Dokter Fredy meninggalkan Rena sendiri. Menyisakan sejuta sesal yang tak mungkin bisa diulang. Rena menangis hanya untuk melepaskan pedihnya hati.
Diliriknya jam dinding yang menunjukan pukul 21.30, Rena bergegas merapihkan pakaiannya, dan segera beranjak dari hotel itu. Dia tidak ingin jika sang Ibu cemas, karena belum mendapatinya kembali hinggal selarut ini.
Walau jiwa dan raganya sakit, Rena berusaha menyembunyikan serapih mungkin. Mengemasnya dengan sebuah senyum palsu, mengikatnya dengan kepura-puraan agar tak ada seorang pun tahu.
Saat tiba di rumah sakit, seorang suster sepertinya sudah menunggu kedatangannya. Perempuan berseragam putih itu memanggil Rena dari tempat duduknya di Nurse Station. Rena pun mendekat.
"Mbak, beberapa jam lagi Bu Lasti harus puasa, sebelum operasi. Dari jam satu malam nanti, Bu Lastri sudah mulai puasanya ya, Mbak. Sekarang masih boleh makan dan minum. Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh keluarga pasien," ucapnya, kemudian memberikan satu map berisi berkas yang ia jelaskan, membukanya, lalu menunjukan di mana saja Rena harus tanda tangan.
"Jadi, sudah pasti besok ibu saya dioperasi ya, Sus?" tanya Rena memastikan. Suster itu mengangguk.
"Insya Allah, Mbak. Jadwalnya sudah ada, dan Dokter Fredy pun sudah siap. Bu Lastri harus tenang jangan sampai tegang, apa lagi susah tidur nanti tensi darahnya jadi naik. Itu bahaya, Mbak. Tolong dibuat senyaman mungkin, ya!" pintanya, dibalas anggukan pelan oleh Rena.
Hingga larut malam Rena tidak bisa tidur, memikirkan nasib ibunya juga hal yang telah terjadi antara dirinya dengan Dokter Fredy . Rena tidak akan bisa melupakannya sampai kapan pun. Sempat terbersit dalan hatinya jika dia tidak akan menikah seumur hidup. 'Siapa lelakinya yang bisa menerima barang bekas untuk dijadikan istri? Apa lagi jika lelaki itu tahu kesucianku telah diperjualbelikan,' batinnya.
Karena lelah, tanpa sadar Rena tertidur di kursi, membungkuk, dengan kepala bersandar pada ranjang pasien. Begitu lelapnya hingga tanpa sadar sebuah pesan masuk ke ponsel bututnya.
Dering suara ponsel menggelitik hati Lastri untuk membukanya. Sebuah kecurigaan yang bersarang membuatnya berani membuka ponsel anaknya. Dengan tangan gemetar dia memijit tombol pembuka pesan. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal membuat mata Lastri terbelalak.
[Aku puas dengan pelayananmu semalam, jika kamu membutuhkan uang,kau bisa datang lagi padaku. Ibumu sudah kupastikan bisa operasi besok.]
Tangan Lastri makin gemetar, jantungnya berdegup makin kencang, bulir-bulir di mataya ikut bergerombol keluar. Kekuatannya luluh, bagai kapas disiram hujan.
Braakk!!
Ponsel butut itu jatuh ke lantai. Membuat baterai serta penutupnya berhamburan. Suaranya mampu membuat Rena terjaga. Matanya yang merah menatap heran pada sang Ibu yang balik menatapnya nanar. Mulut Lastri bergetar tak mampu mengucap kata. Hanya derai air mata yang mampu mengungkap rasa. Rasa sakit, rasa perih, rasa malu dan amarah.
"Bu, kenapa?" tanya Rena heran. "Apanya yang sakit, Bu? Rena panggilkan perawat ya?" Lastri menggeleng kuat, air matanya makin tumpah.
"Perutnya sakit?" Rena kembali bertanya. Lastri pun kembali menggeleng, dia menunjuk dadanya. Dia menahan sesak dengan isak.
"Di sini sakitnya, Ren. Di sini!" Lastri menepuk dadanya. Rena meraih bahu ibunya yang berguncang karena tangis.
"Kau membuat ibu malu, Rena! Kau kira ibu tidak akan tahu dengan kebobrokanmu, hah?!" tuding Lastri. Kening Rena mengernyit tak paham.
"Maksud Ibu apa? Rena nggak ngerti, Bu .... "
"Kau jual diri untuk mendapatkan uang kan? Kau jual diri untuk menukar kesembuhan ibumu ini kan? Kau pikir ibu tak akan tau, Rena!
"Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan mengorbankan dirimu untuk ibu, Rena. Kau tidak akan meraih surga, kau justru menarik ibu dan ayahmu ke dalam neraka!"
Mata Rena membulat. Dia syok karena ibunya tahu yang sebenarnya. Perlahan dia lepaskan tangan dari ibunya. Rena luruh bersimpuh di bawah brankar. Dia bersujud memohon ampun pada sang Ibu.
"Ampuni Rena, Bu. Rena sudah tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu sekejap. Rena khilaf, Bu. Rena takut kehilangan Ibu. Maafkan Rena ... Bu .... "
Tangis Rena akhirnya pecah. Melihat itu Lastri menurunkan kakinya ke lantai. Dia raih pundak sang anak yang masih bersujud. Rena bangkit. Kedua pasang mata sembab mereka bertemu. Rasa sayang membuat mereka menghambur saling memeluk erat.
"Harusnya ibu yang minta maaf sama kamu, Nak. Ibu sudah menyusahkanmu. Ibu telah menyeretmu ke dalam lumpur yang dalam, dan membuatmu sesak sendirian.
"Jika tahu begini, ibu lebih memilih mati saja, Nak. Sakit ini telah membuatmu celaka. Ibu tak rela, Nak." Bahu Lastri berguncang. Rena pun menahan isaknya.
"Rena rela, Bu. Rena rela melakukan apa pun demi kesembuhan Ibu. Berjuanglah agar kita bisa bersama," pinta Rena makin mengeratkan pelukan. Lalu terasa olehnya sebuah anggukan.
**
Selepas Zuhur, Rena menunggu ibunya di pintu keluar ruang operasi. Sedangkan Lastri sudah dibawa sejak satu jam yang lalu. Entah kenapa mereka sudah membawa ibunya beberapa jam sebelum jadwal yang telah ditentukan. Rena hanya bisa pasrah dan berdoa.
Dua jam kemudian beberapa suster keluar dari ruang operasi mendorong sebuah brankar. Rena yakin sekali jika itu ibunya. Segera dia hampiri.
"Suster, bagaimana kondisi ibu saya?" cecarnya penasaran.
"Operasinya berhasil, sekarang pasien mau dibawa ke ruang pemulihan. Nanti juga dibawa kembali ke ruang perawatan. Mbak tunggu saja!" jawab salah satu suster tanpa berhenti dahulu. Mereka terus mendorong brankar itu ke sebuah ruangan yang lain.
Rena menghela napas menghilangkan jengah. Berharap mulai hari ini nasib baik akan berpihak padanya. Rena memutuskan menunggu ibunya di luar. Setidaknya bisa menghirup udara segar.
Dia baru teringat dengan ponselnya yang malam tadi terjatuh. Belum sempat dia nyalakan lagi. Ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan berkirim sms itu Rena betulkan posisi baterai, lalu menyalakannya.
Setelah menyala, dia buka folder pesan. Ada sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Rena membuka, dan seketika matanya terbelalak. Tidak salah lagi, pesan itu pasti berasal dari Fredy, orang yang 'membelinya' semalam.
Tubuh Rena mendadak lemas. Dia pejamkan matanya lalu mendongak dan menbuang nafas kasar. 'Pantas saja ibu bisa sampai tahu,' batinnya. 'Bagaimana Dokter Fredy bisa tahu nomorku?' pikir Rena. Ah, dia baru ingat kalau dokter itu pasti melihat dari data pasien. Rena mencantumkan nomor ponselnya di sana.
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun