Share

BAB 5

Jika mencintai dan menunggu hati seseorang yang telah berjodoh, dengan mengesampingkan luka dan batas kesabaran, masih salah? Lalu dI mana letak kebenaran cinta dan penantian itu yang sesungguhnya?

-----

"Papa, kok, belum nelpon, Mah?" tanya Abram dengan wajah berkabut. Andai anak itu manja kupastikan dia telah merajuk atau paling tidak menangis diam-diam di kamarnya, bisa juga di balik pintu.

Sepekan sudah Mas Rian tak memberi kabar, hal ini sudah sangat luar biasa bagi Abram yang telah terbiasa berkomunikasi papanya setiap hari, bahkan biasa dua kali sehari. Ah, seperti minum obat saja.

Sekarang? Papa yang banyak menyembuhkan orang itu, kini lupa, ada darah daging yang mendung pelupuknya menunggu kabar. Lupakah dokter itu, jika rindu bisa menimbulkan penyakit? Ataukah buncahan bahagianya di sana? Tak ingat lagi apa-apa?

Aku tahu pasti, Malaikat kecil itu nelangsa memendam rindu, karena hati ini merasakan hal sama.

"Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Nanti bakal nelpon, kok," jawabku dengan mimik meyakinkan, padahal hati diliputi keraguan.

Dalam sepekanan ini, sudah lebih seratus kali nomor lelaki pencipta galau itu kuhubungi, namun tak pernah tersambung.

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk." Begitulah. Tak bosan suara operator mengucapkan kalimat, nada, dan intonasi yang tak berubah. Dan ajaibnya, meski tahu akan mendapatkan pernyataan sama, aku tetap juga mengulangnya lagi.

Ini baru tahap awal perpisahan, namun sudah begitu menyiksa. Tak bisa bayangkan andai berlanjut tahap kedua, ketiga, keempat, ke ... Argh, mampukah anak dan ibu ini bertahan?

Biasanya setelah salat Subuh, papa dan anak itu menghabiskan waktu pagi di kamar Abram sambil bercanda, dengan saling menggelitik atau melempar bantal.

Meski diri ini tak pernah diperlakukan begitu oleh Mas Rian, sungguh, mendengar gelak tawa keduanya, membuatku larut dalam kebahagian.

Pagi libur ini sangat berbeda, suara-suara gelak lewat layar tipis bila papanya keluar kota, tak lagi ada. Ya, mungkin tak akan pernah ada lagi.

Kubiarkan Abram menghempaskan pantat di kursi dekat pintu utama, sebagai ekspresi gundah.

Tatapan matanya terlihat kosong saat melihat ke jalanan luar pagar lalu bepindah ke daun kering yang terbang di sapu angin.

Sejenak hening menyergap di antara kami, hanya desahan napas Abram yang terdengar gelisah.

Musim kemarau membuat debu juga ikut tersapu angin. Sementara udara pagi terasa lebih dingin sebelum mentari menebar cahayanya yang sangat panas.

Aku merapatkan jaket melawan hawa dingin yang menerpa, lalu menatap wajah Abram pilu, entah apa yang harus kulakukan agar rindu di hatinya terobati, walau tak mendengar suara apalagi bertemu sang papa.

Mungkinkah ada rindu yang sembuh tanpa harus bersua? Sepertinya, otakku mulai tak berfungsi stabil sekarang.

"Mau nggak kalau kita pergi jalan-jalan pagi?" kataku memecah kesunyian, berharap usulan ini menjadi pengalih dari penungguan kabar yang entah sampai kapan datang.

"Jalan kaki?" Mata yang tadi redup tiba-tiba bersinar. Namun, segera redup lagi dan kini malah hampir padam.

Aku memijit pelipis yang seketika berdenyut, menyadari kesalahan yang kian menambah kepiluannya.

Sekitar kurang lebih setahunan yang lalu, aku dan Abram dulu hampir setiap pagi pergi jogging, ditemani tetangga komplek dua rumah dari sini. Mbak Ambar dan putranya Dilal.

Kami sangat akrab, hampir seperti saudara. Selain Abram satu sekolah dan sekelas Dilal, selera dan nasib kami -aku dan Mbak Ambar- tak jauh beda.

Ayah Dilal seorang pengusaha sukses, sering ditinggal ke luar kota -sama yang dilakukan Mas Rian kepadaku- jadi kami saling menghibur.

Cuma bedanya, Mbak Ambar memiliki suami yang sangat mencintainya, itu terlihat saat waktu libur atau senggang, mereka selalu quality time, dengan pergi rekreasi, jalan-jalan, dan shoping bersama.

Bahkan aku dan Abram biasa ikut bergabung saat Dilal memaksa, pun saat Mas Rian memilih berlibur dengan taman-temannya.

Tapi semenjak Dilal berpulang ke pangkuan Ilahi karena penyakit bawaan bayi, Mbak Ambar dan suaminya memilih pindah. Bahkan rumah itu telah berganti pemilik.

Kehilangan sangat terasa, karena di perumahan elit nan penghuni yang super sibuk ini, hanya mereka, yang aku dan Abram akrabi.

"Mamah rencana isi bangunan papa itu dengan sesuatu, bagusnya kita jual apa, ya?" Mudah-mudahan perkataanku ini tak salah lagi.

"Kita isi mainan aja, Mah." Tak kuduga Abram menimpali dengan semangat.

"Yee, modus." Aku memencet pelan hidungnya. Terdengar tawanya berderai terbawa angin.

Awalnya aku ingin menjadikan toko kue, berdasarkan pengalaman waktu gadis, tapi ide Abram lebih menarik. Selain barang tak tinggal rusak bila terlambat laku, sekaligus pengalih kerisauannya. Setidak, meski sedikit, ada tempat sebagai pelarian. Ah, menyebut kata terakhir, kini dada yang terasa sesak.

"Mainan, ya, Mah?" ujarnya berpindah ke pangkuanku. Entah dari mana dapat ilmu membujuk seperti itu, yang jelas mamahnya ini tak pernah melakukan ke papanya. Sudahlah! Jangan tanya kenapa? Karena banyaknya guliran waktu berlalu, telah menjadi saksi terabaikannya seorang wanita yang berstatus istri.

"Oke, komandan, kita OTW sekarang." Abram tertawa lepas, melihatku meluruskan punggung sambil berdiri tegak lalu meletakkan tangan kanan ke dahi sebagai tanda hormat ke atasannya.

Hari ini, aku seperti baterai lowbet yang terchas. Tak kuhiraukan lagi sindiran-sindirin halus bak silet Ibu Jeni, seperti saat aku datang kemarin-kemarin.

Inilah ciri khasku! Diri rasa tak perlu ada yang diubah, lagian Mas Rian tak pernah meminta itu. Toh, memang dia tak pernah menginginkan aku, akan selalu di sampingnya.

Jadi, buat apa wanita penyeimbang kewarasan ini melepaskan jati diri yang telah tertanam sejak kecil? Kalau semuanya hanya akan seperti debu di jalanan? Terinjak, tak dihargai, bahkan menjadi caci maki bila tak sengaja memasuki mata, pun saat melengket di pakaian.

**

Dua puluh lima hari berlalu tak terasa.

Setelah browsing, mempelajari, dan turun ke berbagai pusat perbelanjaan, pasar-pasar, toko-toko, mall-mall, dan supermarket mini, sebagai bahan banding dan ilmu, akhirnya toko 'Abram's Toys' resmi beroperasi.

Warna cat bangunan telah berubah cerah, gambar karakter kartun terlihat manis di dinding, ada tempat bermain minimalIs gratis di depan toko sebagai penarik pelanggan, seorang gadis putus pendidikan sepertiku, yang membantu menjaga dan melayani. Sedang lantai atas kujadikan tempat tinggal.

Berniaga bukan hal baru bagiku, tapi menjalankan usaha dengan modal besar tetap sulit buat aku yang basicnya pelayan toko, apalagi hanya berdua dengan Abram.

"Jika seseorang mau, maka seribu jalan yang terpikir. Namun, bila tak ingin, seribu alasan terlontar." Kalimat seorang alim, yang pernah dituturkan guru agama waktu sekolah, inilah menjadi cambuk untukku.

"Pulang sekolah kita terus ke toko aja, ya, Mah?!" ujar Abram di mobil saat pulang sekolah. Semenjak kami punya kegiatan baru, dia tak sesering dulu lagi menanyakan perihal papanya yang tak menelepon. Kuyakin karena lingkungan yang ramai, berinteraksi dengan pembeli, dan tetangga toko yang ramah meski agak julid, jadi penyebabnya.

"Kita ke rumah dulu, ya Sayang. Mengecek sekaligus bersih-bersih sebentar." Kepala Abram mengangguk pasrah sebagai jawaban, dia memang tipe anak penurut sepertiku.

Jantungku seakan berdetak lebih kencang sesampai di rumah, mobil sporty yang terakhir kulihat di bandara kini terpakir cantik di garasi.

Apakah Mas Rian datang? Apa maksudnya tak memberi informasi dulu? Sedang nomot HP-ku tak pernah terganti? Atau inikah tahap kedua langkah perpisahan selanjutnya? Dengan memberi kejutan bersama wanita terkasihnya?

Serasa seluruh persendian kehilangan fungsi, memikirkan apa yang akan terjadi.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nova Indriati
berasa baca puisi terlalu bnyak bertele2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status