“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.
Bagai kena petir di siang bolong, tangisku seketika menjadi-jadi mendengar penjelasan bunda. Bagaimana bisa hari bahagia dilaksanakan di saat seperti ini. Endruw datang memelukku, dia mengusap-usap rambutku berusaha menenangkan. Air mata yang mengalir sederas hujan membasahi bagian dada baju putih yang dipakai Endruw.
“Kamu harus kuat ya Fir, semua untuk kebaikan kita. Saya akan selalu menjaga kamu.” Ucap Endruw sambil mengecup keningku.
Aku tak kuasa untuk bergerak dari tempat dudukku semula, hanya terdiam sambil melihat jenasah mama yang sudah terbungkus rapi. Bunda dan beberapa paman bibiku mulai sibuk menyiapkan pernikahan mendadak ini. Semua orang berjalan kesana kemari dengan kesibukan masing-masing. Mungkin mereka juga bingung harus bahagia atau sedih dengan keadaan ini, namun mereka tetap berfikir untuk kebaikanku. Pernikahan ini harus dilakukan secepat mungkin, agar jenazah mama bisa segera dimakamkan.
Kulihat Endruw juga sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu. Aku berusaha untuk bangkit dari dudukku, kemudian berjalan menemui Endruw. Ada sebuah dorongan dari hatiku yang menyuruhku untuk menemui Endruw dan menanyakan sesuatu. Meskipun aku sendiri masih tidak yakin dengan apa yang akan aku tanyakan padanya. Apakah saat seperti ini tepat untuk menanyakan hal itu? Ada satu pertanyaan yang ingin aku tanyakan, pertanyaan yang selama ini menghantuiku berkecamuk di hatiku. Apakah Endruw mencintaiku?
Dengan kaki yang terasa ngilu aku berjalan mendekati Endruw. Belum sempat tanganku meraih pundaknya, dia sudah membalikkan tubuhnya. Membuatku terhenyak saat melihat pandangan matanya yang sangat tulus menatap ke arahku dengan penuh kasih sayang. Tanpa berkata apapun dia merangkul tubuhku yang memang seperti tidak punya daya dan upaya untuk berdiri tegak.
“Ada apa? Kamu duduk saja disini, saya dan yang lain akan menyiapkan semuanya.” Kata Endruw sambil mendudukanku di kursi yang ada di sebelahnya.
“Sebentar lagi semuanya akan siap. Kuatkan hati kamu sayang! Ini sudah jalan yang ditentukan Tuhan buat kita. Kita hanya bisa menerima semua ini dengan sabar dan selalu mendoakan mama agar mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya. Aku akan selalu bersamamu dan menjagamu.” Ucapnya lagi seraya duduk di depanku sambil mengusap air mata di pipiku.
Hatiku bagai tercabik, bagaimana mungkin aku bisa meragukan Endruw? Dia tidak pernah mengatakan cinta untukku, namun semua yang dia lakukan untukku apa masih belum bisa membuktikan cintanya? Sebegitu butanya kah aku sampai tidak bisa melihat sebuah ketulusan dan kesungguhan dari seorang Endruw. “Maafkan aku Endruw, aku sempat meragukanmu”, kataku lirih yang sama sekali tidak terdengar oleh Endruw.
“Mas Endruw ini minumnya.” Kata Riko sambil memberikan segelas air putih kepada Endruw. Ternyata Endruw sempat meminta Riko mengambilkan air putih untukku.
Endruw menyuruhku untuk minum. Aku menolak, namun dengan sabar dia mengangkat gelas tersebut sampai di bibirku dan mau tidak mau aku meneguknya juga.
Hanya sekitar setengah jam persiapan pernikahan semua sudah siap. Hanya akad nikah sederhana. Sama sekali tidak sesuai dari apa yang kami rencanakan sebelumnya. Akad nikah dan resepsi dengan tema kebun, dekorasi yang indah, pakaian pengantin mewah, makanan yang lezat, semua yang telah kami rencanakan sebelumnya sia-sia. Sebaik-sebaiknya rencana manusia, Tuhan lah yang menentukan akhirnya.
Bibi memintaku berganti pakaian dengan kebaya pengantin yang kebetulan sudah jadi, namun bunda mengatakan jika aku tidak perlu memakai kebaya. Bunda sangat paham dengan apa yang aku rasakan. Aku tidak akan bisa tampil cantik di saat seperti ini.
Aku duduk di sebelah Endruw, saat dia menjabat tangan pamanku sambil mengucap ijab qabul. Suaranya lantang, dengan sekali nafas dia berhasil mengucap kalimat sakral ijab qabul. Suara sah..sah.. Terdengar bersahutan dari beberapa orang saksi yang ada di situ. Kemudian Pak Penghulu membacakan doa pernikahan. Aku menjabat tangan dan mencium punggung tangan Endruw. Saat ini aku sah menjadi Nyonya Endruw.
Kulihat Rani dan beberapa teman kantorku juga ada di sini, mereka mengikuti prosesi ijab qobulku dengan wajah sedih.
Setelah selesai ijab qobulku, Endruw dan yang lain segera mempersiapkan keberangkatan mama ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Rani datang menghampiriku dan segera memelukku saat merasakan tubuhku mulai tergoncang waktu menyaksikan keranda mama sudah mulai diangkat.
Seketika dunia terasa gelap, suara orang-orang di sekitarku menjadi semakin lirih dan akhirnya hilang.
***
Tubuhku terasa berat, hidungku terasa panas dan aku aroma minyak kayu putih terasa sangat menyengat di hidungku. Membuatku membuka mata.
“Firza, kamu sudah bangun”, kata Rani mengusap wajahku. Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi, dan dadaku terasa sangat perih saat ingat bahwa mama sudah pergi untuk selama-lamanya. Air mataku mengalir dengan sangat deras kembali. Seakan tidak pernah kering, air mataku tidak mau berhenti.
Rani memelukku erat, “kamu masih punya aku Fir, ada Endruw, ada bunda. Kamu enggak sendiri Fir, kita disini buat kamu. Ini yang terbaik buat mama. Kita sekarang hanya bisa mendoakan agar mama tenang disana dan mendapatka tempat yang indah di sisi-Nya”, bisik Rani menengangkanku. Aku tahu Rani juga pasti sangat kehilangan, sama seperti mama dia juga menganggap mamaku sebagai ibunya sendiri.
Banyak sekali kenangan yang telah kami lalui bertiga. Dan saat-saat seperti inilah kenangan-kenangan dan penyesalan-penyesalan muncul. Ya.. Saat kita kehilangan seseorang kita baru akan menyadari betapa sayangnya kita pada orang tersebut. Betapa menyesalnya kita karena belum bisa membahagiakannya. Hanya doa yang bisa kita panjatkan.
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua