Share

Bab 3

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2022-12-25 07:56:24

“Hey, tunggu!” teriakku. Dia belum bayar kuenya soalnya. 

Dia berhenti, lalu menoleh dan sepasang mata elangnya menatap tajam. 

“Ngapain lo manggil-manggil gue! Jangan pernah mikir mau godain gue! Perawan gak laku!” 

Plak!

Entah setan dari mana yang menggerakkan tanganku. Kalimatnya begitu menyakitkan hati. Kutelan saliva dan menatap tajam penuh benci. 

“Dua kali hati ini disakiti oleh dua orang lelaki. Akan kubuat kalian mengemis-ngemis cintaku di kemudian hari!” batinku berucap. Janji pada diri sendiri. Sakit karena dikhianati belum pergi. Kini ditambah lagi bertemu manusia laknat yang ucapannya melukai harga diri.

“Lo nampar gue?” Sepasang mata Kenzo menatap tajam. Tiba-tiba adegan ini seoalh dejavu. Memoriku sekilas berlari pada Kenzo dengan seragam putih abu dan rambut dicat berwarna magoni. Pandangan itu masih sama, lekat kebencian tertanam di sana. Bahkan ucapannya pun hampir serupa, “Lo laporin gue ke kepala sekolah? Jang sok jadi cewek, deh!” 

Aku menggeleng kepala. Mengembalikan isi pikiran yang sejenak melintas ke masa silam. 

“Kamu pantes nerima itu!” ucapku bergetar. Mata ini sudah berkaca-kaca. Rasanya tamparan yang kuberikan belum sepadan dengan kalimat yang dia ucapkan dari lidahnya yang tajam. Aku mengepalkan tangan, menekan kemarahan, rasa sedih dan kesal yang bercampur baur di dalam dada. 

Kukira dia akan menimpali lagi, tetapi ternyata tidak. Kenzo langsung berjalan pergi dengan cepat, lalu debuman pintu rumahnya yang mewah menelan tubuhnya. 

Aku menghela napas kasar. Kuenya masih belum dia bayar, huh. Biar nanti kuadukan saja pada Ibu. Biar Ibu yang nagih sama Bu Faridah. Bisa-bisa stroke aku kalau lama-lama bertemu sama Kenzo. Lelaki menyebalkan dan kasar. 

Seraya jalan menuju arah pulang, aku merutukinya, tetapi hanya mampu mengucap di dalam dada. Bibirku hanya bungkam. Sesekali genangan air mata yang kutahan-tahan berjatuhan. Ah, dasar cengeng! Ya, aku memang cengeng. 

Tiba di depan rumah, sepeda motor Mas Ilham masih ada. Aku mematung beberapa lama. Malas masuk, tapi bingung mau ke mana lagi kalau gak masuk. Aku tak punya banyak teman. Nurlela dialah teman baikku satu-satunya, biasanya aku pergi ke rumah dia. Hanya saja, sayangnya dia lagi keluar kota. Kemarin bilang, neneknya sakit, jadi harus nginap di Karawang beberapa lama. 

Aku mendekat ke arah pohon kersen yang tumbuh rindang di depan rumah. Duduk pada balai-balai yang dulu sewaktu kecil, tempat bermainku dengan Putri. Masa-masa yang penuh kebersamaan dan menumbuhkan rasa sayang di hati ini sebanyak-banyaknya. Namun, ternyata semua sia-sia. Putri membalasnya dengan luka. Memori itu berlarian kembali, terbayang tubuh-tubuh mungil kami yang sedang asyik main boneka, gelak tawa dan makan bersama dari satu piring nasi yang disiapkan Ibu setelahnya.

Arrrgh! Segera kuhapus kenang. Kenapa aku semelow ini. Move on, Diva! Hidup gak berjalan ke belakang!

Lima belas menit, dua puluh menit, sampai setengah jam berlalu Mas Imam belum juga keluar dari dalam rumah. Betah sekali dia ngobrol dengan Putri. Memang aku akui, Putri orangnya ramah dan supel. Dia pun mudah akrab dengan siapa saja. Kadang suka SKSD juga. 

Selain itu, pastinya orang-orang akan betah juga ngobrol dengannya. Entah kenapa, Putri begitu pandai merawat diri. Kulitnya berbanding terbalik denganku. Dia bersih dan putih, sedangkan aku lebih gelap pastinya. Ya, mungkin karena beban pikirannya tak terlalu berat sepertiku yang harus memikirkan isi dapur, biaya berobat Bapak dan biaya kuliahnya. Kondisi Bapak yang sakit-sakitan memaksaku melupakan kesenangan masa muda, aku dan Ibu bahu membahu jadi tulang punggung keluarga.

Lama sekali sih, Mas Imam pulangnya, huft. 

Kuhela napas kasar. Berdiri, menguatkan hati, lalu melangkah masuk. Menekan rasa campur baur yang berkelindan. Setelah masuk, Aku akan mengurung diri di dalam kamar saja dan kupasang music dengan headset agar tak dengar suara mereka. Namun, baru aku hendak melangkah. Deru motor berhenti dari arah belakang. 

Aku menoleh, tampak sebuah honda wing bercorak merah hitam berhenti di tepi jalan. Seorang lelaki bertubuh tegap turun dan menghampiriku. Aku menyipitkan mata menelisik sosok wajah di balik helm fullpace yang dilapisi masker. Namun, gagal. Aku tak bisa menembus wajahnya. Hanya saja ketika dia melangkah, aku sepertinya familiar.

Lelaki itu mendekat, aku mundur beberapa langkah. Jangan-jangan dia ini sekelompok brandal yang sukanya gangguin perempuan. Aku hampir menjerit ketika tangannya yang dilapisi sarung tangan meraih jemariku. Beruntung aku keburu mengenali suaranya.

“Duit dari nyokap, buat bayar kue!” 

Beberapa detik, aku mencoba mencerna. Akhirnya otakku sadar, dia adalah Kenzo si lelaki menyebalkan. Dua lembar merah sudah ada di tangan. 

“Kirain gak punya duit buat bayar!” Aku menggerutu. Hanya saja dalam dada. Tapi ini eh, lebih lima puluh ribu. 

“Tunggu sini! Saya ambil kembalian!” tukasku. Lekas melangkah masuk meninggalkannya. Lupa sudah kalau dari tadi enggan masuk karena malas ketemu Mas Ilham dan Putri.  

Aku menunduk melewati ruang tengah. Terdengar renyah tawa bergantian. Sekilas sudut mataku menangkap Mas ILham yang lagi suap-suapan sama Putri. Duh, kok ini hati masih perih saja. Andai ada yang jual kaca mata kuda, ingin kubeli yang banyak. Biar aku hanya bisa mandang lurus ke depan dan gak lihat lagi kiri kanan. 

Kubanting pintu agak keras. Entah kenapa, aku jadi sangat sensitif sekarang. Apa ini karena di hatiku masa ada bekas-bekas kenangan sama Mas Ilham? Entahlah. Yang jelas, sakit yang tak berdarah ini rasanya lama sekali sembuhnya. 

Kucari dalam laci, yang ada hanya pecahan sepuluh ribuan. Untungnya genap lima puluh ribu dengan recehan pecahan dua ribuan. Aku tak pernah punya uang banyak. Semua uang gajiku yang gak seberapa dipegang Ibu untuk menunjang hidup.

Aku gegas keluar lagi, berjalan cepat melewati sepasang calon suami istri yang berbahagia. Kudengar Putri memanggil, tetapi aku memilih abai. Apa dia gak punya hati, gak bisa sekali meraba perasaan. Muak rasanya, ingin pergi, tetapi gimana Ibu dan Bapak nanti? 

 

Aku tiba di depan rumah, tetapi sudah sepi. Kenzo sudah gak ada. Dasar lelaki gak punya etika. Dia maen tinggal pergi saja. Akhirnya aku berjalan kembali menuju rumah Bu Faridah. Beruntung perempuan berparas lembut itu tampak tengah menjemur pakaian. 

“Eh Diva, makasih kuenya, ya!” Dia menghampiriku setelah menjawab salam yang kuucapkan. Aku tersenyum. Walau aku sebal sama Kenzo, tetapi Bu Faridah sangat baik pada kami. 

“Sama-sama, Bu! Ini saya mau kasih kembalian!” Aku mengangsurkan uang lima puluh ribuan. 

“Eh, emangnya Kenzo gak bilang?” Dia menatapku dengan tatapan lembutnya. 

“Bilang apa, Bu?” tanyaku memastikan. 

“Ibu bilang, itu yang lima puluh ribu buat tips saja. Ibu selalu suka kue-kue buatan Ibu kamu. Apalagi Kenzo, langsung dimakan itu tadi wajiknya.” 

Aku meringis, memang benar-benar gak ada adab. Kenapa gak bilang coba ini tips. Jauh-jauh pun aku bela-belain datang ke sini lagi, dasar. 

Akhirnya aku pamit pulang. Sengaja jalan pelan-pelan, biar sampai rumah agak lama. Berharap Mas Ilham sudah pulang. 

Alhamdulilah, kali ini harapanku terwujud. Sepeda motornya sudah tak ada lagi. Aku lekas masuk. Kuhela napas kasar. Seisi ruang tengah masih berantakan. Bekas makan dan minum Putri dan Mas Ilham berserak. Kaleng-kaleng sprite, kulit kuaci dan juga piring yang menyisakkan kerak-kerak lemak bekas kuah. Jorok sekali Putri. 

Aku mencari keberadaan Putri. Rupanya dia sedang ada di kamar sambil tertawa-tawa, sepertinya tengah bertelpon ria. Bahkan suaranya yang nyaring melewati celah pintu yang tak ditutupnya. 

Lekas kuambil sapu yang menggantung. Jika dulu, aku yang selalu membereskan semuanya karena agar dia memiliki banyak waktu luang buat belajar, tetapi tidak kali ini. Kudorong daun pintu itu dengan agak keras. Dia menoleh padaku, tetapi tak mengubah posisinya. Dia tengah rebahan di atas Kasur empuknya. 

“Tolong, ya, Put! Kalau habis makan itu diberesin semuanya!” tukasku seraya melemparkan sapu ijuk yang kupegang ke arahnya. 

“Mbak, rese, ih!” Dia menangkis sapu itu hingga terpental. Lalu mematikan sambungan teleponnya dan menatapku. 

“Mulai hari ini, tugas beresin rumah adalah tanggung jawab kamu. Waktu Mbak sudah habis buat kerja sama bikin kue sama Ibu! Paham?!” Aku menatap wajah yang merengut itu dengan tajam. 

“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. 

“Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putri Sari
lanjut kk seru ini,bikin Kenzo kelepek2
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 66 - SELESAI

    Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 65

    Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 64

    Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 63

    “Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 62

    Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera

  • KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU   Bab 61

    Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status