Share

Bab 4

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2022-12-26 13:53:27

“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. 

“Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam. 

Putri tampak kaget. Mungkin seumur hidup seatap denganku, baru kali ini aku bicara agak keras padanya. 

“Mbak, kenapa Mbak teriak-teriak? Mbak lupa kalau di rumah ini ada Bapak yang lagi sakit? Mbak gak mikirin perasaan Bapak, ya? Dia sedang stroke, Mbak. Jangan sampai kondisinya makin drop kalau dengar kita ribut-ribut kayak gini?” 

Aku menelan saliva. Ingin rasanya menyumpal mulut Putri itu. Namun, sadar. Putri bukan orang yang bisa diajak bicara. Berdebat dengannya hanya menghabiskan tenaga. Sementara itu, ada Bapak yang butuh aku, ada Ibu yang harus kubantu. 

“Kalau kamu gak mau ikutin aturan, Mbak. Mulai hari ini, Mbak akan pernah ngeluarin sepeser pun buat kebutuhan kamu!” Suaraku gemetar. Antara kesal, sesak dan perasaan yang campur baur tak karuan. 

Brak!

Tanpa kusangka, Putri malah melemparkan sapu ijuk yang tadi kulempar padanya ke arah lemari. Kaca lebar yang menutup sebelah pintu lemari bagian depan itu pun retak. 

“Phutrhi? Dhivha?” 

Aku menoleh ke arah suara berasal. Sepertinya suara keributan kami di ruang depan membuat istirahat Bapak terganggu. Rumah warisan dari keluarga ini dulunya memiliki dua kamar saja, tetapi setelah aku dan Putri besar. Ibu dan Bapak membuat sekat di dapur sehingga sebelahnya adalah kamar tempat mereka tidur. Di sanalah setiap hari Bapak menghabiskan waktu. Duduk bersandar pada tembok dan menatap kehidupan luar hanya dari jendela. 

“Iya, Pak!” 

Kutinggalkan Putri. Aku tak main-main kali ini dengan ucapanku. Tak sudi lagi memberikan sepeser rupiah pun jika dia tak mau bersikap dewasa. Apalagi setelah semua pengkhianatannya padaku. 

“Khenhapa? Rhibhut lhaghi?” Suara Bapak tak terdengar jelas. Namun aku paham. Dia bertanya, kenapa kami ribut lagi. 

“Aku hanya lagi ajarin Putri buat lebih dewasa, Pak. Tadi aku suruh dia beres-beres. Sebentar lagi kan dia akan menikah dan menjadi istri.” Aku mendekat pada Bapak lalu duduk di sampingnya. Sebisa mungkin aku mengusal senyuman ketika berada di dekatnya. Aku tak mau pikiran Bapak menjadi tak fokus pada kesembuhannya kalau tahu serumit apa kondisi hatiku saat ini. 

Kemarin Bapak sempat shock ketika mendengar apa yang kuutarakan terkait perselingkuhan Putri dengan Mas Imam. Pada saat itu, aku benar-benar kalut. Tak bisa lagi berpikir untuk menjaga perasaan Bapak. Alhasil, masalah bertambah. Bapak makin drop kondisinya. Asam lambungnya naik karena gak mau makan. Beruntung pada akhirnya, Ibu berhasil membujuknya perlahan. 

“Mhakhasih, Dhivha.” Bapak mengusap kepalaku dengan satu tangannya yang masih bebas bergerak. Air matanya menitik, membuat hatiku sakit menjerit. Andai uangku banyak. Mungkin aku sudah bawa Bapak berobat ke tempat yang bagus. Bukan seperti sekarang, hanya pijat dan obat tradisional yang kami berikan pada Bapak. 

Bapak terkena stroke sebelah badan. Namun benar-benar lumpuh total sebelah badan itu, sehingga dia tak bisa berjalan kalau tak dipapah. Jadinya, Bapak lebih memilih tiap hari berada di kamar karena tak mau menyusahkan. Hanya sesekali minta bantuanku dan Ibu jika hendak ke kamar mandi atau minta makan. 

“Bapak sudah makan?” tanyaku. 

Kepala Bapak menggeleng. Kulihat jam, sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sepertinya Ibu belum pulang. Dia pun tadi mengantarkan beberapa pesanan kue ke tempat yang agak jauh. Kemarin Ibu ada buat cucur sama putri ayu juga pesanan Pak Lurah yang mau selametan. Mungkin pas aku nganter wajik ke rumah Kenzo, Ibu pergi ke sana. Agak jauh dan jalan kaki, jadinya pasti lama. 

Lekas aku ke dapur. Kuambil nasi dari magic com pada piring, sayur bening bayam dan tempe oreg lauk makan hari ini. Lekas kutata pada piring dan mengambil mangkuk. Kubawa segera ke kamar Bapak dan menyuapinya. 

“Makan yang banyak, ya, Pak … semoga cepat sembuh ....” Aku tersenyum di depannya, tetapi menangis dalam dada. 

Bapak mengangguk dan makan dengan susah payah. Kuhela napas berulang lalu kuceritakan hal-hal yang menyenangkan. Sesekali aku tertawa, walau sebenarnya ini hanya tawa palsu yang kubuat-buat untuk menghibur Bapak. 

Jika waktu kecil, Bapak sering sekali membuat lelucon agar aku dan Putri tertawa, maka kini saatnya aku yang membuat dia tertawa. Meski yang terjadi hanya tawa hambar yang dibuat-buat sepertinya. Ya, aku tahu betul jika batin Bapak pun teramat sangat luka. 

Jujur, aku cengeng. Ingin sekali menangis setiap kali melihat keadaan Bapak. Namun, segera kualihkan dengan melihat langit-langit kamar. Ketika mendongak, setidaknya air mata yang menyeruak itu tak jadi berjatuhan. 

Kudengar suara piring beradu, sesekali suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Aku hanya memperhatikan Putri yang bolak-balik membereskan piring bekasnya makan. Ancamanku cukup membuatnya takut. Jujur, aku tak lagi main-main. Kekecewaan terbesar sudah Putri torehkan. 

Andai dia adik tiri, mungkin sudah kuberikan lagi pada Ibu atau Bapak kandungnya. Namun, sayangnya … kata Bapak dan Ibu, kami ini saudara kandung. Yang bahkan akan tetap ada pertalian darah sampai kapanpun. 

Usai memberi makan Bapak, lekas aku membereskan piring bekasnya makan. Seulas senyum tersungging ketika melihat ke ruang tengah, semua sudah dibereskan. Aku pun merapikan piring bekas Bapak makan. 

Usai beres-beres, aku kembali menuju kamar. Ruangan ternyaman yang kumiliki sekarang. Kuhela napas lagi ketika melihat kalender. Esok sudah senin. Mau tak mau, aku harus bertemu Mas Imam di tempat kerja. Entah seperti apa jadinya nanti? Sepertinya aku harus mulai cari kerja baru agar intensitas kami bertemu bisa berkurang. 

Lekas kubuka website dari layar gawai. Kucari-cari lowongan yang menerima lulusan SMA hanya dengan skill computer yang pas-pasan. Mataku tertuju pada satu lowongan yang tertera. 

[Distirbutor Produk Kecantikan Sedang Membuka Lowongan untuk Bagian Administrasi – Kenzo Cosmetic & Skincare center]

Aku tersenyum, lekas kusalin alamat emailnya. Hanya saja, ada hal yang menggelitik. Kenapa ada nama Kenzo di sana. Semoga itu adalah Kenzo yang berbeda, dari Kenzo musuh bebuyutanku yang kukenal. Kenzo si lelaki menyebalkan dan urakan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 66 - SELESAI

    Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 65

    Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 64

    Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 63

    “Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 62

    Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 61

    Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status