Share

Bab 6

BAB 6

Semilir angin terasa begitu sejuk di siang ini. Kicauan burung seakan sahut menyahut bergantian. Aku yang tengah duduk di kursi meja makan memandang jauh keluar. Berharap semuanya hanya mimpi. Mimpi buruk jika aku terbangun semua akan berubah menjadi baik-baik saja.

Akan tetapi semua harapan dan mimpi itu nyata adanya. Perpisahan akan segera aku hadapi sendirian. Tidak terasa bulir-bulir air mata itu kembali mengalir.

'Maafkan Melati, Pak, Bu. Melati gagal mempertahankan rumah tangga ini. Melati tidak bisa lagi menjalani sesuatu yang Melati anggap melebihi batas," gumamku dalam hati. Aku menekan dada ini kuat-kuat, terasa begitu sesak seakan ada batu besar yang tengah menghimpit. 

Tidak ada sandaran, tidak ada tangan yang mengusap air mata.

Tidak aku pungkiri hatiku masih ada ruang untuk laki-laki yang bernama Bima, laki-laki yang  pernah mengisi hari dan juga kekosongan ini. Memberikan warna dengan jutaan tawa. Akan tetapi, akhir dari semua hanya air mata.

Tuling

Satu pesan masuk, membuat aku segera menghapus jejak air mata. Nama Mas Bima tertera jelas di sana. 

[Melati, bisa kita bicara? Tapi tidak di rumah. Kita bisa ketemu di rumah makan yang biasa dulu kita kunjungi. Ada hal penting yang harus kita selesaikan.] 

Hanya aku baca, tidak ada niatan untuk membalasnya. Tidak berapa lama Mas Bima menghubungiku. Berkali-kali nada dering itu menjerit-jerit ingin segera diangkat. Namun, tidak aku indahkan. Justru aku menyalakan televisi yang ada di dapur. 

Tok … tok.

Terdengar ketukan pintu dari luar. Membuat aku segera mematikan televisi. Beranjak dari duduk kemudian berjalan menuju pintu utama.

Gorden jendela kusibak, melihat siapa gerangan yang bertamu. Alangkah terkejutnya aku, ketika wanita tua yang kemarin masih tinggal satu atap denganku datang.

"Ada apa lagi ini?" gumamku pelan. Suara pintu itu kembali di gedor. Membuatku segera membukanya.

Ceklek

"Lama banget sih buka pintunya, dasar wanita mandul!" ucap Ibu penuh penekanan. 

Deg

Kata-kata Ibu mertua benar-benar menggores hati. Lidahnya yang tajam bak belati, bisa menikam siapa saja dan kapanpun.

Gelar mandul kini ia sempatkan kepadaku, calon mantan menantu. Padahal usia pernikahan kami baru menginjak satu tahun. Secepat itukah memberi cap mandul kepadaku? Benar-benar keterlaluan.

"Ada perlu apa Ibu kemari?" tanyaku dengan mati-matian menahan amarah. Aku masih waras. Masih memiliki tata krama. Tidak akan mungkin aku melawan beliau yang statusnya sebagai orang tua. 

"Ibu kesini cuma mau ngasih tahu kamu ya, Melati. Jangan pernah kamu minta Bima datang lagi ke rumah ini! Ingat itu, Bima sudah memiliki calon istri yang lain. Wanita yang tidak sombong dengan harta yang tidak seberapa. Yang pasti wanita itu tidak mandul sepertimu!" Ibu mertuaku mencebik, tangannya ia lipat di depan dada. 

Ada yang tercubit di hati. Calon istri? Secepat itu? Pengajuan gugatan cerai saja belum aku layangkan dan kini Mas Bima sudah memiliki calon istri. Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini.

"Kita lihat Melati, siapa yang akan bahagia setelah perpisahan ini. Kamu atau Bima. Dan Ibu pastikan kamu akan menderita selama-lamanya." 

"Ibu Rosita … sebaiknya Ibu itu memperbaiki diri. Bukan malah menghujat sana-sini! Ingat umur, Bu!" ucapku dengan sikap setenang mungkin. Menghadapi manusia Seperti ibu harus bersikap pintar.

"Maksud kamu apa, Melati? Kamu nyumpahin Ibu mati? Ha?" Urat leher Ibu terlihat menegang. Itu artinya wanita itu tengah menahan amarah.

"Melati tidak pernah berucap demikian."

"Lalu apa itu namanya? Benar-benar menantu tidak tahu diri!" Tangan Ibu terangkat ke atas. Hendak melayangkan tamparan kepadaku. Akan tetapi, dengan cepat tangan ini menepisnya. 

"Assalamualaikum, Ibu Rosita," salam disampaikan dari seorang wanita yang sudah berdiri di belakang Ibu mertua. Entah kapan wanita itu datang.

Wanita yang berstatus sebagai RT itu menatapku sekilas lalu menunduk memberi senyum.

Ibu mertua lantas menarik tangannya dengan kasar. Lalu memutar badannya ke arah Ibu RT.

"A-ada apa ya Bu RT?" tanya Ibu dengan terbata.

"Maaf Ibu Rosita, kedatangan saya kesini mau minta uang arisan. Ibu sudah menunggak tiga bulan. Saya dengar dari warga kalau Ibu sudah tidak tinggal di rumah Mbak Melati. Kebetulan Ibu ada di sini makanya saya datang kemari!" Senyum Ibu RT itu membuatku turut tersenyum.  Ibu mertua menoleh ke sana kemari. Dan mata itu akhirnya tertuju padaku. Netra kami sempat bertemu. Akan tetapi, aku langsung melempar pandangan ke sembarang arah.

"Bagaimana Ibu, mau dibayar sekarang? Totalnya  tiga ratus ribu," sahut Ibu RT kembali. 

"Sa-saya tidak bawa yang itu, Bu." Ibu mertuaku beralasan.

"Atau pinjam dulu sama Mbak Melati. Nanti Ibu tinggal ganti sama Mbak Melati seperti biasanya." Senyum Ibu mertuaku merekah. Lalu wanita itu hendak mendekat. Jika dulu aku langsung mengiyakan. Dan uang yang digunakan Ibu mertuaku itu tidak pernah kembali tapi tidak untuk saat ini. Aku tidak mau lagi keluar uang sepeserpun untuknya.

"Maaf, Bu. Saya mau pergi, saya tidak ada urusan lagi sama Ibu Rosita. Jadi soal lainnya Ibu bisa langsung berurusan dengan beliau!" Langsung aku menutup pintu kemudian menguncinya rapat-rapat. Helm yang berada diatas motor segera aku kenakan. Menstarter motor dan berniat meninggalkan kedua wanita itu.

Belum juga motor ini melaju, ibu mertua memanggilku.

"Mau kemana kamu Melati?" tanya Ibu dengan mimik muka pucat pasi. 

"Mau jalan-jalan, Bu. Kan habis gajian. Assalamualaikum Bu RT." Aku terkekeh kemudian  berpamitan dengan  Bu RT tidak lupa aku melambaikan tangan. Ibu terlihat melotot, dia tidak percaya aku akan meninggalkannya sendiri menghadapi tagihan arisan yang tidaklah sedikit.

.

Motor matic itu meluncur menuju rumah Lina, sahabatku. Beruntung dia ada dirumah. Karena kedatanganku begitu mendadak, tidak sempat memberitahu terlebih dahulu. Entah apa yang terjadi dengan mertuaku di rumah. Mungkin tengah pusing.

"Kamu kok nggak bilang-bilang mau ke sini?" tanya Lina sembari menjatuhkan bokongnya di kursi.

"Suntuk di rumah sendirian!" jawabku apa adanya.

"Eh kamu serius mengusir mereka?" tanya Lina. Jiwa keponya meronta-ronta. Karena semalam aku sempat berbalas pesan dengan janda beranak satu itu soal pengusiran keluarga Mas Bima dari rumah.

"Seriuslah, malah sebelum ke sini Ibu mertuaku datang. Dia mewanti-wanti aku jangan sampai meminta anaknya untuk kembali." Aku meletakan benda pipih di atas meja. 

"Terus kamu bilang apa?" tanya Lina dengan raut wajah serius.

"Ya enggak lah, kembali sama Mas Bima? Enak aja!" Luka hatiku sembuh begitu saja setelah mendengar pernyataan mertuaku tadi. Berarti keputusanku berpisah, sudah tepat adanya.

"Betul, kamu harus tegas! Terus sekarang kamu mau kemana?"

"Nah, itu dia."

"Gimana kalau kita jalan-jalan. Kita seneng-seneng." Kedua alis Lina terangkat bersamaan dengan senyumnya merekah.

"Boleh. Kita belanja, kita seneng-seneng, makan-makan!" jawabku antusias.

"Aku bawa anak nggak papa kan?" tanya Lina, wanita itu beranjak dari duduknya lalu menatapku dengan seksama.

"Nggak papa lah!" 

"Oke let's go …."

Aku bersama Lina pergi ke salah satu mall terbesar di kota. Membeli pakaian dan juga beberapa kebutuhan rumah. Entah mengapa, pikiranku soal perceraian yang tadi terasa berat kini berubah menjadi hal biasa saja. 

Berharap proses itu segera selesai. 

Kedua tanganku penuh dengan kantong belanjaan. Membuatku sedikit kewalahan.

Bruk

Aku menabrak seseorang membuat kantong belanjaan itu jatuh ke lantai. 

"Hati-hati dong, kalau jalan itu pakai mata!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status