Share

BAB 7 MY SAD WEDDING (II)

“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.

Bagai kena petir di siang bolong, tangisku seketika menjadi-jadi mendengar penjelasan bunda. Bagaimana bisa hari bahagia dilaksanakan di saat seperti ini. Endruw datang memelukku, dia mengusap-usap rambutku berusaha menenangkan. Air mata yang mengalir sederas hujan membasahi bagian dada baju putih yang dipakai Endruw.

“Kamu harus kuat ya Fir, semua untuk kebaikan kita. Saya akan selalu menjaga kamu.” Ucap Endruw sambil mengecup keningku.

Aku tak kuasa untuk bergerak dari tempat dudukku semula, hanya terdiam sambil melihat jenasah mama yang sudah terbungkus rapi. Bunda dan beberapa paman bibiku mulai sibuk menyiapkan pernikahan mendadak ini. Semua orang berjalan kesana kemari dengan kesibukan masing-masing. Mungkin mereka juga bingung harus bahagia atau sedih dengan keadaan ini, namun mereka tetap berfikir untuk kebaikanku. Pernikahan ini harus dilakukan secepat mungkin, agar jenazah mama bisa segera dimakamkan.

Kulihat Endruw juga sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu. Aku berusaha untuk bangkit dari dudukku, kemudian berjalan menemui Endruw. Ada sebuah dorongan dari hatiku yang menyuruhku untuk menemui Endruw dan menanyakan sesuatu. Meskipun aku sendiri masih tidak yakin dengan apa yang akan aku tanyakan padanya. Apakah saat seperti ini tepat untuk menanyakan hal itu? Ada satu pertanyaan yang ingin aku tanyakan, pertanyaan yang selama ini menghantuiku berkecamuk di hatiku. Apakah Endruw mencintaiku?

Dengan kaki yang terasa ngilu aku berjalan mendekati Endruw. Belum sempat tanganku meraih pundaknya, dia sudah membalikkan tubuhnya. Membuatku terhenyak saat melihat pandangan matanya yang sangat tulus menatap ke arahku dengan penuh kasih sayang.  Tanpa berkata apapun dia merangkul tubuhku yang memang seperti tidak punya daya dan upaya untuk berdiri tegak.

“Ada apa? Kamu duduk saja disini, saya dan yang lain akan menyiapkan semuanya.” Kata Endruw sambil mendudukanku di kursi yang ada di sebelahnya.

 “Sebentar lagi semuanya akan siap. Kuatkan hati kamu sayang! Ini sudah jalan yang ditentukan Tuhan buat kita. Kita hanya bisa menerima semua ini dengan sabar dan selalu mendoakan mama agar mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya. Aku akan selalu bersamamu dan menjagamu.” Ucapnya lagi seraya duduk di depanku sambil mengusap air mata di pipiku.

Hatiku bagai tercabik, bagaimana mungkin aku bisa meragukan Endruw? Dia tidak pernah mengatakan cinta untukku, namun semua yang dia lakukan untukku apa masih belum bisa membuktikan cintanya? Sebegitu butanya kah aku sampai tidak bisa melihat sebuah ketulusan dan kesungguhan dari seorang Endruw. “Maafkan aku Endruw, aku sempat meragukanmu”, kataku lirih yang sama sekali tidak terdengar oleh Endruw.

“Mas Endruw ini minumnya.” Kata Riko sambil memberikan segelas air putih kepada Endruw. Ternyata Endruw sempat meminta Riko mengambilkan air putih untukku.

Endruw menyuruhku untuk minum. Aku menolak, namun dengan sabar dia mengangkat gelas tersebut sampai di bibirku dan mau tidak mau aku meneguknya juga.

Hanya sekitar setengah jam persiapan pernikahan semua sudah siap. Hanya akad nikah sederhana. Sama sekali tidak sesuai dari apa yang kami rencanakan sebelumnya. Akad nikah dan resepsi dengan tema kebun, dekorasi yang indah, pakaian pengantin mewah, makanan yang lezat, semua yang telah kami rencanakan sebelumnya sia-sia. Sebaik-sebaiknya rencana manusia, Tuhan lah yang menentukan akhirnya.

Bibi memintaku berganti pakaian dengan kebaya pengantin yang kebetulan sudah jadi, namun bunda mengatakan jika aku tidak perlu memakai kebaya. Bunda sangat paham dengan apa yang aku rasakan. Aku tidak akan bisa tampil cantik di saat seperti ini.

Aku duduk di sebelah Endruw, saat dia menjabat tangan pamanku sambil mengucap ijab qabul. Suaranya lantang, dengan sekali nafas dia berhasil mengucap kalimat sakral ijab qabul. Suara sah..sah.. Terdengar bersahutan dari beberapa orang saksi yang ada di situ. Kemudian Pak Penghulu membacakan doa pernikahan. Aku menjabat tangan dan mencium punggung tangan Endruw. Saat ini aku sah menjadi Nyonya Endruw.

Kulihat Rani dan beberapa teman kantorku juga ada di sini, mereka mengikuti prosesi ijab qobulku dengan wajah sedih.

Setelah selesai ijab qobulku, Endruw dan yang lain segera mempersiapkan keberangkatan mama ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Rani datang menghampiriku dan segera memelukku saat merasakan tubuhku mulai tergoncang waktu menyaksikan keranda mama sudah mulai diangkat.

Seketika dunia terasa gelap, suara orang-orang di sekitarku menjadi semakin lirih dan akhirnya hilang.

***

Tubuhku terasa berat, hidungku terasa panas dan aku aroma minyak kayu putih terasa sangat menyengat di hidungku. Membuatku membuka mata.

“Firza, kamu sudah bangun”, kata Rani mengusap wajahku. Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi, dan dadaku terasa sangat perih saat ingat bahwa mama sudah pergi untuk selama-lamanya. Air mataku mengalir dengan sangat deras kembali. Seakan tidak pernah kering, air mataku tidak mau berhenti.

Rani memelukku erat, “kamu masih punya aku Fir, ada Endruw, ada bunda. Kamu enggak sendiri Fir, kita disini buat kamu. Ini yang terbaik buat mama. Kita sekarang hanya bisa mendoakan agar mama tenang disana dan mendapatka tempat yang indah di sisi-Nya”, bisik Rani menengangkanku. Aku tahu Rani juga pasti sangat kehilangan, sama seperti mama dia juga menganggap mamaku sebagai ibunya sendiri.

Banyak sekali kenangan yang telah kami lalui bertiga. Dan saat-saat seperti inilah kenangan-kenangan dan penyesalan-penyesalan muncul. Ya.. Saat kita kehilangan seseorang kita baru akan menyadari betapa sayangnya kita pada orang tersebut. Betapa menyesalnya kita karena belum bisa membahagiakannya. Hanya doa yang bisa kita panjatkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status