Jika mencintai dan menunggu hati seseorang yang telah berjodoh, dengan mengesampingkan luka dan batas kesabaran, masih salah? Lalu dI mana letak kebenaran cinta dan penantian itu yang sesungguhnya?
-----"Papa, kok, belum nelpon, Mah?" tanya Abram dengan wajah berkabut. Andai anak itu manja kupastikan dia telah merajuk atau paling tidak menangis diam-diam di kamarnya, bisa juga di balik pintu.Sepekan sudah Mas Rian tak memberi kabar, hal ini sudah sangat luar biasa bagi Abram yang telah terbiasa berkomunikasi papanya setiap hari, bahkan biasa dua kali sehari. Ah, seperti minum obat saja.Sekarang? Papa yang banyak menyembuhkan orang itu, kini lupa, ada darah daging yang mendung pelupuknya menunggu kabar. Lupakah dokter itu, jika rindu bisa menimbulkan penyakit? Ataukah buncahan bahagianya di sana? Tak ingat lagi apa-apa?Aku tahu pasti, Malaikat kecil itu nelangsa memendam rindu, karena hati ini merasakan hal sama."Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Nanti bakal nelpon, kok," jawabku dengan mimik meyakinkan, padahal hati diliputi keraguan.Dalam sepekanan ini, sudah lebih seratus kali nomor lelaki pencipta galau itu kuhubungi, namun tak pernah tersambung."Nomor yang Anda tuju sedang sibuk." Begitulah. Tak bosan suara operator mengucapkan kalimat, nada, dan intonasi yang tak berubah. Dan ajaibnya, meski tahu akan mendapatkan pernyataan sama, aku tetap juga mengulangnya lagi.Ini baru tahap awal perpisahan, namun sudah begitu menyiksa. Tak bisa bayangkan andai berlanjut tahap kedua, ketiga, keempat, ke ... Argh, mampukah anak dan ibu ini bertahan?Biasanya setelah salat Subuh, papa dan anak itu menghabiskan waktu pagi di kamar Abram sambil bercanda, dengan saling menggelitik atau melempar bantal.Meski diri ini tak pernah diperlakukan begitu oleh Mas Rian, sungguh, mendengar gelak tawa keduanya, membuatku larut dalam kebahagian.Pagi libur ini sangat berbeda, suara-suara gelak lewat layar tipis bila papanya keluar kota, tak lagi ada. Ya, mungkin tak akan pernah ada lagi.Kubiarkan Abram menghempaskan pantat di kursi dekat pintu utama, sebagai ekspresi gundah.Tatapan matanya terlihat kosong saat melihat ke jalanan luar pagar lalu bepindah ke daun kering yang terbang di sapu angin.Sejenak hening menyergap di antara kami, hanya desahan napas Abram yang terdengar gelisah.Musim kemarau membuat debu juga ikut tersapu angin. Sementara udara pagi terasa lebih dingin sebelum mentari menebar cahayanya yang sangat panas.Aku merapatkan jaket melawan hawa dingin yang menerpa, lalu menatap wajah Abram pilu, entah apa yang harus kulakukan agar rindu di hatinya terobati, walau tak mendengar suara apalagi bertemu sang papa.Mungkinkah ada rindu yang sembuh tanpa harus bersua? Sepertinya, otakku mulai tak berfungsi stabil sekarang."Mau nggak kalau kita pergi jalan-jalan pagi?" kataku memecah kesunyian, berharap usulan ini menjadi pengalih dari penungguan kabar yang entah sampai kapan datang."Jalan kaki?" Mata yang tadi redup tiba-tiba bersinar. Namun, segera redup lagi dan kini malah hampir padam.Aku memijit pelipis yang seketika berdenyut, menyadari kesalahan yang kian menambah kepiluannya.Sekitar kurang lebih setahunan yang lalu, aku dan Abram dulu hampir setiap pagi pergi jogging, ditemani tetangga komplek dua rumah dari sini. Mbak Ambar dan putranya Dilal.Kami sangat akrab, hampir seperti saudara. Selain Abram satu sekolah dan sekelas Dilal, selera dan nasib kami -aku dan Mbak Ambar- tak jauh beda.Ayah Dilal seorang pengusaha sukses, sering ditinggal ke luar kota -sama yang dilakukan Mas Rian kepadaku- jadi kami saling menghibur.Cuma bedanya, Mbak Ambar memiliki suami yang sangat mencintainya, itu terlihat saat waktu libur atau senggang, mereka selalu quality time, dengan pergi rekreasi, jalan-jalan, dan shoping bersama.Bahkan aku dan Abram biasa ikut bergabung saat Dilal memaksa, pun saat Mas Rian memilih berlibur dengan taman-temannya.Tapi semenjak Dilal berpulang ke pangkuan Ilahi karena penyakit bawaan bayi, Mbak Ambar dan suaminya memilih pindah. Bahkan rumah itu telah berganti pemilik.Kehilangan sangat terasa, karena di perumahan elit nan penghuni yang super sibuk ini, hanya mereka, yang aku dan Abram akrabi."Mamah rencana isi bangunan papa itu dengan sesuatu, bagusnya kita jual apa, ya?" Mudah-mudahan perkataanku ini tak salah lagi."Kita isi mainan aja, Mah." Tak kuduga Abram menimpali dengan semangat."Yee, modus." Aku memencet pelan hidungnya. Terdengar tawanya berderai terbawa angin.Awalnya aku ingin menjadikan toko kue, berdasarkan pengalaman waktu gadis, tapi ide Abram lebih menarik. Selain barang tak tinggal rusak bila terlambat laku, sekaligus pengalih kerisauannya. Setidak, meski sedikit, ada tempat sebagai pelarian. Ah, menyebut kata terakhir, kini dada yang terasa sesak."Mainan, ya, Mah?" ujarnya berpindah ke pangkuanku. Entah dari mana dapat ilmu membujuk seperti itu, yang jelas mamahnya ini tak pernah melakukan ke papanya. Sudahlah! Jangan tanya kenapa? Karena banyaknya guliran waktu berlalu, telah menjadi saksi terabaikannya seorang wanita yang berstatus istri."Oke, komandan, kita OTW sekarang." Abram tertawa lepas, melihatku meluruskan punggung sambil berdiri tegak lalu meletakkan tangan kanan ke dahi sebagai tanda hormat ke atasannya.Hari ini, aku seperti baterai lowbet yang terchas. Tak kuhiraukan lagi sindiran-sindirin halus bak silet Ibu Jeni, seperti saat aku datang kemarin-kemarin.Inilah ciri khasku! Diri rasa tak perlu ada yang diubah, lagian Mas Rian tak pernah meminta itu. Toh, memang dia tak pernah menginginkan aku, akan selalu di sampingnya.Jadi, buat apa wanita penyeimbang kewarasan ini melepaskan jati diri yang telah tertanam sejak kecil? Kalau semuanya hanya akan seperti debu di jalanan? Terinjak, tak dihargai, bahkan menjadi caci maki bila tak sengaja memasuki mata, pun saat melengket di pakaian.**Dua puluh lima hari berlalu tak terasa.Setelah browsing, mempelajari, dan turun ke berbagai pusat perbelanjaan, pasar-pasar, toko-toko, mall-mall, dan supermarket mini, sebagai bahan banding dan ilmu, akhirnya toko 'Abram's Toys' resmi beroperasi.Warna cat bangunan telah berubah cerah, gambar karakter kartun terlihat manis di dinding, ada tempat bermain minimalIs gratis di depan toko sebagai penarik pelanggan, seorang gadis putus pendidikan sepertiku, yang membantu menjaga dan melayani. Sedang lantai atas kujadikan tempat tinggal.Berniaga bukan hal baru bagiku, tapi menjalankan usaha dengan modal besar tetap sulit buat aku yang basicnya pelayan toko, apalagi hanya berdua dengan Abram."Jika seseorang mau, maka seribu jalan yang terpikir. Namun, bila tak ingin, seribu alasan terlontar." Kalimat seorang alim, yang pernah dituturkan guru agama waktu sekolah, inilah menjadi cambuk untukku."Pulang sekolah kita terus ke toko aja, ya, Mah?!" ujar Abram di mobil saat pulang sekolah. Semenjak kami punya kegiatan baru, dia tak sesering dulu lagi menanyakan perihal papanya yang tak menelepon. Kuyakin karena lingkungan yang ramai, berinteraksi dengan pembeli, dan tetangga toko yang ramah meski agak julid, jadi penyebabnya."Kita ke rumah dulu, ya Sayang. Mengecek sekaligus bersih-bersih sebentar." Kepala Abram mengangguk pasrah sebagai jawaban, dia memang tipe anak penurut sepertiku.Jantungku seakan berdetak lebih kencang sesampai di rumah, mobil sporty yang terakhir kulihat di bandara kini terpakir cantik di garasi.Apakah Mas Rian datang? Apa maksudnya tak memberi informasi dulu? Sedang nomot HP-ku tak pernah terganti? Atau inikah tahap kedua langkah perpisahan selanjutnya? Dengan memberi kejutan bersama wanita terkasihnya?Serasa seluruh persendian kehilangan fungsi, memikirkan apa yang akan terjadi.***"Cepatan dong, Tari. Ntar Abram ngambek." Mas Langit menarikku menuju mobil. Ini hari penerimaan hadiah Abram ikut lomba hafalan surah-surah pendek. Tentu saja lelaki dingin tapi sudah hangat itu paling senang, karena dialah pembimbingnya di rumah. "Dikit lagi, Mas. Tinggal warnain bibir aja, kok," protesku tetap melangkah.Tak lama berselang, Mas Langit segera melajukan kendaraan sambil berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya setelah kami duduk dan menutup pintu mobil. Dia memang seperti itu kalau menyangkut masalah Abram. Kadang aku menganggap sikapnya terlalu berlebihan, itukan sama saja membiasakan anak terlalu bergantung."Mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya saja, Tari. Tapi harus disertai dengan tanggung jawab, jujur, optimis, dan contoh dari orang terdekatnya," ujar Mas Langit seakan tahu isi hatiku dan entah keberapa sekian kali dia mengulang kalimat semacam ini. Ah, sudahlah ... Aku tak ingin mendebatkan perbedaan prinsip. Apalagi dia tidak sekedar bicar
Entah kenapa aku tak merasa kram dalam posisi berjongkok sambil kedua tangan menutup wajah. Untung tak ada Abram. Tidak bisa membayangkan andai anak itu melihat aku sebegitu terpuruk seperti sekarang, atau mengetahui ayahnya pergi lagi. Mungkin ....Mamah dan anak ini akan menangis bersama di sini."Apa kamu nggak malu diliatin?" Suara yang tiba-tiba sangat merdu terdengar diantara bisik-bisik. Aku tahu sedari tadi orang-orang memperhatikan, tapi diri tak perduli. Sedih ini harus segera dituntaskan.Cepat aku mengangkat wajah lalu berkali-kali mengusap mata untuk memastikan penglihatan.Ya, lelaki pembuat gulana itu berdiri di sana, betul, bukan mimpi atau halusinasi. Sementara Anggi di belakang tersenyum sambil menyeka sudut netranya. Sejak kepergian suami adik dan kedua orang tuanya, lelaki itu bertanggung jawab penuh sebagai kakak, jadi wajarlah memaksa Anggi ikut bila pindah kota seperti yang dilakukan sekarang. Dari pembicaraan Mbak Rima dan Anggi tadi pagi itulah, aku tahu peremp
Gegas aku turun dari mobil bermaksud mendahului Mas Langit. Seketika terlintas keinginan kuat untuk mencegah pamitnya ke Emak. Aku akan meminta dengan segala cara agar tak jujur ke wanita terbaikku itu. Meski dengan berbagai alasan dan kedustaan, biarlah diri yang dzolim ini menanggug semua dosanya, asalkan malaikat tak bersayapku tetap bahagia. Aku rasa semua anak akan melakukan sama jika berada di posisiku.Sepertinya niatku telah terlambat. Suara tangisan Emak terdengar saat aku memasuki pintu utama. Secepat itu lelaki dingin mengutarakan maksudnya, hingga tak melihat kondisi Emak yang masih dalam pemulihan. Benar-benar tak berperasaan! Emosi dan sedih, entah yang mana kudahulukan sekarang.Dengan menyeret kaki aki memasuki kamar Emak, suasana hatiku benar-benar down sekarang. Akulah satu-satunya anak yang menjadi penyebab utama kepergian kedua orang tuanya. Menyadari itu, tungkai seketika tak bisa menahan bobot tubuh."Ke sini, Nduk." Gontai aku mendekat ke beliau. Mas Langit meng
Setelah salat Subuh, Abram telah siap dengan jaket, biasanya pagi-pagi sekali Mas Langit sudah datang menjenguk Emak lantas membawa Abram jalan-jalan dan sepulangnya membawa aneka makanan yang masih hangat. Tiga hari lalu Emak diijinkan pulang dan sekarang sedang proses pemulihan di rumah."Kok, lama, ya, Mah," keluh Abram mulai tak sabar. Ufuk timur mulai terang, menandakan pagi telah menjelang. Tak biasanya Mas Langit datang terlambat."Coba cek ke rumahnya, Tari. Katanya dia gak bermalam di sini karena lagi pembenahan barang," kata Emak yang tampaknya menunggu seperti Abram. Lelaki itu memang tipe pembuat rindu."Emak dan Abram mau makan apa, biar aku bikinin," tawarku hendak ke dapur. Melihat sikap dinginnya ke aku menciptkan canggung dan malu yang teramat bila harus nyusul ke rumahnya. Kecuali kalau dia sendiri yang datang.Emak dan Abram tak ada jawaban. Itu menandakan mereka tak menyetujui saranku. Huft ... Sungguh dilema diri ini. Haruskah memaksa Mas Langit tetap bertahan d
Ruang ICUAku mengenggam erat tangan Emak yang terbaring tak berdaya. Banyak alat medis tidak kutahu nama dan fungsi tepasang di tubuh rentanya.Mataku pasti sangat bengkak sekarang, hanya menangis yang mampu kukakukan, hampir dua belas jam berlalu, tapi beliau belum siuman. Dadanya saja terlihat naik turun menandakan masih ada ruh di jasad, itupun sangat lemah dibanding biasanya.Ya, Tuhan ... Cobaan apa lagi ini? "Sudah tahu penyebab Emak pinsang?" tanyaku ke Gilang, dia yang menemani Emak. Adikku itu baru saja kutugaskan mencari informasi di hajatan tetangga yang kemarin Emak datangi."A-anu, Mbak," jawab gilang gagap. Tuh, tak salah lagi, di sana sumbernya. "Apa orang membicarakanku?" ujarku to the point. Aku pikir tak perlu lagi berbasa-basi. Situasinya darurat."I-iya, Mbak." Aku mengangguk cepat agar Gilang bercerita tanpa sungkan. "Ada yang melihat Mas Langit di kota seberang. Dan tetangga menyimpulkan Mbak sekarang menjanda lagi," lanjut Gilang menatapku sedih. Inilah yang
"Pintu rumah selalu terbuka lebar, jika Mas ingin menjumpai Abram." Selesai berucap, aku segera bergegas ke luar. Sementara Abram masih menunggu papanya bereaksi. Dokter itu masih setia menekuri lantai saat aku melaluinya.Sebelum mencapai ambang, aku sempatkan melihat ke belakang. Mas Rian menarik putranya dalam pelukan, lama sekali, sambil menangis lirih. Ya, perpisahan memang menyakitkan. Namun, bertahan dalam gerogotan luka yang tak pernah hilang, sama saja bunuh diri secara perlahan.[Kupinta maafmu dari prilaku dosa, salah, dan khilaf selama hidup bersamaku, Mas. Meski hubungan kita telah usai, tak ada niat sama sekali untuk menjauhkanmu dengan Abram ke depannya. Tetaplah jadi papa yang terbaik, pun suami yang bertanggung jawab. Semoga kita semua dalam lindungan Allah sampai maut memanggil]Tak memungkiri, air mata jatuh jua mengiring pesan singkatku. Baru kali aku sempat dan sepenuh hati meluangkan waktu menulis kata maaf dan perpisahan setelah hampir setahun jatuh talak. Seras
Dengan was-was aku membuka kaca. Tampak lelaki berpostur tinggi memakai celana hitam, dipadu hodi, dan masker warna sama, membungkuk hendak mengetuk lagi. Matanya merah diterpa cahaya pagi. Rasa takut membuatku menatapnya sekilas lalu mencermati banpers mobil yang rusak. Sepertinya aku menabrak kendaraan kelas penjahat. Aduh ... Kira-kira dia mau damai saja dengan ganti rugi, ya? Tapi, apa isi kantongku cukup memperbaiki mobil tajir itu? Lagi, lagi, bantu hambaMu yang lemah ini ya, Rabb .... "Papa?" ujar Abram membuatku menyipit lantas memperhatikan seksama dari atas ke bawah. Semoga penglihatan Abram tak salah Ya, Tuhan. Plisss ....Benar! Dia Mas Rian! Ngapain berpakaian begitu? Kayak mafia di film-film saja. Hampir-hampir aku jantungan dibuatnya."Kamu bikin aku jadi begini?" ujarnya dengan sorot tajam. Hah? Sepertinya dokter itu benar-benar butuh terapi jiwa. Sudah berpenampilan aneh, sekarang menuduh orang lain penyebanya. Tapi ngomong-ngomong kenapa aku tak ingat sama sekali m
"Apa maksud, Mas," tanyaku tersulut."Aku pikir kamu sudah tahu jawabannya," kata Mas Rian santai."Oh, begitu. Baik. Semoga kalian sukses," kataku menghapus bening yang tiba-tiba membasahi. Entah kenapa bila menyangkut Mas Langit, air mata ini gampang sekali jatuh. Padahal, aku sudah memprediksi mereka akan sampai ke sana. Bukankah dari awal tujuan Mas Rian memang hanya menjadikan Mas Langit muhallil? Dan ajaibnya, lelaki yang paham agama itu mau saja? Sudahlah .... Hati ini akan mengikhlaskan semuanya. Bahkan tak akan datang ke pengadilan untuk mempercepat proses perpisahan resmi itu."Aku harap kita hanya berkomunikasi sebatas Abram saja. Karena kita tidak tahu cara kerja syetan." Selesai berucap, aku menuju ke kamar dan menutup rapat pintunya. Meski telah berucap ikhlas, tak apa kan meluapkan rasa dengan menyendiri?Aku keluar saat mendengar ketukan bersamaan suara Abram memanggil. Alhamdulillah, Mas Rian sudah tak terlihat lagi. Tampak Abram telah rapi sambil menjinjing tas r
"Tidak apa-apa, Ti. Aku akan baik-baik saja," ujarku menatap lantai lalu melangkah gontai. Tuti yang menyadari keadaanku mengawasi dari bawah. Seluruh persendian seperti kehilangan fungsi setelah membaca surat berwarna putih. Ya, isi sama, panggilan sama, dan mungkin pengantarnya juga sama. Cuma ajuan yang berbeda. Bukan cuma kehilangan yang jadi prioritas sekarang, tapi pandangan masyarakat? Perasaan Emak? Dan apa kata orang-orang di pengadilan jika melihatku? Tidak cukup setahun digugat kasus yang sama? Ah, aku butuh peraduan untuk menangis. Andai doraemon ada di dunia nyata, aku ingin meminjam laci ajaibnya untuk berpindah ke bumi lain. Sepertinya otakku mulai tak waras.'Oke! Andai kamu hanya bertamu. Setidak, pamitlah sebelum pulang, Mas. Berkunjung ke rumah orang saja, ada adabnya, kan? Apalagi ini menyangkut hal besar yaitu pernikahan yang dipertanggung jawabkan kelak ikrarnya di depan Allah. Tidakkah dirimu menyakitiku terlalu dalam dengan kepergianmu tanpa pamit, tanpa sepat