Pov Diva “Ah iya, aku lupa.” Kuhendak menutup kembali tutup stereoform ini. Namun, satu tangan Mas Iqbal menahannya.“Kok malah ditutup lagi, Va?” Aku melongo, bukannya dia sendiri yang bilang susah lagi nyetir, ya? “Kan lagi nyetir, Mas?” “Hmmm, tangan Mas memang sibuk, tapi tangan kamu ‘kan bebas.” Eh, maksudnya apa ini? Apakah ini kode kalau Mas Iqbal minta disuapin? Duh, tiba-tiba aku jadi malu sendiri kalau kayak gini. “Jadi?” Aku menatap wajah tampan yang tampak dewasa dan tenang itu. “Suapin,” kekehnya seraya mengulum senyuman. Tuh kan, ternyata sudah mulai modus. Namun, akhirnya aku menurut juga. Kuambil satu biji kue tersebut lantas mulai menyodorkan ke bibirnya. Rasanya badan panas dingin dan waktu berhenti berputar ketika bibir lembutnya menyentuh jemariku. “Enak,” tukasnya ketika dia sudah berhasil menyelesaikan kunyahannya. “Ibu yang bikin,” tukasku memberikan informasi yang sebetulnya orang lain pun sudah tahu, termasuk Mas Iqbal, kurasa.Dia manggut-manggut, t
“Maafin karena dulu, aku sudah ambil Mas Imam dari kamu. Sekarang aku merasakan sakit yang mungkin dulu kamu rasakan, Mbak. Mas Imam berbuat tak senonoh dengan perempuan lain, Mbak. Dia meniduri perempuan lain, Mbak.” Aku mendengar jelas rasa pedih yang terucap dari setiap kalimat yang Putri ucapkan. Aku termangu, benarkah apa yang aku dengar? Putri meminta maaf? Namun, belum habis pikiranku saling bertali dengan pertanyaan. Putri sudah memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Isaknya terdengar pilu seolah memang dia benar-benar tersakiti. Aku membiarkannya menumpahkan air mata. Ya, aku tahu rasanya sesakit apa. Mungkin yang Putri rasakan belum seberapa, karena dia diselingkuhi dengan perempuan lain yang mungkin dia sendiri gak kenal. Berbeda denganku dulu, yang bahkan sakitnya belum menghilang sampai sekarang.Ternyata memang benar, semua tak luput dari perhitungan-Nya. Ketika kita pasrah, rupanya bukan berarti sebuah perbuatan akan terbebas tanpa balasan. Aku bukan menyumpahi Putri,
Pov Diva Aku bergegas mendorong daun pintu dan hendak mengeluarkan sepeda motorku, tetapi alangkah kagetnya ketika di luar sana ternyata seseorang sudah duduk manis di atas sepeda motornya dengan rambut diikat ke belakang. Dia tengah bersedekap dan diam menatap ke arahku yang baru muncul dari pintu. “Kenzo?” Aku menautkan alis dan menatapnya dengan sinis. Huh, padahal tadi malem gak mimpi apa-apa? Kenapa kekacauan mendatangiku bahkan sejak pagi buta? Bertemu Kenzo, sama saja dengan bertemu dengan masalah. Semoga saja, kali ini pradugaku salah. “Bang Iqbal nyuruh gue jemput ke sini! Dia bilang, khawatir kalau lo bawa motor sendiri, habis perjalanan jauh, capek.” Aku belum melontarkan pertanyaan ketika Kenzo sudah menjelaskan dengan sendirinya. “Saya mau nganter ini dulu ke Bu Faridah, Pak. Jadi, Pak Kenzo silakan duluan saja!” tukasku seraya menunjukkan plastik berisi kue yang kutenteng.“Ck! Lo nolak gue? Kalau di luar tempat kerja, gak usah sok formal dan panggil gue Bapak. Gue
Pangeran, sosok dunia maya yang sepertinya tak akan pernah menjadi nyata. Berulang kali aku mencoba mengirimi dia pesan, tetapi tak lagi ada balasan. Apakah memang dia sudah tak pernah menggunakan akunnya lagi? “Kamu itu siapa sebetulnya, Pangeran?” batinku ketika menatap layar chat yang sudah tujuh kali kukirimi pesan, tetapi tak ada balasan. Meskipun pernah memutuskan untuk tak mencari tahu dan mengabaikan, tetapi entah kenapa naluri begitu penasaran. Hanya saja, kalau masalah masa depan, aku juga tak mau ambil risiko. Tak akan aku mengorbankan yang nyata demi yang semu seperti dia. Setelah itu, kembali bekerja dan menunggu jam pulang. Sudah beberapa hari juga, Bos Kenzo yang menyebalkan itu tak datang. Katanya sedang visit ke kantor cabang lainnya. Hidupku sedikit tenang, hanya saja gimana, ya, nanti kalau kita sudah jadi keluarga. Dia akan jadi adik iparku, apakah sikapnya masih akan bossy dan judes seperti sekarang? Hari pernikahanku dengan Mas Iqbal hanya tinggal sekitar dua
“Va, bangun!” tepukan lembut pada pipi membuatku mengerjap. Tangan dingin Ibu membuatku yang tertidur lambat akhirnya bangun juga.“Sudah jam berapa, Bu?” Aku beringsut duduk dan bersandar pada tepian dipan.“Jam empat. Lekas mandi, wudhu terus solat ! Ibu sudah siapin air hangat buat kamu mandi.” Aku mengangguk, lantas membiarkan Ibu keluar dari kamar dan kembali ke kamarnya. Beberapa tetangga sudah bangun dan mulai merebus air di samping rumah. Nyala kayu bakar tampak terlihat dari pintu samping yang memang terbuka. Ada juga yang mulai menghangatkan kue-kue yang semalam sudah berhasil dibikin. Aku mengguyur tubuhku dengan air hangat yang Ibu siapkan. Terasa segar dan mengusir rasa pegal dan tak nyaman yang sejak semalam datang. Tak berlama-lama, lekas mengambil wudhu menunggu shubuh datang. Tak lupa bersiap menggunakan manset warna putih seperti instruksi MUA kemarin. Aku menuju kamar Ibu sambil menunggu tim perias datang. Ibu tampak tengah memakaikan kemeja lengan panjang pada
Aku melirik pada Mas Iqbal, tetapi raut wajahnya tampak biasa saja. Hal itu yang membuat aku semakin yakin jika di antara mereka memang sudah tak ada apa-apa lagi. “Permisi!” Perempuan itu menghampiri kami. Pakaian yang memang terbilang berani, jujur membuat pandangan beberapa pasang mata lelaki tertuju ke arahnya. Termasuk Mas Imam yang duduk tak jauh dari kami dan tengah menikmati hidangan bersama Putri. Sepertinya pagi tadi, kudengar mereka ada baikan dengan syarat-syarat. “Iya, Mbak. Ada apa, ya?” Aku menatapnya. Tersenyum dengan anggun dan tetap bersikap tenang. Bahkan aku pura-pura saja tak kenal, walau aku sangat hapal jika perempuan itu adalah yang ada di dalam foto bersama Mas Iqbal. Perempuan itu juga yang bertemu denganku dan Kenzo di tempat kerjaku kemarin itu. “Saya mau ketemu dengan Mas Iqbal, bukan dengan kamu.” Dia melirik sinis ke arahku. “Mas Iqbal itu sekarang suamiku, Mbak. Jadi bertemu dengannya atau denganku, sama saja.” Ah, hebat sekali bibir ini. Sepandai i
Hari yang panjang ini akhirnya selesai. Aku sedikit bernapas lega ketika acara resepsi ini selesai, perempuan tadi tak muncul lagi. Bahkan sampai semua tamu berangsur sepi dan bubar, semua baik-baik saja. Malam ini, Mas Iqbal memintaku menginap di sini. Aku tak menolak, karena aku yakin di rumah akan ada Mas Imam dan Putri yang menginap. Malas aku bertemu dengan mereka. Lagi pula kamar pengantin yang sudah dihias ya di rumah ini. Ibu dan Bapak pulang bersama Mas Imam dan Putri. Sementara itu, Mas Iqbal membimbingku masuk ke sebuah kamar yang berada paling belakang. Dia menggamit jemariku dan menutup pintu lantas membimbingku untuk duduk di tepi tempat tidur berhias taburan bunga mawar yang mendominasi ruangan. Kami akan melakukan sesi foto-foto dulu. Tak berapa lama pintu pun diketuk, sang fotografer pun muncul. “Maaf ganggu bentar, ya, Mas, Mbak!” tukasnya. Wajah lelaki itu tetap ramah walau seharian sudah bekerja keras secara total. “Iya gak apa, Mas." Mas Iqbal tersenyum dan ta
Kuambil kertas putih bertuliskan tangan yang Mas Iqbal tinggalkan. Segera kubaca dengan hati menerka-nerka. Kenapa harus pakai surat-suratan segala? Adakah hal yang begitu rahasia yang dan penting sampai-sampai dia harus menulis surat ini dan tak membangunkanku? Perlahan kubaca.[Maaf gak bangunin kamu, Va. Mas anter Kenzo dulu ke bandara. Awalnya mau dianter Papa, tapi dia sakit perut. Mas segera pulang kok.] Kenzo ke bandara? Oh berarti memang koper-koper yang semalam itu memang miliknya? Mau ke mana dia sampai-sampai sepagi ini harus sudah pergi. Ya sudahlah, mau dikata apa lagi? Mas Iqbalnya juga sudah pergi. Aku bergegas turun dan merapikan tempat tidur. Senyum terkulum ketika melihat bantal di mana kami tadi malam berada dalam jarak yang begitu dekat. Aku menggelengkan kepala dan lantas menuju ke kamar mandi yang ada di dapur untuk membersihkan diri. Masih sepi, sepertinya Bu Faridah memang belum bangun juga. Usai mandi, lekas menunaikan shalat shubuh. Hari pertama di rumah