah."Halah, sudah pada tau. Kalau Bu Darti ini gak suka sama Nanda! Ya kan, Bu?" Mbak Lastri terlihat menanyakan langsung pada mertuaku. Dia sedikit manyun karena ketidaksukaannya mengenai pertanyaan yang baru saja Mbak Lastri lontarkan padanya."Menantu itu harusnya bisa ngemong mertua. Bisa ngambil hati mertua, ya beberes rumah lah. Ya ngasih uang lah! Masak dateng-dateng malah habisin makanan!" "Eh, Bu Darti. Menantu itu ketemu sudah besar. Dia diajari orangtuanya beda sama situ. Mana ada orang tua nodong anak. Yang ada kesadaran anak pribadi. Kalau toh belum bisa ngasih duit berarti belum cukup! Gak semua anak mau menceritakan kekurangannya apa lagi kesulitannya. Takut orang tuanya kepikiran.""Halah," jawab ibu mertua ku yang tak suka dengan pemikiran Mbak Lastri. "Situ gak ada anak perempuan sih? Jadi kalau gak baik sama menantu, besok kalau tua gak ada yang ngerawat." Doa Mbak Lastri yang cukup membangokan."Bener itu, Mbak Lastri." timpal Bu Yuni yang sedari tadi memperhatikan."Kalian itu ngomong apa? Sudah bubar, aku mau nyuci piring! Gak malah bicara ngelantur gak jelas!" Ibu mertua mengalihkan pembicaraan. Dia berjalan pulang kerumah dan segera masuk ke dalam. Sedangkan Mbak Lastri juga ikut membubarkan diri sambil menggelengkan kepala melihat ibu mertuaku. Bu Yuni pun akhirnya pamit. Dia merasa bahwa apa yang di bicarakan tentangku dari ibu mertua itu tidaklah benar. Terlihat jelas dari raut wajahnya.Orang tua macam apa? Jika keburukan anaknya dia bongkar kepada para tetangga. Kadang ditambah bumbu agar semakin panas terdengar. Padahal jika dia baik pasti anak-anaknya juga akan perhatian kepadanya. ********Jadwal kerja Mas Wawan berganti-ganti, dua hari masuk pagi dua hari masuk sore dan dua hari masuk malam. Tempo hari jadwal masuk pagi dan kemarin sudah dua hari masuk sore. Dan hari ini sesuai jadwal suamiku masuk malam.Mas Wawan sedang duduk di kursi depan rumah. Jika dia kerja masuk malam, berangkat jam sepuluh malam dan pulang jam delapan. Kebetulan hari ini Ibu sedang tidak berada dirumah, dia berada dirumah tetangga, bantu memasak di acara hajatan disana.Aku segera meminta izin pada suamiku. Aku akan kembali bekerja. "Mas, aku gak bisa kalau seperti ini terus! Ibu mu selalu saja bicara yang tidak-tidak tentangku. Aku sudah gak tahan lagi, Mas! Aku ingin kerja lagi, seperti dulu!"" Kamu ni gimana sih? Kalau kamu kerja, Hawa sama siapa? Dia masih kecil lho. Kalau kamu pengen kerja, tunggu nanti kalau dia sudah besar. Jangan nambah masalah deh!" Mas Wawan membuang rokok yang dihisapnya dengan kasar. "Nambah masalah gimana, Mas? Aku itu pengen kerja, nyari duit, biar bisa cepet bangun rumah! Gak numpang terus sama orang tuamu!" Aku bicara dengan nada sedikit tinggi, sambil menggendong Hawa yang sedang tertidur pulas."Lha terus Hawa sama siapa? Ibu? Nanti kalau kita gak bisa ngasih uang lebih, malah dia tambah ngomongin kita di belakang. Kan kamu tahu sendiri, ibuku seperti apa?" Sepertinya hari ini Mas Wawan terlihat capek. Karena nada bicaranya sedikit tinggi. Tidak seperti hari kemarin. Entah apa karena aku selalu saja mengeluh atau lelah karena setiap hari ada saja masalah."Aku tahu, Mas. Dia seperti apa? Makanya kamu itu nasehati dia. Biar ibumu bisa berubah. Kita gak tahu lho kedepannya seperti apa? Bisa jadi dia sakit, gak bisa ngapa-ngapain, anak menantu yang pastinya merawat dia! Aku bukannya nyumpahin lho, Mas! Dia cuma punya dua anak laki-laki, lho. Gak ada anak perempuan!""Terserah kamu, yang pasti kamu gak boleh kerja sebelum Hawa besar!Ngerti? Biar aku yang berusaha nyari uang, buat bangun rumah! Masalah ibu, gak usah diambil hati!" Mas Wawan beranjak dari duduknya, dan masuk ke dalam rumah.Aku masih berdiri di teras rumah. Sesekali mengusap air mata yang jatuh ke pipi.Entah mengapa, selalu saja begitu. Mas Wawan tak pernah mengizinkan aku untuk bekerja. Uang untuk membeli susu saja, seringkali kurang. Belum lagi Ibu mertuaku selalu manyun, ketika mendekati tanggal gajian. Padahal aku yang istrinya saja jarang diberi uang lebih untuk membeli baju.Seperti itulah yang membuat aku selalu saja ingin menyerah. Aku dan suamiku memang tak banyak memperlihatkan kesulitan kami. Kekurangan uang untuk membeli susu pun kami hanya diam. Padahal adik ipar ku bekerja, ibu mertua ku juga bekerja menjadi tukang masak di warung makan dekat rumah, sedangkan bapak mertua bekerja sebagai kuli bangunan. Namun mereka tak pernah membelikan anakku susu satu kardus pun. Padahal kita masih satu atap. Seperti itukah perlakuan mertua, jika mempunyai menantu yang hamil duluan? Malu, tidak suka dan juga tidak pernah bisa menerima?Aku segera masuk ke dalam rumah, setelah mendengar Hawa menangis. Aku kembali menidurkan Hawa dan segera pergi ke dapur. Pekerjaan yang sudah menantiku sejak tadi, meskipun mencuci piring adalah pekerjaan sepele. Tapi tetap harus aku kerjakan selagi sempat.Tadi pagi ibu sudah masak ikan digoreng lalu membuat sayur bayam tak lupa sambal tomatnya. Jadi siang ini aku sengaja membeli pisang untuk digoreng nanti sore.Niat hati menelpon emak yang ada di Klaten. Namun ketiga panggilanku tak dijawabnya. Mungkin sibuk dengan kegiatannya di sawah. Apalagi ini musim tanam. Tak akan ada waktu untuk sekedar rebahan di rumah itu biasanya yang terjadi.Sedangkan Mas Wanto dan juga Mas Juwari sedang bekerja di kita. Jadi mereka tidak sempat menelpon. Dan sekarang emak diklaten hanya tinggal seorang diri. Jadi itu juga salah satu yang membuat aku tidak betah di wonogiri. Kepikiran emak yang ada di Klaten.Lamunanku buyar ketika mendengar seseorang mengucap salam dari luar. Segera aku menjawab dan menghampiri sumber suara."Assalamualaikum,"Bab 7Kedatangan emak"Waalaikumsalam," Aku segera membuka pintu depan yang dari tadi aku tutup rapat. Karena dibelakang aku sedang sibuk mencuci piring.Alangkah terkejutnya aku, melihat sosok Emak berdiri di ambang pintu, tersenyum menatapku. Entah mengapa motor yang mereka kendarai tidak terdengar olehku.Ada rasa bahagia, karena mendapat kejutan dari Emak. Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya."Emak … Kok gak telpon dulu. Kan nanti bisa di jemput sama Mas Wawan." Sambil ku mencium takzim, punggung tangan Emak."Buat kejutan." Emak selalu tersenyum ketika berbicara padaku. "Masuk, Lek!" Aku memanggil Lek Agung yang telah mengantar Emak ke Wonogiri.Dia sedang duduk di kursi teras rumah, sambil menghisap rokok."Iya, Nan, nganter Emakmu itu. Katanya kangen sama cucunya." jawabnya singkat."Iya, terima kasih ya, Lek! Sudah repot-repot mengantar Emak kesini. Hawa lagi tidur." Segera aku menyuruh, Emak untuk beristirahat. Namun Emak menolaknya. Segera ku buatkan Emak d
Bab 8Kemarahan Nanda"Apa kamu gak pernah bantu-bantu mertua kamu ya? Katanya kamu selalu saja tidur, kamu gak pernah bantu dia masak atau juga beberes rumah, bener itu, Nan? Aku kok seringnya melihat kamu bersihkan rumput halaman rumah dan juga ngepel!" tutur Bude Rina sembari membenarkan gendongannya." Ow … ya, Bude? Ibu mertuaku bicara seperti itu? Padahal yang masak tiap hari itu aku, yang beberes itu juga aku. Dia lebih suka mengajak Hawa, jika pekerjaan rumah menumpuk. Nanti kalau Hawa menangis dia juga langsung memberikannya padaku! Bisa-bisanya bicara seperti itu?""Iya lho, dia bilang seperti itu. Kadang dia bilang kamu gak bantu dia berbelanja. Dari sabun sampe makan sehari-hari aja kamu gak bantu! Jahat sekali mertuamu bicara seperti itu!"Aku tak menjawabnya, hanya diam dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bude Rina.Ini tetangga bicara benar, atau hanya ingin mengadu domba aku dengan mertua?Dia pun pergi meninggalkan aku yang masih saja dibuat bertanya-tanya
Bab 9PendidikanUcapan Mas Wawan kala itu, masih terngiang jelas di ingatanku. Seakan aku tak percaya dibuatnya. Aku mencoba membiarkannya berlalu, namun tetap saja aku mengingatnya.Malam ini setelah Hawa terlelap di pangkuanku. Aku tak langsung bisa memejamkan mata.Pikiranku menerawang jauh. Mengingat setiap detik awal aku menginjakan kaki di rumah ini.Saat itu usiaku baru 21 tahun, bapakku sendiri sudah meninggal, sejak aku masih di bangku SMA. Tinggal Emak saja, aku tiga bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Kebetulan sekali aku adalah anak bungsu. Menjadi perempuan satu-satunya adalah beban tersendiri untukku. Aku diharuskan tetap di rumah, mencari pekerjaan di dekat rumah saja.Hati ini menginginkan merantau ke kota, mencari pengalaman dan juga mencari teman. Namun lain di kata, kedua kakak ku tak mengizinkan, apa lagi Emak. Dia takut sendirian tinggal di rumah. Aku menurut saja dengan mereka.Akhirnya aku bekerja di salah satu pabrik tekstil cukup terkenal di kota sebel
Bab 10Kakak iparMas Wawan tak menjawab sepatah katapun, dari semua ucapan temannya itu. Teman Mas Wawan yang mengantar kami ke Klaten bernama Mas Eko.Satu jam lamanya kami berada di mobil, tak ada obrolan tak ada sapaan. Hening.Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Rumah Mas Eko, masih satu RT dengan kami. Jadi dia sudah menjadi tetangga Mas Wawan cukup lama. Jadi mengetahui betul sifat ibu Mas Wawan.Dia tidak bermaksud menggurui, ataupun membela ku. Dia hanya mengatakan pendapatnya saja, setelah mendengar aku dan Mas Wawan berdebat di mobil.Akhirnya sampai di rumah Emak. Rumah joglo peninggalan almarhum bapak, bercat biru muda. Nampak damai terlihat. Sayu-sayu terdengar suara azan Magrib berkumandang.Karena memang letak rumah Emak sedikit jauh dari mushola.Dibukakan pintu rumah setelah mendengar mobil berhenti di halaman rumah.Emak tersentak kaget. Melihat ku menggendong Hawa, turun dari mobil.Disambutnya penuh suka cita, dan sesekali menyeka air matanya yang jatuh di
Bab 11Putus asa"Saya terima nikah dan kawinnya Nanda binti Jono Sutejo, dengan mas kawin tersebut dibayar, Tunai." Mampu aku ikrarkan dengan satu tarikan nafas."Sah," sahut saksi nikah, yang berada di hadapan kami.Tepat tanggal 6 Mei 2020, aku menikahi gadis pujaan ku. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.Gadis yang sudah aku pacari selama kurang lebih setahun itu, mengandung benih yang kutanam. Ada rasa ragu aku menikahi nya. Karena pengakuan pacarnya yang terdahulu, dia juga pernah melakukan hal terlarang itu.Namun berbeda dengan ucapan Nanda. Dia berani bersumpah atas nama Tuhan, di hadapanku. Ada keraguan dalam hati. Hingga setelah menikah, sikapku berubah dengannya.Aku tak lagi perhatian, dan sering kali marah padanya tanpa sebab.Ada rasa sesal, namun aku tak tega meninggalkannya dalam kondisi mengandung.Ibuku, salah satu orang yang kecewa dengan ku. Hingga akhirnya dia melimpahkan semua amarahnya pada Nanda.Mungkin ini tak adil untuknya.Namun aku
Bab 12Tangis EmakKetika Mbak Ari pergi ke warung, Emak yang sedang duduk di dapur, memanggilku."Nan ….""Iya, Mak!" Aku segera menghampiri Emak di dapur."Kamu seharusnya tadi gak bicara seperti itu sama kakak iparmu! Gak sopan!" Emak sembari mengupas mangga."Mak, aku memang hamil di luar nikah. Aku sudah menyesali semuanya. Tapi gak usaha bicara begitu juga!" Bibirku seketika manyun bak anak kecil merengek, meminta uang jajan."Menyesal? Kalau menyesal bicaramu tidak seperti itu!" Emak masih sibuk dengan kegiatannya."Lantas? Bicara yang bagaimana, Mak?" Aku sedikit menaikan nada bicaraku satu oktaf.Emak memandangku sejenak, lalu kembali mengupas mangga yang ada di tangannya."Nikah itu, bukan cuma kamu sama Wawan sudah sah. Selesai urusannya. Yang penting itu setelah nikah, kamu bisa beriringan dengan Wawan. Siapa Wawan? Wawan ya … orangtuanya … ya saudaranya. Begitu juga kamu … kamu tiga bersaudara, semuanya sudah berkeluarga, gak cuma Mas mu yang kamu hormati, istrinya juga
Bab 13Ancaman wawanMas Wawan menelpon dari Semarang.Aku sampaikan salam padanya, tak ia jawab. Tetapi malah dia berkata sedikit kasar kepadaku."Kamu itu dari mana saja? Kenapa pesan dariku tidak dibalas?" Mas Wawan bicara dengan nada tinggi."Biasa, Mas. Beberes rumah, memang kenapa? Aku juga gak kemana-mana seharian ini!""Segera kamu baca kalau aku mengirim pesan padamu!""Iya, Mas. Nanti aku baca!"Mas Wawan segera menutup telepon, tanpa mendengar terlebih dahulu, aku yang masih berbicara.Mas Wawan sebenarnya dia orangnya baik dan juga tanggung jawab. Terbukti dia langsung menikahi ku, ketika tahu aku hamil, meskipun sedikit ada paksaan juga dariku.Namun terkadang emosinya meluap-luap tanpa sebab. Hanya masalah sepele bisa menjadi masalah yang besar.Dan menurutku masalah yang besar, dianggapnya sepele.Seperti halnya kemarin-kemarin, waktu aku berdebat dengan ibunya. Dia tak membela ku, dan dia bilang itu bukan apa-apa menurut dia. Jadi dia tak perlu ikut campur.***"Nanda,
BAB 14Kedatangan AdiSudah satu Minggu aku berada di rumah Emak. Setelah kejadian drama tempo hari, Mas Wawan sudah mulai mencair hatinya. Dia sudah seperti biasa, aku sebagai istrinya, sampai sekarang masih saja belum mengerti jalan pikirannya.Seringkali Mas Wawan marah tanpa sebab, apa karena kurang jatah? Hingga membuatnya hareudang …hareudang … panas … panas.OPS … malah nyanyi.Sehabis mandi. Hawa akan tertidur sesuai jadwalnya. Aku segera menyapu kemudian dilanjutkan mengepel.Setelah selesai, aku kembalikan alat pel dan juga ember ke tempatnya.Aku berniat mengambil handuk di jemuran, samping rumah. Terkejut melihat kedatangan Adi mengendarai motornya memasuki pekarangan rumah. Adi adalah adik kandung Mas Wawan. Aku berdiri mematung sambil melilitkan handuk di leher."Ngapain kamu kesini, Di?" "Baru juga nyampe, Mbak. Udah ditanya, suruh masuk dulu Napa?" Adi melepaskan jaket dan juga helm nya. Dan meletakkannya di atas motor."Iya, ayo masuk!"Adi langsung masuk ke dalam