“Hey, tunggu!” teriakku. Dia belum bayar kuenya soalnya.
Dia berhenti, lalu menoleh dan sepasang mata elangnya menatap tajam. “Ngapain lo manggil-manggil gue! Jangan pernah mikir mau godain gue! Perawan gak laku!” Plak!Entah setan dari mana yang menggerakkan tanganku. Kalimatnya begitu menyakitkan hati. Kutelan saliva dan menatap tajam penuh benci. “Dua kali hati ini disakiti oleh dua orang lelaki. Akan kubuat kalian mengemis-ngemis cintaku di kemudian hari!” batinku berucap. Janji pada diri sendiri. Sakit karena dikhianati belum pergi. Kini ditambah lagi bertemu manusia laknat yang ucapannya melukai harga diri.“Lo nampar gue?” Sepasang mata Kenzo menatap tajam. Tiba-tiba adegan ini seoalh dejavu. Memoriku sekilas berlari pada Kenzo dengan seragam putih abu dan rambut dicat berwarna magoni. Pandangan itu masih sama, lekat kebencian tertanam di sana. Bahkan ucapannya pun hampir serupa, “Lo laporin gue ke kepala sekolah? Jang sok jadi cewek, deh!” Aku menggeleng kepala. Mengembalikan isi pikiran yang sejenak melintas ke masa silam. “Kamu pantes nerima itu!” ucapku bergetar. Mata ini sudah berkaca-kaca. Rasanya tamparan yang kuberikan belum sepadan dengan kalimat yang dia ucapkan dari lidahnya yang tajam. Aku mengepalkan tangan, menekan kemarahan, rasa sedih dan kesal yang bercampur baur di dalam dada. Kukira dia akan menimpali lagi, tetapi ternyata tidak. Kenzo langsung berjalan pergi dengan cepat, lalu debuman pintu rumahnya yang mewah menelan tubuhnya. Aku menghela napas kasar. Kuenya masih belum dia bayar, huh. Biar nanti kuadukan saja pada Ibu. Biar Ibu yang nagih sama Bu Faridah. Bisa-bisa stroke aku kalau lama-lama bertemu sama Kenzo. Lelaki menyebalkan dan kasar. Seraya jalan menuju arah pulang, aku merutukinya, tetapi hanya mampu mengucap di dalam dada. Bibirku hanya bungkam. Sesekali genangan air mata yang kutahan-tahan berjatuhan. Ah, dasar cengeng! Ya, aku memang cengeng. Tiba di depan rumah, sepeda motor Mas Ilham masih ada. Aku mematung beberapa lama. Malas masuk, tapi bingung mau ke mana lagi kalau gak masuk. Aku tak punya banyak teman. Nurlela dialah teman baikku satu-satunya, biasanya aku pergi ke rumah dia. Hanya saja, sayangnya dia lagi keluar kota. Kemarin bilang, neneknya sakit, jadi harus nginap di Karawang beberapa lama. Aku mendekat ke arah pohon kersen yang tumbuh rindang di depan rumah. Duduk pada balai-balai yang dulu sewaktu kecil, tempat bermainku dengan Putri. Masa-masa yang penuh kebersamaan dan menumbuhkan rasa sayang di hati ini sebanyak-banyaknya. Namun, ternyata semua sia-sia. Putri membalasnya dengan luka. Memori itu berlarian kembali, terbayang tubuh-tubuh mungil kami yang sedang asyik main boneka, gelak tawa dan makan bersama dari satu piring nasi yang disiapkan Ibu setelahnya.Arrrgh! Segera kuhapus kenang. Kenapa aku semelow ini. Move on, Diva! Hidup gak berjalan ke belakang!Lima belas menit, dua puluh menit, sampai setengah jam berlalu Mas Imam belum juga keluar dari dalam rumah. Betah sekali dia ngobrol dengan Putri. Memang aku akui, Putri orangnya ramah dan supel. Dia pun mudah akrab dengan siapa saja. Kadang suka SKSD juga. Selain itu, pastinya orang-orang akan betah juga ngobrol dengannya. Entah kenapa, Putri begitu pandai merawat diri. Kulitnya berbanding terbalik denganku. Dia bersih dan putih, sedangkan aku lebih gelap pastinya. Ya, mungkin karena beban pikirannya tak terlalu berat sepertiku yang harus memikirkan isi dapur, biaya berobat Bapak dan biaya kuliahnya. Kondisi Bapak yang sakit-sakitan memaksaku melupakan kesenangan masa muda, aku dan Ibu bahu membahu jadi tulang punggung keluarga.Lama sekali sih, Mas Imam pulangnya, huft. Kuhela napas kasar. Berdiri, menguatkan hati, lalu melangkah masuk. Menekan rasa campur baur yang berkelindan. Setelah masuk, Aku akan mengurung diri di dalam kamar saja dan kupasang music dengan headset agar tak dengar suara mereka. Namun, baru aku hendak melangkah. Deru motor berhenti dari arah belakang. Aku menoleh, tampak sebuah honda wing bercorak merah hitam berhenti di tepi jalan. Seorang lelaki bertubuh tegap turun dan menghampiriku. Aku menyipitkan mata menelisik sosok wajah di balik helm fullpace yang dilapisi masker. Namun, gagal. Aku tak bisa menembus wajahnya. Hanya saja ketika dia melangkah, aku sepertinya familiar.Lelaki itu mendekat, aku mundur beberapa langkah. Jangan-jangan dia ini sekelompok brandal yang sukanya gangguin perempuan. Aku hampir menjerit ketika tangannya yang dilapisi sarung tangan meraih jemariku. Beruntung aku keburu mengenali suaranya.“Duit dari nyokap, buat bayar kue!” Beberapa detik, aku mencoba mencerna. Akhirnya otakku sadar, dia adalah Kenzo si lelaki menyebalkan. Dua lembar merah sudah ada di tangan. “Kirain gak punya duit buat bayar!” Aku menggerutu. Hanya saja dalam dada. Tapi ini eh, lebih lima puluh ribu. “Tunggu sini! Saya ambil kembalian!” tukasku. Lekas melangkah masuk meninggalkannya. Lupa sudah kalau dari tadi enggan masuk karena malas ketemu Mas Ilham dan Putri. Aku menunduk melewati ruang tengah. Terdengar renyah tawa bergantian. Sekilas sudut mataku menangkap Mas ILham yang lagi suap-suapan sama Putri. Duh, kok ini hati masih perih saja. Andai ada yang jual kaca mata kuda, ingin kubeli yang banyak. Biar aku hanya bisa mandang lurus ke depan dan gak lihat lagi kiri kanan. Kubanting pintu agak keras. Entah kenapa, aku jadi sangat sensitif sekarang. Apa ini karena di hatiku masa ada bekas-bekas kenangan sama Mas Ilham? Entahlah. Yang jelas, sakit yang tak berdarah ini rasanya lama sekali sembuhnya. Kucari dalam laci, yang ada hanya pecahan sepuluh ribuan. Untungnya genap lima puluh ribu dengan recehan pecahan dua ribuan. Aku tak pernah punya uang banyak. Semua uang gajiku yang gak seberapa dipegang Ibu untuk menunjang hidup.Aku gegas keluar lagi, berjalan cepat melewati sepasang calon suami istri yang berbahagia. Kudengar Putri memanggil, tetapi aku memilih abai. Apa dia gak punya hati, gak bisa sekali meraba perasaan. Muak rasanya, ingin pergi, tetapi gimana Ibu dan Bapak nanti? Aku tiba di depan rumah, tetapi sudah sepi. Kenzo sudah gak ada. Dasar lelaki gak punya etika. Dia maen tinggal pergi saja. Akhirnya aku berjalan kembali menuju rumah Bu Faridah. Beruntung perempuan berparas lembut itu tampak tengah menjemur pakaian. “Eh Diva, makasih kuenya, ya!” Dia menghampiriku setelah menjawab salam yang kuucapkan. Aku tersenyum. Walau aku sebal sama Kenzo, tetapi Bu Faridah sangat baik pada kami. “Sama-sama, Bu! Ini saya mau kasih kembalian!” Aku mengangsurkan uang lima puluh ribuan. “Eh, emangnya Kenzo gak bilang?” Dia menatapku dengan tatapan lembutnya. “Bilang apa, Bu?” tanyaku memastikan. “Ibu bilang, itu yang lima puluh ribu buat tips saja. Ibu selalu suka kue-kue buatan Ibu kamu. Apalagi Kenzo, langsung dimakan itu tadi wajiknya.” Aku meringis, memang benar-benar gak ada adab. Kenapa gak bilang coba ini tips. Jauh-jauh pun aku bela-belain datang ke sini lagi, dasar. Akhirnya aku pamit pulang. Sengaja jalan pelan-pelan, biar sampai rumah agak lama. Berharap Mas Ilham sudah pulang. Alhamdulilah, kali ini harapanku terwujud. Sepeda motornya sudah tak ada lagi. Aku lekas masuk. Kuhela napas kasar. Seisi ruang tengah masih berantakan. Bekas makan dan minum Putri dan Mas Ilham berserak. Kaleng-kaleng sprite, kulit kuaci dan juga piring yang menyisakkan kerak-kerak lemak bekas kuah. Jorok sekali Putri. Aku mencari keberadaan Putri. Rupanya dia sedang ada di kamar sambil tertawa-tawa, sepertinya tengah bertelpon ria. Bahkan suaranya yang nyaring melewati celah pintu yang tak ditutupnya. Lekas kuambil sapu yang menggantung. Jika dulu, aku yang selalu membereskan semuanya karena agar dia memiliki banyak waktu luang buat belajar, tetapi tidak kali ini. Kudorong daun pintu itu dengan agak keras. Dia menoleh padaku, tetapi tak mengubah posisinya. Dia tengah rebahan di atas Kasur empuknya. “Tolong, ya, Put! Kalau habis makan itu diberesin semuanya!” tukasku seraya melemparkan sapu ijuk yang kupegang ke arahnya. “Mbak, rese, ih!” Dia menangkis sapu itu hingga terpental. Lalu mematikan sambungan teleponnya dan menatapku. “Mulai hari ini, tugas beresin rumah adalah tanggung jawab kamu. Waktu Mbak sudah habis buat kerja sama bikin kue sama Ibu! Paham?!” Aku menatap wajah yang merengut itu dengan tajam. “Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. “Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam.“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. “Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam. Putri tampak kaget. Mungkin seumur hidup seatap denganku, baru kali ini aku bicara agak keras padanya. “Mbak, kenapa Mbak teriak-teriak? Mbak lupa kalau di rumah ini ada Bapak yang lagi sakit? Mbak gak mikirin perasaan Bapak, ya? Dia sedang stroke, Mbak. Jangan sampai kondisinya makin drop kalau dengar kita ribut-ribut kayak gini?” Aku menelan saliva. Ingin rasanya menyumpal mulut Putri itu. Namun, sadar. Putri bukan orang yang bisa diajak bicara. Berdebat dengannya hanya menghabiskan tenaga. Sementara itu, ada Bapak yang butuh aku, ada Ibu yang harus kubantu. “Kalau kamu gak mau ikutin aturan, Mbak. Mulai hari ini, Mbak akan pernah ngeluarin sepeser pun buat kebu
Hidup memang terus melaju. Esok yang tak kukehendaki pun akhirnya tiba. Usai menikmati satu piring nasi goreng kencur buatan Ibu dan segelas teh pahit hangat, aku beranjak. Ada sesuatu yang terasa hampa, ketika dulu setiap pagi, Mas Imam-lah yang menjemputku ke sini dan kami berangkat kerja bersama. Aku panaskan sepeda motor bebek yang biasa dipakai Putri kuliah. Toh, kini dia sudah ambil cuti, acara nikahan dengan Mas Imam akan dilaksanakan dua mingguan lagi. “Mbak kok pake motor? Aku mau pergi.” Dia melongokkan wajah dari balik pintu. “Mbak mau kerja. Kuliah kamu ‘kan sudah cuti juga.” Aku menoleh sekilas ke arahnya. Lantas berjalan masuk dan meninggalkan sepeda motor beat keluaran lama yang sedang di panaskan di teras rumah. Kuhanya melirik sekilas padanya yang tengah memoles perwarna bibir warna orange, lalu duduk pada kursi kayu yang ada di ruang tengah dan mengenakan kaos kaki. Putri tampak sudah rapi. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Selalu saja tampilannya seksi. Dia
Aku sudah mengajukan izin pada Bu Ratna---selaku pimpinan LPC Al Huda atau Lembaga Professional Course Al-Huda di mana aku bekerja, pastinya setelah berbincang dengan Mbak Ana. Dia yang biasanya menggantikan tugas pentingku ketika akan ada keperluan seperti sekarang.Pakaian hitam putih sudah rapi kukenakan. Kupoles wajah dengan bedak, tetapi sayangnya malah aneh. Kulitku yang gelap ketimpa bedak yang putih malah terkesan dipaksakan. Akhirnya kucuci lagi muka dan hanya memakai foundation seharga sepuluh ribuan. Tak memunculkan efek apa-apa, hanya saja setidaknya tak terasa terlalu kering. Kupoles lip balm warna natural agar bibirku tampak segar. Kerudung warna hitam menjadi pilihan. Kulipat kerudung segi empat itu dan kupertemukan dua sisinya. Lekas kupakai dengan simetris. Setelah tersemat jarum pentul, lekas aku mengambil tas yang sebetulnya hanya berisikan ballpoint, dompet kecil, ponsel, kotak makan segi empat dan air mineral.“Bu, Diva berangkat dulu!” Aku menghampiri Ibu yang t
Menunggu pengumuman hasil interview sudah seperti nunggu yang ngapel di malam minggu. Meskipun itu dulu,. Berulang kali lihat jam, lihat tanggal, bahkan bolak-balik check email. Huh … tiga hari berasa tiga bulan. Hari ketiga sudah terlewati, tetapi kabar belum juga kudapatkan. Aku, hanya bisa pasrah dan mengirim lamaran lain lagi. Mungkin belum rejekiku di sana. Sementara itu, yang sibuk persiapan pernikahan sudah mulai sebar undangan. Tiap hari sampai bosan lihat wajah-wajah manusia tanpa dosa berkeliaran di rumah. Bahkan, hampir setiap saat pamer kemesraan. Sabaar, Diva! Setelah mereka resmi nikah, mereka akan tinggal di rumah barunya. Setidaknya, kamu bisa menghirup udara bebas.Sore itu, sepulang kerja. Aku diminta Ibu mengantar Bu Minah---tukang pijat yang habis mijat Bapak. Sekalian aku bawa kue untuk dikirim ke salah satu pelanggan Ibu. Ponselku berdering dan menampilkan nomor baru. Bu Minah sudah naik ke atas boncengan, terpaksa aku minta dia turun lagi. “Hallo, Selamat S
Maaf, aku tak lagi peduli. Lekas aku melajukan sepeda motor dan meninggalkan hingar bingar. Jalanan yang macet, akhirnya kulalui. Ketika tiba di depan tempat kerja baruku. Tampak sebuah mobil yang familiar. Aku menautkan alis. Rasa-rasanya hapal plat nomor mobil tersebut. Lekas aku masuk dan menuju lobi. Benar saja dugaanku, sosok perempuan berparas lembut yang tak lain adalah Bu Faridah---Ibunya Kenzo ada di dalam. Sepertinya dia salah satu pelanggan dari klinik kecantikan di sini. “Pagi, Mbak Intan!” “Pagi, Mbak Diva!” Aku menyapa resepsionis sekaligus kasir yang baru kutahu namanya Intan ketika kemarin mengirimkan email kontrak untukku. Sosok berkerudung warna salem yang tengah memilih produk skincare tersebut menoleh. “Eh ada Diva?” Perempuan yang tak lain adalah Bu Faridah itu menatapku. “Ibu lagi apa di sini? Langganan juga, ya?” Aku menghampirinya lalu menyalaminya dengan khidmat.“Ahm, Mbak Diva!” Aku menoleh pada Intan yang memanggilku. Namun, dari sudut matanya dia ta
“Hey, kamu! Tolong kerja samanya, ya! Tolong buat wajah aku secantik bidadari.” Aku menepuk benda mati itu, seolah dia bisa mendengar apa yang kuucapkan. Lantas aku mengambil sabun mukanya dan gegas membersihkan wajah. Kuabaikan hiruk pikuk dan hingar bingar para tetangga yang sedang rewang dan para kerabat yang juga ikut membantu-bantu. “Eh, Diva, kok baru kelihatan, sih?” Pertanyaan dari Bi Asih terlontar ketika aku kembali ke kamar mandi untuk wudhu dan sekaligus cuci muka. Kalau dulu, aku cuci muka hanya dengan facial wash yang harganya lima belas ribuan. Kali ini, beda. Aku cuci muka dengan facial wash bagus, tapi gratisan. Ah, andai bisa gratis tiap hari. “Iya, Bi! Habis kerja, hari pertama masa mau izin.” Aku tersenyum. “Oh kamu pindah kerja. Iya, kalau ada kerjaan, mending kerja, lagian di sini sudah banyak yang bantu juga.” “Iya, Bi.” Ah, malas berlama-lama. Gegas wudhu dan mencuci muka. Lalu aku kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Kuapplikasikan skin
Dia tampak duduk dan memainkan gawai. Aku hanya meliriknya sesekali lantas asik makan dan menyuap dengan semangat hingga sebuah chat masuk dari akun bernama pangeran. [Lagi apa?] tulisnya.[Makan. Kamu?] balasku.[Lagi bete. Punya pegawai songong kelewatan.] tulisnya lagi.[Dih, kok, bisa? Yang sabar, ya?] Aku menghiburnya. [Mentang-mentang jam istirahat, gak mau diganggu. Padahal paling mereka juga sempat-sempatnya nyuri waktu kalau lagi kerja. Si*lan memang.] [Sabar, ya. Lagian datangnya jam istirahat.] Aku menanggapinya.[Biasa pesanan nyokap, gak bisa di entar-entar. Tuh, ‘kan bener sudah nelpon. Dah dulu, ya!] Kolom pesan tertutup. “Hallo, Ma! Iya sudah di sini. Lagi pada istirahat! Gak ada orang!” Itulah penggalan kalimat yang kudengar dari Kenzo sebelum dia pergi keluar. Aku menautkan alis, kok bisa nyambung, ya? Baru saja Pangeran bilang ada telepon, eh lelaki menyebalkan itu juga mengangkat telepon, Hmmm … lalu si Kenzo juga panggil Mama, Pangeran bilang nyokap. Hmm, s
“Jodoh dan kematian itu rahasia Allah, Va. Ibu juga harap Bapak panjang umur. Hanya saja, Bapak ingin jaga-jaga, takutnya umurnya di ambil dalam waktu dekat. Dia ingin melihat kamu menikah. Hmmm … andai kamu setuju, Bapak akan terima pinangan untukmu. Insya Allah besok orang tuanya datang ke rumah. Orangnya mapan, tampan dan pastinya bisnisannya banyak. Usianya juga sudah matang dan keluarganya sangat mendukungnya untuk meminang kamu, Va.” Aku menelan saliva. Kini yang hadir adalah dilemma. Kutatap wajah Ibu, lantas kulontarkan tanya, “Apakah Diva kenal siapa dia, Bu? Apa boleh penjajakkan dulu dan gak usah nikah dulu?” tanyaku. Anggukan kepala dari Ibu akhirnya membuatku sedikit lega. Setidaknya, kami hanya saling berkenalan. Jika cocok lanjutkan, tetapi jika tidak maka gak akan dipaksakan. Lagi pula, aku masih baru daftar kuliah. Bahkan perkuliahannya pun belum di mulai. Obrolan yang tengah serius ini, terganggu oleh kedatangan Putri. Wajahnya yang tampak lelah menatap Ibu. “Bu,