Share

BAB 5. POV SHENA

last update Last Updated: 2024-11-19 14:09:41

"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--"

"Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.

Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis.

"Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya.

"Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak.

"Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Irah. Karena pengasuhnya Vika itu kan selalu pulang bersama Bi Sumi," lanjutku, berusaha mengalihkan pembicaraan agar Irma tidak terlalu larut dalam kesedihan di hatinya.

Bi Sumi merupakan seorang wanita paruh baya yang mengabdikan hidupnya di rumahku sebagai asisten rumah tangga. Setiap harinya, Bi Sumi bekerja mulai pukul enam pagi hingga pukul enam sore. Saat waktu bekerja telah selesai, Bi Irah selalu mampir ke rumah ini agar bisa pulang bersama dengan Bi Sumi.

Akhirnya Irma pamit, untuk kembali ke rumahnya. Aku menggandeng lengan Ibu mertua untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Neng Shena, Bibi siapkan air panas untuk mandi, ya?" ujar Bi Sumi ketika aku sudah berada di dalam rumah. 

Ibu mertuaku telah lebih dulu masuk ke kamar tamu untuk beristirahat sejenak dan membersihkan dirinya.

"Terima kasih, Bi, nanti biar Shena yang siapkan sendiri," jawabku dengan singkat. Rasanya tubuh dan pikiranku terlalu lelah untuk berkomunikasi dengan siapa pun. Sepertinya aku memang harus istirahat.

"Ya sudah, kalau begitu Bibi siapkan untuk makan malam dulu, ya, Neng," pamit Bi Sumi yang kemudian berlalu menuju ruang makan.

Aku yang masih duduk di ruang tamu masih berpikir, rencana apa yang harus kulakukan untuk memberi pelajaran pada Vidya, si Kasir tak tahu diri yang telah berani merebut Mas Arya dariku.

Gegas aku berdiri, kemudian berjalan menuju ruang makan.

"Bi Sumi, apa Bibi hari ini masak banyak?" tanyaku pada wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri.

"Nggak terlalu banyak juga, Neng. Seperti biasa, hanya cukup untuk Neng Shena, Bu Surti, Den Arya, sama Non Sheira." Jawab Bi Sumi yang tangannya masih sibuk menata menu di meja makan.

"Gini, Bi, karena Sheira malam ini masih menginap di rumah Mbak Ana, jadi sebagian masakan ini Bibi bungkus aja, bawa pulang, ya?" titahku pada asisten rumah tangga itu.

Bi Sumi mengerutkan alisnya.

"Terima kasih, Neng, tidak usah. Bibi kan sudah makan," tolak Bi Sumi secara baik-baik.

Ah, Bi Sumi memang selalu begitu. Menolak jika aku perintahkan untuk membawa makanan dari sini.

Akhirnya, aku yang membungkus makanan tersebut. Kemudian memberikannya pada beliau.

"Bi, pokoknya Bibi bawa makanan ini, ya? Ehm ... mulai besok, Bi Sumi nggak usah kerja di sini lagi," ucapku dengan hati-hati.

Seketika, wajah Bi Sumi nampak terkejut. Kemudian kedua netra wanita paruh baya itu berembun.

"Neng Shena pecat Bibi, ya? Apa Bibi sudah terlalu tua, sehingga Neng Shena sudah tidak membutuhkan tenaga Bibi lagi?" tanya Bi Sumi dengan nada suara yang bergetar.

Ah, aku tidak tega melihatnya. Seharusnya aku jelaskan lebih awal, kalau aku bukan memecatnya.

"Bi, tolong Bi Sumi jangan salah paham. Shena nggak pecat Bi Sumi, kok. Mana bisa Shena pecat Bibi. Almarhum Mama dan Papa saja menitipkan Shena pada Bibi," ucapku dengan nada suara yang ikut bergetar. Aku jadi ikut sedih jika melihat Bi Sumi sedih begitu.

"Begini, Bi, untuk sementara Shena mau agar Bibi bekerja di rumah Shena yang satu lagi, karena ...," aku membisikkan sesuatu di telinga Bi Sumi, karena khawatir jika Mas Arya dan Vidya telah kembali.

"Oh, begitu? Kalau itu sih Bibi setuju banget, Neng. Jujur aja, pas tadi siang melihat kejadian itu, Bibi kaget. Maaf ya, Neng, Bibi nggak tahu kalau Den Arya datang sama si perempuan sundal itu, karena Bibi ke pasarnya kesiangan." Bi Sumi menunduk dengan raut wajah yang nampak merasa bersalah padaku.

Bi Sumi termasuk wanita yang sangat membenci perselingkuhan. Karena beliau sama sepertiku, dikhianati oleh suami yang sangat kucintai. 

Saat semua makanan yang ada di atas meja makan sudah ku bungkus untuk Bi Sumi, dan satu porsi untuk ibu mertua sudah ku simpan di kamar beliau, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara dua orang yang sedang berdebat memasuki ruang tamu.

Aku memberikan kode pada Bi Sumi untuk segera pulang, karena Bi Irah sudah duduk di teras menunggu beliau.

Wanita paruh baya itu pamit, tak lama kemudian muncul sepasang pengantin baru yang penampilannya sungguh berantakan karena butiran keringat terlihat jelas di kening mereka berdua.

"Sayang, tolong siapkan pakaian, aku mau mandi, gerah banget." Perintah Mas Arya yang langsung berlalu menuju kamar kami.

"Mas, aku ikut," pinta Vidya dengan nada suara yang terdengar manja. Kedua tangannya bergelayut di lengan suamiku yang kekar.

Aku yang melihat pemandangan tersebut merasa jengkel. Lihat saja, tak akan kubiarkan kalian bermesraan lagi di rumah ini.

"Vidya, Mas Arya itu mau masuk ke kamarku," ucapku dengan lembut, "aku sudah memberikan suamiku padamu, bukan berarti aku mengizinkanmu untuk menggunakan kamarku lagi."

"Mbak Shena, kami kan pengantin baru. Masa Mbak tega banget, sih, mau pisahin kami berdua. Aku cuma mau pinjam kamarnya sebentar aja, lho!" Ucap Vidya dengan tidak tahu diri.

"Kalau Mbak Shena merasa terganggu saat aku dan Mas Arya menggunakan kamar itu, sebaiknya Mbak pindah kamar aja!" lanjut si pelakor itu dengan entengnya. Sepertinya urat malu dalam dirinya benar-benar sudah tak berfungsi. Atau mungkin memang sudah putus?

Jujur saja, aku sangat geram mendengarnya. Tapi, aku coba menata hati, agar bisa berbicara dengan tenang pada wanita ular itu.

"Kamu mau menggunakan kamarku untuk bermesraan dengan suami kita?" tanyaku pada Vidya. Kemudian, kedua netraku menatap Mas Arya yang nampak salah tingkah.

Vidya menganggukkan kepalanya, mungkin dia merasa jika aku telah memberikan lampu hijau padanya. Enak saja!

"Kamu boleh tinggal di rumah ini, tapi bukan berarti kamu bisa menggunakan kamarku juga, Vidya Sayang!" Tuturku dengan manis, kemudian menghampirinya.

"Dengar, kamu itu hanya menikmati pria bekasku. Jadi, untuk kamar pun aku akan memberikan tempat yang sangat tepat buat kamu." Bisikku ditelinga Vidya.

"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 79. AULIA KECEWA

    Ervan hanya mengangguk kecil menanggapi Aulia yang barusan mengucapkan terima kasih. Wajahnya tetap tenang, meski terlihat sedikit lelah. Ia lalu menghampiri Shena yang duduk di samping ranjang Sheira."Aku pamit dulu ya, Shena. Mau pulang sebentar, ganti pakaian. Hari ini ada jadwal mengajar di kampus juga," ujarnya dengan nada sopan dan tampak tergesa.Shena menatap Ervan sejenak lalu mengangguk. "Iya, Mas Ervan. Terima kasih banyak ya, sudah repot-repot membantu dan menemani kami sejak tadi malam."Ervan tersenyum tipis. "Tidak usah berterima kasih. Ini memang sudah menjadi tugasku. Kamu juga harus jaga kesehatan, ya."Ervan lalu melirik sekilas pada Aulia yang berdiri tidak jauh dari ranjang Sheira. "Aulia, saya duluan ya."Aulia mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan raut kecewa yang jelas terpancar di wajahnya. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan."Begitu Ervan meninggalkan ruangan, Aulia berdiri terdiam beberapa saat, menatap pintu yang baru saja tertutup. Dadanya sesak. Ia merasa

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 78. BERTEMU ERVAN

    Arya duduk di tepi ranjang, menatap wajah kecil Arvi yang terlelap. Jari-jarinya mengusap pelan rambut bocah itu, perasaan sayang bercampur dengan kekecewaan yang sulit ia ungkapkan. Sudah hampir dua bulan ia menjalani peran sebagai ayah bagi Arvi, menganggapnya sebagai darah daging sendiri, tapi kenyataan yang Vidya sembunyikan begitu menyakitinya.Ia menarik napas dalam, lalu menoleh sekilas ke arah Vidya yang masih duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya. Perempuan itu tampak lelah. Sejak semalam, Vidya tak berhenti memperhatikannya, seolah takut ia akan pergi begitu saja.Arya tahu bahwa Vidya bisa merasakan sikap dinginnya. Ia tak lagi berbicara dengan nada lembut, tak lagi menatap istrinya dengan kehangatan seperti dulu. Semua terasa berbeda sejak rahasia itu terungkap.Setelah beberapa saat, Arya bangkit dari kursinya. Ia mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi dan melangkah ke arah pintu.Vidya langsung menoleh."Kamu mau ke mana, Mas?" tanya wanita itu, suaranya terde

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 77. VIDYA MARAH

    Shena merasakan darahnya mendidih mendengar ucapan Arya. Matanya menatap tajam ke arah pria itu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya."Apa maksudmu dengan mengatakan aku tidak bisa merawat anakku sendiri?" suaranya bergetar, menahan kemarahan yang siap meledak. "Sejak kapan kau peduli, Mas? Sebelum kita bercerai, di mana kau saat Sheira sakit? Di mana kau saat dia menangis mencari ayahnya?"Arya mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Jangan membalikkan keadaan, Shena. Aku tidak pernah menelantarkan Sheira!"Shena tertawa miris. "Oh, ya? Lalu kenapa selama ini kau tidak pernah menanyakan keadaannya? Kenapa harus menunggu sampai dia terbaring di ranjang rumah sakit baru kau muncul dan bersikap seperti seorang ayah yang bertanggung jawab?"Arya terdiam. Ia tahu Shena benar. Tapi egonya tak membiarkannya mengakui kesalahannya begitu saja."Aku tidak tahu dia sakit," jawab Arya akhirnya, suaranya sedikit melembut. "Jika aku tahu, aku tidak akan tinggal di

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 76. SHEIRA MASUK RUMAH SAKIT

    Arya ingin mengomel lebih banyak, tapi tangis Arvi kembali pecah. Ia menambah kecepatan mobilnya.Sesampainya di rumah sakit, seorang perawat segera membawa Arvi ke ruang pemeriksaan. Arya dan Vidya bergegas mengikuti, wajah mereka penuh kecemasan.Seorang dokter anak datang tak lama kemudian. Wanita berusia sekitar 40-an itu memeriksa Arvi dengan saksama, menyentuh dahinya, membuka popoknya, lalu memeriksa tenggorokannya dengan senter kecil."Demamnya tinggi, hampir 39 derajat. Sejak kapan mulai rewel begini?" tanya dokter itu sambil mencatat sesuatu di clipboard."Sejak tadi siang, Dok," jawab Vidya dengan cepat. "Tapi dari tadi malam Arvi udah mulai susah tidur."Dokter mengangguk. "Apakah dia masih mau menyusu?"Vidya menggeleng. "Nggak, Dok. Aku udah coba berkali-kali, tapi dia nolak terus."Dokter terlihat berpikir sejenak, lalu berkata, "Dari gejalanya, kemungkinan besar ini infeksi saluran pernapasan atas. Biasanya pada bayi seusia ini, bisa disebabkan oleh virus atau bakteri.

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 75. ARVI DEMAM

    Arya menghela napas panjang saat mobilnya melaju di jalan raya yang mulai ramai oleh kendaraan sore itu. Matanya masih terlihat kosong, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Shena dan Sheira yang kini tampak bahagia bersama Ervan. Dadanya sesak, tapi ia berusaha mengabaikan perasaan itu.Di sampingnya, Anna melirik Arya sekilas. Ia bisa melihat betapa terpukulnya sang adik tahu bahwa tak ada gunanya terus membahas hal itu sekarang. Yang terpenting, Arya harus menenangkan diri dan tidak bertindak gegabah."Arya, tolong antar ke rumah Mbak saja. Hari ini Mas Lukman mau mengantar Luna ke rumah," ucap Anna dengan lembut, menyebut nama putrinya.Arya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu betapa pentingnya momen itu bagi Anna. Setelah perceraian, Anna dan mantan suaminya memang sepakat untuk tetap berbagi waktu dengan Luna, meskipun hubungan mereka tidak bisa dibilang baik."Tapi setelah itu, kamu langsung pulang, ya?" lanjut Anna, menatap Arya dengan khawatir.Arya hanya diam, tidak me

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 74. PENYESALAN ARYA

    Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status