BAB 5
Wajah Mas Bima terlihat terkejut. Ketika aku menyebut kata pengadilan. Tatapan yang semula marah kini berubah menjadi sendu. Laki-laki itu kembali menghampiriku. Mencoba meraih tanganku. Akan tetapi, lagi-lagi aku menepisnya dengan kasar.
"Melati Mas mohon. Jangan seperti ini, kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku akan mencoba membuat Ibu dan juga Sari untuk berubah!" Mas Bima mencoba membuatku berubah pikiran.
"Aku nggak mau, Mas!" Pendirianku masih sama.
"Melati pernikahan kita baru seumur jagung, baru setahun kita menikah. Apa kata orang jika kita berpisah? Bagaimana dengan ibu?"
"Aku tidak peduli!"
Brak
Seseorang membuka pintu kamar dengan paksa. Aku dan juga Mas Bima menoleh ke arahnya.
"Cukup, Bim. Kamu nggak usah ngemis sama wanita seperti Melati! Buang-buang waktu! Kemasi barang-barang kamu kita pergi dari rumah ini! Kita bisa hidup tanpa wanita ini!" Ternyata yang aku pikirkan benar. Ibu berubah baik hanya untuk merayuku, membuatku seperti dulu. Sepertinya sandiwara yang ia jalani tidak bisa menahan amarah yang meletup-letup. Membuatnya kehilangan kendali.
"Tapi Bu," sela Mas Bima.
"Jangan biarkan wanita ini menginjak-injak harga diri keluarga kita!" Ibu mertuaku terlihat melengos. Dia meninggalkan kamar dengan hentakan kaki yang cukup kuat.
"Kemasi barang-barang kamu Sari!" perintah ibu pada Sari yang berdiri diambang pintu. Bibir gadis itu mencebik lalu terlihat dia menjulurkan lidahnya ke arahku. Benar-benar tidak sopan.
Dengan kasar Mas Bima mengambil pakaian yang berserakan di lantai. Menurunkan koper yang ada di atas lemari. Lalu memasukan semua pakaian miliknya ke dalam koper tersebut dengan kasar.
Pergilah, Mas. Pergilah.
Tidak berapa lama laki-laki itu menyeret koper dengan kasar. Menatap tajam ke arahku dan pergi tanpa berpamitan.
Glodak … glodak.
Terdengar suara benturan dari ruang tengah, mungkin suara koper milik mereka bertiga tengah menabrak sesuatu.
Ruangan yang semula gaduh berubah menjadi sepi. Aku menjatuhkan bokongku di sisi ranjang. Air mata itu akhirnya mengalir deras di pipi tanpa dikomando.
Tidak aku pungkiri dada ini terasa sesak. Pernikahan yang baru berusia satu tahun sebentar lagi akan karam. Laki-laki pilihanku ternyata tidak sejalan. Membuatku harus melepas, menyelamatkan diri dari kesakitan yang tidak terlihat.
Adzan Magrib berkumandang membuatku sadar, bahwa hari belumlah terlalu malam. Segera aku mengusap jejak air mata kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Aku menggelar sajadah, mengadukan segala resah. Menumpahkan segala kegundahan hati kepada Sang Ilahi.
Membiarkan hati ini kosong dengan luka yang kuharap pergi bersama laki-laki itu.
Aku harus memulai dari awal. Membiarkan hidup ini berjalan seperti air yang mengalir. Jika janda harus aku sandang tak mengapa.
****
Jam menunjukan angka empat tepat. Aku menggeliat diatas kasur. Entah mengapa rasanya badan ini begitu ringan. Mungkin karena semalam aku tidur dengan nyenyak membuatku segar menghadapi hari ini.
Di sampingku tidak ada lagi Mas Bima. Entah dimana mereka tidur semalam yang pasti kepergian mereka seharusnya sudah sedari dulu.
Dengan senyum mengembang aku berjalan menuju kamar mandi. Tidak lupa menunaikan ibadah sholat subuh. Hari ini hari Minggu. Aku tidak bekerja. Kubuka pintu dan jendela rumah berharap udara bisa leluasa masuk silih berganti. Menyapu lantai kemudian mengepelnya.
Selang panjang kutarik lalu dengan santai aku menyiram tanaman di halaman rumah. Memandangi bunga-bunga yang bermekaran. Seolah alam memberi tanda bahwa aku harus seperti mereka.
"Pagi Mbak Melati …." sapaan tetangga yang kebetulan lewat depan rumah.
"Pagi Bu." Aku menghentikan aktivitasku sejenak lalu menatap ke arahnya.
Wanita yang mengenakan daster dan juga hijab itu berjalan menghampiriku.
"Mbak Melati, semalam ada apa? Kok ribut-ribut?" tanya wanita itu dengan ekspresi wajah yang bisa ditebak, kepo.
"Nggak papa kok, Bu." Aku kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat terhenti.
"Bukannya Mbak Melati mengusir keluarga Ibu Rosita? Termasuk Mas Bima?" Wanita itu kembali bertanya membuatku menoleh ke arahnya.
"Memang kenapa ya, Bu?"
"Ya nggak papa, kan Ibu nanya. Lagian ya Mbak Melati, Mbak Melati ini apa nggak takut hidup sendiri? Udah nggak punya orang tua, sekarang malah mau cerai sama suami! Apa kata orang-orang nanti Mbak soal gelar janda yang akan disandang Mbak Melati?" Aku sudah menebak pembicaraan ini pasti ujungnya ke sana juga. Wanita yang saat berdiri di hadapanku ini memang sifatnya yang suka kepo, dia juga julid tingkat tinggi. Membuatku hanya mengulum senyum.
"Ih, Mbak Melati ini santai banget ngadepin masalah yang rumit seperti ini! Jangan-jangan Mbak Melati-"
"Maaf ya, Bu. Jika Ibu kesini cuma mau ngurusin soal masalah saya, maaf saya sibuk!" Aku langsung menyela ucapan tetanggaku itu. Hidup kok dibikin ribet. Masalah rumah sendiri aja berat ngapain ngurusin masalah tetangga. Nggak ada manfaatnya. Benar bukan?
Bab 25Melati duduk di karpet yang berada di lantai. Sedangkan Dinda dan juga Lina sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga konsentrasi mereka buyar ketika seseorang mengucap salam."Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab ketiga wanita itu bersamaan. Netra mereka sama-sama melihat ke arah sumber suara. Dimana sosok laki-laki berdiri tegak di ambang pintu. Bibirnya melengkungkan senyuman sedangkan tatapannya yang tajam langsung bisa menembus hati para wanita. Semua orang tanpa berkedip menatap laki-laki tampan tersebut. Kecuali Dinda yang nampak berdiri menyambut kehadirannya."Eh, Tomi. Kamu kok sudah datang?" Dinda menghampiri. "Iya, kata kamu datang pagi jauh lebih baik.""Oh iya, lupa. Ini kenalkan itu Mbak melati dan juga Mbak Lina." Laki-laki bernama Tomi itu tersenyum kemudian mengulurkan tangannya pada Melati dan juga Lina. Bukannya merespon Lina dan juga Melati justru diam terpesona melihat ketampanannya."Mbak!" Tangan Dinda bergerak-gerak berharap Lina dan juga M
Bab 31Melati tidak main-main dengan ucapannya. Ia memilih mobil di salah satu showroom yang ada di kotanya. Beberapa kali wanita itu dan juga para karyawanya melihat kendaraan roda empat tersebut. Hingga pilihan Melati tertuju pada mobil berwarna hitam. "Kita lihat bagaimana reaksi mereka ketika pulang bawa mobil beneran." Lina sudah tidak sabar lagi melihat bagaimana paniknya Rosita dan juga Sonya melihat mereka nantinya."Kita makan dulu yuk!" ajak Melati pada kedua karyawannya."Lagian hari ini kita kerjanya santai. Sekali-kali makan di luar kenapa enggak." Melati sumringah. Bibirnya tidak berhenti mengulas senyum. Kendaraan yang saat ini mereka beli adalah impiannya sedari dulu. Berharap dengan kendaraan ini Melati tidak khawatir jika sewaktu-waktu ia sakit atau salah satu keluarganya. Bukan berharap terjadi, namun saat ini kendaraan roda empat memang begitu dibutuhkan disaat genting. Melati juga berharap bisa memberikan banyak manfaat untuk para tetangga dengan adanya kendaraan
"Kenapa kamu melihat Ibu seperti itu, Bim? Ada yang salah? Kamu mau menuduh ibu yang tidak-tidak?" Sebelum Rosita disalahkan, ia lebih dulu membela dirinya. "Terus kalau Sonya nggak ngaku ibu juga enggak siapa dong yang merusak usaha Melati? Masa iya aku? Mana mungkin! Buat apa coba?" Bima juga membela dirinya sendiri. Semua orang diam, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Di sisi lain, Melati berjalan dengan langkah lebar. Tangannya masih menggenggam erat ponsel kemudian ia menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa. Netra wanita itu menatap langit-langit rumah kemudian ia membuang napasnya dengan kasar. Benda pipih itu pun ia letakan asal. Sedangkan kedua tangannya lantas menangkup pada wajah. Entah mengapa bayangan wajah keluarga mantan bergulir mengusik pikirannya. Melati pun membenarkan posisi duduknya menjadi tegap, pakaian yang ada di depan matanya masih terlihat sama, berantakan dan berbau kotoran ayam. Ya Tuhan, manusia seperti apa yang sudah berani melakukan hal itu? Mel
Bima yang berada di dalam kamar mandi pun menghentikan aktivitasnya. Menajamkan Indra pendengarannya sembari memastikan namanya yang di sebut-sebut. Benar saja, berulang kali laki-laki itu dipanggil membuat Bima khawatir, entah apa yang terjadi di depan sana membuat Bima segera menyelesaikan ritual mandinya."Ada apa ini? Melati, kamu benar-benar kurang ajar! Apa-apaan ini! Lepaskan Sonya!" teriak Rosita yang baru saja keluar dari rumah. Ia melihat melihat sang menantu tengah di Jambak oleh Melati. Tanpa menjawab maupun menanggapi Rosita, wanita yang saat ini tengah diselimuti amarah itu masih saja menarik rambut Sonya. Sedangkan wanita itu masih saja berteriak kesakitan."Ibu tolongin Sonya!" Sonya bersuara, ia meminta tolong pada sang mertua. Rosita yang mendengar namanya disebut dengan kekuatan penuh mencoba melerai kedua wanita itu. Namun, usia mereka yang jauh berbeda cukup membuat Rosita kewalahan. "Ada apa ini?" Bima yang sudah berada di luar langsung menghampiri. Dengan sigap
2" Nggak papa, Bu. Lagi nggak ada kerjaan aja, jadi nggak ada lembur!" ucap Sonya dengan nada malas. "Ibu nggak mau tahu, Bim. Pokoknya kamu harus bisa bawa sertifikat itu bulan ini. Bagaimanapun caranya, kalau nggak bisa dengan cara halus. Sebaiknya kamu gunakan cara kasar! Melati harus diberi tahu siapa kita yang sebenarnya! Jangan sampai dia berada di atas angin karena kita tidak berbuat apa-apa!" Terdengar helaan napas panjang dari Bima. Kemudian ia melirik ke arah sang istri. Di sisi lain Melati melanjutkan aktivitasnya menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan. Gara-gara sang mantan suami datang banyak pekerjaan yang ia tinggalkan. "Seharusnya ini sudah selesai, gara-gara Bima sontoloyo itu jadinya kesorean!" gumam Melati seorang diri. Lina dan juga Dinda yang mendengarnya seketika menoleh ke arah sumber suara. "Sudahlah, Mel. Kamu harus hati-hati, keluarga suamimu. Opss, sorry mantan maksud aku. Bisa jadi mereka merencanakan sesuatu." Lina ikut memberikan tanggapan."Seharusn
"Kamu ngapain sih, Mas. Ke rumah mantanmu yang nggak jelas itu? Kamu mau minta balikan ha? Atau jangan-jangan kamu minta tinggal di rumah ini gara-gara dia lagi!" ucap Sonya sembari berkacak pinggang."Ingat ya, semua tagihan kamu sama rentenir itu aku yang bayar dan juga hidupmu aku yang tanggung! Jadi, kamu harusnya sadar diri jangan jadi laki-laki nggak punya pendirian!" Bima yang mendengar penuturan sang istri sontak matanya membulat sempurna. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Ya, setelah status duda ia sandang laki-laki itu lantas menikahi Sonya sebagai pengganti Melati. Meskipun mereka sudah saling mengenal ketika Bima masih sah menjadi suami Melati. Dulu wanita itu teman sekantor Bima, tetapi saat ini mereka berbeda kantor Bima dipindahkan ke anak perusahaan yang baru saja didirikan. "Pelankan suaramu itu, Sonya. Malu didengar banyak orang!" ucap Bima sembari melirik ke sembarang arah. Bima juga pastinya malu jika Melati melihat pemandangan ini. Dimana Bima tidak berani