Share

Bab 4

BAB 4

Duar

Seperti disambar petir di siang hari. Ucapanku baru saja lagi-lagi mampu membuat Ibu mertua tidak lagi bisa berkutik. Padahal tadi pagi wanita itu masih menyombongkan dirinya dengan embel-embel keluarga Ali Santosa.

"Mbak Melati jangan bicara seperti itu ya? Jangan sampai Mbak yang angkat kaki dari rumah ini!" Suara lantang penuh penekanan itu keluar dari mulut gadis berambut pirang. Aku hanya terkekeh lalu menatap mereka bergantian.

"Ini rumahku anak ingusan! Yang seharusnya pergi dari rumah ini kalian bukan aku!" Aku menjawab dengan santai. Nampak mimik muka orang yang ada dihadapanku tidak suka melihat sikap yang aku tunjukan saat ini.

"Paket!" Di sela-sela aku berucap terdengar seseorang dari luar berteriak. Dari caranya berucap sepertinya seorang kurir yang sedang mengantar barang.

Sari meninggalkanku dan juga Ibunya yang masih berada di dapur. Mungkin dia menyadari bahwa barang yang dibelinya sudah tiba.

"Bu …." Sari berteriak memanggil ibunya. Dengan tergopoh-gopoh wanita itu mendatangi.

"Ada apa sih kamu teriak-teriak? Berisik tahu!" Suara Ibu terdengar hingga ke dapur. Aku pun masih melanjutkan makan sate tanpa memperdulikan mereka. Akan tetapi, ibu mertua kembali menuju dapur dengan wajah yang sedikit panik.

"Melati, Ibu pinjem duit boleh? Untuk bayar paket yang sudah Sari beli," ucap Ibu tanpa beban sama sekali.

Aku melirik sekilas ke arah wanita yang tengah mengenakan daster bermotif batik itu. Tatapannya penuh pengharapan.

"Gimana ya Bu ya. Aku kan nggak beli terus ngapain aku bayar?" ucapku  sembari tangan memasukan sate ke dalam mulut. Ibu mertua terlihat bingung, mungkin benar ia tengah tidak memegang uang saat ini. Tidak mungkin membatalkan paket yang sudah terlanjur sampai di rumah. 

"Ayolah, Melati. Nanti Ibu ganti, janji!" Akhirnya dengan terpaksa aku meletakan tusuk sate yang sudah tinggal kayunya. Kemudian beranjak dari duduk. Berjalan perlahan menuju depan rumah melihat laki-laki yang berprofesi kurir itu masih menunggu. Dengan wajah polos tidak tahu malu Sari menghampiriku. Bergelayut manja di tanganku seperti biasa ketika merayuku. Jika kemarin-kemarin aku langsung mengiyakan tapi untuk saat ini aku mungkin akan memberinya pelajaran. Kuhempaskan tangan gadis itu dengan kasar. Wajah yang semula ceria berubah menjadi masam. Jika saja aku bukan tameng untuknya, dalam kondisi seperti ini mungkin saja dia sudah berucap kasar. Karena terlihat Ibu mertua mengedipkan mata pada anak gadisnya.

Memberi tanda agar dia menahan kekesalannya.

"Pak, belum dibayar ya?" Aku bertanya pada laki-laki yang menatapku, berharap aku segera membayarnya agar ia lekas menyelesaikan tugasnya yang lain, mungkin.

"Iya, Mbak. Belum dibayar, dua ratus ribu!" ucap laki-laki itu dengan bibir mengulum senyum. Aku tidak terkejut dengan nominalnya, karena sudah sering aku membayar paket dengan harga sebesar itu. 

Aku mengeluarkan dompet lalu menarik dua lembaran uang berwarna merah. Aku serahkan kepada sang kurir dengan ramah.

"Ini, Pak." 

"Terima kasih, Mbak. Saya permisi!" Laki-laki itu berlalu. Aku melirik sekilas ke arah Sari yang nampak tersenyum kala aku mau membayar barang yang  ia beli. Memperhatikan bungkusan berwarna hitam bertempelkan kertas bertulis.

Kusambar dengan cepat membuat Dari terkejut bukan kepalang. Bungkusan hitam yang tadi ada dalam dekapannya kini berpindah ke tanganku. 

"Mbak Melati, apa-apaan sih kamu?!" sungut Sari penuh emosi. Membuatku mengulum senyum.

"Ini barang yang beli Mbak. Jadi ini milik Mbak!" ucapku dengan entengnya. Tangan Sari mencoba meraih bungkusan miliknya namun selalu aku tepis dan hindari. Membuatnya mencebik lantas matanya melotot.

"Mbak Melati nggak lucu ya!" Wanita yang bergelar Ibu itu hanya diam memandangiku dan anak gadisnya.  Tanpa mau membantu sedikitpun. 

"Ibu kok diem aja sih, lihat aku digituin Mbak Melati! Ibu jangan takut dong sama Mbak Melati! Dia itu siapa, tidak lebih dari orang kampung yang diperistri Mas Bima!" 

Plak

Satu tamparan kuat mendarat di pipi Sari. Membuatnya mengaduh kesakitan.

"Apa-apaan sih, Mbak?! Kenapa Ibu diem aja? Sari ditampar lho. Nggak bisa dibiarin kamu Mbak." Tangan kanan Sari spontan mengusap pipi kirinya. Gadis itu berniat mendekat ingin membalas. Akan tetapi, sebelum terjadi aku sudah menepisnya. 

Plak

Tamparan kembali mendarat di pipi Sari, namun kini sebelah kanan. Gadis itu menatapku tajam. 

"Heh, anak bau kencur! Ini yang bayar Mbak. Jadi paket ini milik Mbak. Besok-besok kalau mau beli sesuatu itu lihat isi dompet dulu. Kagak punya duit main beli-beli aja!" Aku hendak meninggalkan gadis itu yang masih memegangi kedua pipinya. Akan tetapi, langkahku terhenti. Aku memutar badan untuk menghadapnya. Sudah kudapati wanita tua itu mendekati sang putri, nampak dia juga kesal namun masih ditahan. Mungkin teringat ucapanku tadi pagi.

"Satu lagi, itu pelajaran untuk kamu Sari. Mbak Melati bukan Mbak yang dulu. Yang bisa kalian manfaatkan seenak jidatnya. Jangan lupa, kemasi barang-barang kalian. Aku nggak akan terpengaruh dengan ikan yang Ibu goreng dan juga tumis kangkung yang Ibu masak! Cukup! Sudah cukup kalian merongrong kehidupanku!" ucapku tajam penuh penekanan. Kilatan amarah menyambar-nyambar jelas terlihat dari tatapanku kepada mereka. Amarah yang selama ini aku pendam akhirnya keluar juga.

"Jangan sombong kamu, Mbak!" Aku tersenyum miring. Lantas pergi meninggalkan Sari dan juga Ibunya. Entah apa yang mereka katakan aku sudah tidak peduli lagi.

Brak

Kututup pintu kamar dengan kasar. Kurebahkan tubuh ini di atas ranjang. Bungkusan hitam yang aku bawa masih terbungkus rapi tidak berniat membukanya aku malah memejamkan mata.

Deru motor terdengar berhenti di depan rumah, namun tidak berapa lama motor itu berlalu. Aku membuka mata lalu menganti posisi menjadi duduk. Kuraih bungkusan hitam itu kemudian membawanya ke dalam lemari. Dengan langkah tertatih aku menuju kamar mandi. 

Aku mengguyur air dari kepala hingga seluruh badan. Membiarkan air itu mendinginkan hawa panas yang sudah menjalar ke seluruh tubuh ini. Setelah menyelesaikan ritual mandi, aku segera keluar. Mata ini langsung mendapati Mas Bima yang tengah duduk di sisi ranjang. Kini ia menoleh ke arahku.

Aku berjalan santai menuju meja rias sedangkan tangan mengusap rambut dengan handuk.

"Apa benar kamu menampar Sari, Mel?" tanya Mas Bima langsung pada intinya. Mungkin adiknya sudah mengadu padanya.

"Iya, Mas. Memangnya kenapa?" Aku bertanya kepada laki-laki yang detik ini masih bergelar suami. Akan tetapi, tatapanku tidak tertuju padanya. Tatapanku tertuju pada pantulan cermin yang kini ada dihadapanku.

"Kamu keterlaluan! Jangan kamu libatkan adikku dalam masalah kita ya! Cuma karena dia membeli barang dengan harga mahal kamu langsung menamparnya, dua kali!" Tatapan Mas Bima nyalang kepadaku. Yang biasanya aku langsung meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi tapi tidak untuk saat ini. Aku menghentikan aktivitasku lalu memutar badan ke arahnya.

"Keterlaluan kamu bilang, Mas? Dia itu beli barang-barang mahal lalu minta aku yang bayar? Adik kamu itu yang nggak tahu malu! Udah numpang, nggak mau bayar! Dasar benalu!"

"Cukup Melati! Jaga ucapan kamu!"

"Cukup Mas! Ajari adikmu itu cara bersikap! Dan satu lagi! Angkat kaki dari rumahku sekarang!" Mataku melotot. Urat-urat yang ada di leher menegang. Membuat rahang ini terlihat mengeras. Mas Bima menyugar rambutnya dengan kasar.

"Agrh …." Mas Bima terlihat frustasi. Aku lalu membuka lemari pakaian kemudian melempar baju ke arahnya. Sontak membuatnya terkejut.

"Kamu jangan seperti ini, Melati! Kita bisa bicarakan baik-baik tidak harus seperti ini!" Tangan Mas Bima mencoba menenangkanku namun segera aku tepis.

"Cukup, Mas! Kita bertemu di pengadilan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status