Share

Bab 5

Hidup memang terus melaju. Esok yang tak kukehendaki pun akhirnya tiba. Usai menikmati satu piring nasi goreng kencur buatan Ibu dan segelas teh pahit hangat, aku beranjak. Ada sesuatu yang terasa hampa, ketika dulu setiap pagi, Mas Imam-lah yang menjemputku ke sini dan kami berangkat kerja bersama.

Aku panaskan sepeda motor bebek yang biasa dipakai Putri kuliah. Toh, kini dia sudah ambil cuti, acara nikahan dengan Mas Imam akan dilaksanakan dua mingguan lagi.

“Mbak kok pake motor? Aku mau pergi.” Dia melongokkan wajah dari balik pintu.

“Mbak mau kerja. Kuliah kamu ‘kan sudah cuti juga.” Aku menoleh sekilas ke arahnya. Lantas berjalan masuk dan meninggalkan sepeda motor beat keluaran lama yang sedang di panaskan di teras rumah. Kuhanya melirik sekilas padanya yang tengah memoles perwarna bibir warna orange, lalu duduk pada kursi kayu yang ada di ruang tengah dan mengenakan kaos kaki.

Putri tampak sudah rapi. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Selalu saja tampilannya seksi. Dia pamerkan lekuk tubuhnya dengan dipakainya baju yang ketat.

“Ck! Biasanya juga Mbak naik opang!” tukasnya lagi, bibirnya manyun entah berapa senti. Opang itu kependekkan untuk ojek pangkalan.

“Itu dulu, sekarang beda! Dulu, kamu adalah tanggung jawab, Mbak. Sekarang, kamu akan segera jadi tanggung jawab suamimu. Lagian kamu juga sudah cuti kuliah! Lebih baik Mbak pake motor ini, biar hemat ongkos.” Aku melirik padanya. Kumasukkan gawai pada tas yang kusimpan pada meja kayu, meja kesayangan Bapak. Biasanya dulu Bapak menghabiskan pagi sebelum jaga parkiran di depan puskesmas dengan minum kopi di meja ini. Hanya saja, semua itu tinggal cerita. Pekerjaan Bapak harus ditinggalkannya semenjak sakit yang tak kenal waktu dan datang tiba-tiba itu.

“Gak bisa gitu dong, Mbak! Aku mau pakai pokoknya!” Dia melengos pergi setengah berlari.

“Putri, Mbak Gak ijinin!” Aku bangkit dan menahannya yang sudah hendak melangkah.

“Bodo. Aku mau pake, pokoknya, titik!” Ditepisnya tanganku dengan keras. Dia berlari dan tubuhnya menghilang bersama debuman pintu.

“Kalian ribut lagi, Va?” Ibu yang baru selesai menyuapi Bapak muncul. Pastinya keributan kami terdengar sampai ke kamar belakang.

“Maaf, Bu!”

Ibu membuang napas kasar.

“Ibu kangen rumah kita yang dulu, Put! Hangat dan ada kalian yang selalu saling dukung dan membuat hati Ibu tenang.” Dia menghampiriku lalu duduk pada kursi kayu di mana tadi aku duduk.

“Maaf, Bu. Diva pergi dulu, ya! Assalamuálaikum!” Aku mencium punggung tangan Ibu. Lantas berjalan keluar dan menyelempangkan tas.

“Waálaikumsalam!” jawab Ibu. Suaranya mengiringi langkahku.

Aku baru melangkah ke pekarangan ketika sebuah mobil fortuner warna putih berhenti di depan. Aku menatapnya, ternyata Bu Faridah. Dia turun dan tersenyum lalu melenggang menghampiri.

Gamis berwarna army sepadan dengan kerudungnya, mampu menyembunyikan usianya yang sudah paruh baya.

“Kerja, Va?” tanyanya.

“Iya, Bu Faridah! Mau ketemu Ibu?” tanyaku.

“Iya, Va! Ada Ibunya?” tanyanya.

“Di dalam, Bu! Masuk saja!” tukasku seraya mengangguk lantas mempercepat langkah.

Ojek pangkalan ada di ujung gang rumah kami. Di sana ada pertigaan. Biasanya ada dua atau tiga orang yang mangkal di sana. Sekarang tak banyak ojek pangkalan, sebagian sudah mendaftar menjadi ojek online. Yang tersisa hanya Bapak-bapak paruh baya dengan motor tua pastinya.

***

Suasana tempatku kerja masih seperti biasa. Beberapa peserta kursus sudah datang dan tampak tengah menikmati sarapan di area teras kelas. Tempat kursus ini hanya berada di ruko-ruko, terasnya pun gak luas. Hanya saja memang termasuk ruko yang sedikit elit dan harga sewanya lumayan.

Aku menyapa mereka. Beberapa dari mereka adalah anak-anak tingkatan SD, ada juga anak-anak SMP dan SMA. Kalau sore, dimulai kelas kursus professional. Di mana ada metode seperti perkuliahan hanya saja memang ilmu praktis yang dipelajari dan bukan hanya teori. Lulusan kursus professional ini akan disalurkan nantinya ke perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang butuh admin level SMA. Meskipun pastinya terlebih dulu hanya diterima dengan sistem magang. Namun, ini sudah menjadi satu daya Tarik para peserta kursus yang melonjak, meski dengan harga bayar sedikit mahal.

Aku pun dulu lulusan kursus komputer di sini. Hanya saja, aku gak ambil kelas professional karena ya itu tadi, harganya. Namun, ternyata kursus pun membawa berkah. Sebelum aku dapat sertifikat, bahkan aku sudah direkrut untuk menjadi staff admin. Mas Imam lah yang merekrutku dulu. Ah, apapun tentang pekerjaan ini benar-benar hanya seperti mengorek timbunan luka. Pastinya yang kuingat lagi dan lagi berhubungan dengan Mas Imam.

“Pagi, Mbak Diva!”

“Pagi, Cha!”

“Pagi, Mbak Iva!”

“Pagi, Ima!”

Mereka rama-ramai menyapaku. Aku pun seperti biasa tersenyum ramah dan menyapa. Hanya saja, senyum ini menghilang ketika daun pintu kaca yang kudorong, mau tak mau membuatku langsung melihat seseorang. Mas Imam tengah mengobrol dengan Mbak Meli---bagian akademik di lobi.

“Pagi, Diva!” Mas Imam menyapaku.

“Pagi.” Aku menjawab singkat. Kutundukkan kepala dan lekas menuju mejaku dan meletakkan tas di sana.

Aku berpura-pura tak menyimak obrolan mereka. Lantas menyalakan layar computer dan mengelap keyboard, meja dan gagang telepon dengan tissue. Namun, si*lnya suara itu mau tak mau membuat aku mendongakkan kepala.

“Diva, sore nanti saya mau bicara, bisa?” Mas Imam sudah berdiri di depan mejaku dan menatap tajam. Aku memalingkan wajah. Ada luka yang menganga setiap kali melihatnya. Karena itu, semenjak kejadian menyakitkan itu, aku menutup diri darinya. Hanya saja memang belum bisa pergi ke mana-mana karena aku masih butuh pekerjaan ini.

“Lihat nanti saja, Mas.” Aku menjawab malas sambil menunduk.

“Selalu saja gitu! Please lah, Diva! Sebentar lagi kita akan jadi adik kakak. Mas gak mau hubungan kita jadi seperti musuh terus. Kita akan jadi keluarga, Diva!” tukasnya dengan ringan.

Kubuang napas kasar. Lantas bangkit, mending aku bersembunyi di toilet dari pada ngobrol dengannya.

“Va!” Lagi-lagi, untuk ke sekian kali dia berusaha menahan tanganku.

“Mas, please! Jauhi aku! Kamu calon adik iparku, jadi .. tolong sopan! Panggil aku, Mbak! Hormati aku, karena aku akan jadi kakakmu, paham?!” kutekankan kata Mbak dan Kakak dengan sengaja. Lalu kuhempaskan tangan Mas Imam yang mencekal lengaku. Lantas tergesa menuju toilet, aku bersandar pada tembok, mengasingkan diri di tempat sempit ini sampai jam kerja dimulai.

Begitulah hari-hari yang kujalani di sini setelah kejadian itu. Setiap hari bertemu dengan mantan yang akan jadi adik ipar. Ibarat kata, luka ini terus menerus dikasih tumpahan garam.

Bell berdering. Aku yakin Mas Imam sudah pergi ke ruangannya yang ada di lantai atas. Aku baru kembali duduk di depan meja admin dan menyapa Mbak Ana---sang customer yang terkadang membantu pekerjaanku.

Beruntungnya, seharian ini Mas Imam ada meeting. Setidaknya mengurangi kemunculannya ke lantai bawah. Aku bisa fokus kerja dan fokus mencari lowongan di sela-sela senggangnya pekerjaan.

Istirahat siang, aku makan bareng Mbak Ana di ruang office. Ruko ini gak terlalu luas, jadi memang tak punya kantin khusus. Kami membeli nasi rames. Seperti biasa kami saling cerita, tepatnya Mbak Ana sih yang lebih sering bercerita. Termasuk nasihatnya dia padaku untuk tetap menyayangi diri. Hidup hanya sekali, jangan sia-siakan waktu untuk menangisi seorang pengkhianat, itu katanya.

Denting bell terdengar. Aku sudah menyimpan sendok dan garpu ketika jatah makan siangku sudah tandas. Sebelum bangkit, tampak notifikasi email masuk kuterima. Lekas kuusap layar gawai dengan jemari.

[Kepada Saudari Diva Wulandari. Surat lmaran Anda sudah kami terima. Mohon untuk bisa datang menghadiri interview besok pukul 08.00 di Ruko Star light – HR Recuritment Kenzo Cosmetic & Skincare center.]

Membaca sederet email ini, aku hampir melonjak karena senang. Terasa bongkahan batu besar yang menyesakkan dada perlahan terangkat. Senyumku mengembang. Membayangkan pergi dari sini saja aku sudah bahagia, apalagi jika benar-benar jadi kenyataan. Semoga saja aku bisa diterima di sana dan memulai lembaran baru tanpa bayang-bayang Mas Imam lagi. Selamat tinggal masa lalu, masa depan cerah dan indah itu akan jadi milikku.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mebel Jaya Pontianak
Bagus.. Moga berlanjut dengan baik
goodnovel comment avatar
Alam Bebas
bagus seperti nya penulis novel ini jago membuat cerita semoga sukses selalu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status