Gegas aku membasuh wajah dengan punggung tangan saat mendengar langkah kecil Abram. Seberat apapun masalah yang kuhadapi, akan berusaha terlihat baik-baik di depan Malaikat kecil itu.
Karena sejatinya, hanya dia penguat sekaligus harta yang kupunya satu-satunya. Selalu saja dada begitu sesak, ketika memikir Mas Rian akan pergi dan menyertakan Abram bersamanya. Apa kira-kira diri mampu menolak? Kuyakin tak bisa. Toh, faktanya, wanita fakir harta dan pendidikan ini, tak punya alasan untuk diberi amanah meski menanggung jawabi darah daging sendiri. Hiks ...."Kok papa belum nelpon, sih, Mah?" Abram bergelayut manja dengan suara khas orang bangun tidur. Tuh, kan? Bagaimana harus menjelaskan tentang informasi papanya yang tak bisa menghubungi seperti dulu.Sepertinya benar kata sebagian orang, kalau seorang istri, harus belajar menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Mungkin, hal beginilah yang menjadi pertimbangan. Saat hubungan suci dua insan yang berbeda, harus kandas di tengah jalan. Misalnya tersebab visi dan misi tak lagi sama. Atau cinta salah satu dari mereka, ada yang sampai tanggal kadarluarsanya duluan. Bahkan bisa saja disebabkan ketiadaan cinta dari salah satu pasangan itu. Ya, aku berada di tiga posisi di atas. "Tadi papa nelpon. Karena Abram tidur nyenyak banget, jadi mamah kasihan bangunin." Aku menariknya duduk di pangkuan. "Terua papah bilang apa?""Hmm ..., papa bilang harus tetap jadi anak jagoan." Aku rasa jawaban ini paling tepat, memanggil seperti yang Mas Rian lakukan, agar mampu melewati perubahan drastis dari banyaknya perubahan, termasuk kebiasaan Sang Papa.Atau jangan-jangan panggilan itu memang jauh hari telah dirancang Mas Rian untuk dipersiapkan ke sebuah perubahan yang besar? Seperti sekarang contohnya?Duh, benar-benar ribuan hari kami lalui itu, hanya seperti embun, yang secepat menghilang, meski belum diterpa sang surya."Papa nggak nanya Abram mau pesan apa?" cecar Abram tidak puas. "Emang Abram mau apa?" tanyaku memainkan rambutnya yang lurus. Aku rasa hanya di bagian ini yang agak mirip denganku pada organ tubuhnya yang terlihat. "Mau bilang, papah jangan lama-lama," jawabnya melihat lantai, ada kabut yang mulai berarak di netra polosnya."Papa, kan, lagi kerja, Sayang! Yuk kita mandi lalu pergi jalan-jalan," ajakku mengalihkan perhatian sekaligus ingin mengecek bangunan bekas tempat praktek Mas Rian itu. Abram langsung terlonjak, dia paling senang diajak keluar, apalagi kalau dengan mamahnya. Tentu sangat berbeda bila bersama tante Juwita. Ceritanya di suatu hari saat pulang shoping dengan papa dan mantannya itu. "Ayo, Mah!" Ajak Abram tak sabar, dia telah lengkap saat aku melepas pakaian salat, baru saja menunaikan ibadah Asar. "Sudah Salat?" tanyaku melihatnya sangat rapi, jam tangan i-mo berwarna biru melingkar di lengan mungilnya. Abram telah terbiasa mengatur, mengambil, dan memadu padankan pakaiannya sendiri, entah kapan itu dimulai, yang jelas, harus sesuai seleranya. Ah, penampilan yang sama. Asli! Anak ini hasil persis kopian papanya, bak pinang dibelah dua. Tak cukup setengah jam bersiap, memastikan kompor, alat-alat elektronik, steker aman, dan mengunci pintu, kami menuju tujuan. Tidak jauh, cukup dua puluh menit sampai.Tempatnya memang sangat strategis, sebelah kanan dan kiri, berbagai toko yang menyediakan bahan-bahan berbeda siap jadi pilihan. Ada butik, salon, warung, apotek, de el el. Sedang di seberang jalan sama, ada swalayan mini yang jadi pusat perbelanjaan."Papa akan berobat di sini lagi, Mah?" tanya Abram saat kami sampai. Pemilik butik yang hanya diantarai dinding pembatas menyerahkan kunci. Kalau bukan bangunan ini pemilik sebelumnya, mungkin orang diamanahi. "Beruntung banget mamah Abram punya suami seperti Dokter Rian. Udah ganteng, mapan, nggak pelit lagi," puji ibu yang biasa aku panggil Mbak Neli, umurnya sama dengan Mas Rian, sekitar 34 tahun. Dengar-dengar mereka satu sekolah waktu tingkat putih biru. "Mudah-mudahan aja gitu, Mbak. Biasanya, ya?! Aku bicara yang umum-umum saja, laki-laki kalau memberi dalam bentuk nominal banyak, ada imbalan yang diminta seharga dengan pemberiannya itu," celutuk ibu Jeni, pemilik salon kecantikan sebelahnya.Karena merasa perbincangan akan panjang, aku mengajak Abram ikut bergabung dengan anak-anak mereka yang sementara bermain."Nggak semua, loh, Bu. Ada yang memang karena cinta." Mbak Neli menatapku tak enak. Aku yakin berita soal pembelian bangunan yang dilakukan Mas Rian atas namaku itu, dialah yang memberi tahu ibu Jeni."Halah, cinta itu hanya di bibir, nggak sampai di hati. Buktinya? Banyak loh laki-laki yang ngantar wanita ke salonku bukan dengan istri sahnya." Mbak Nelli terlihat menggelang mendengar penjelesan Ibu Jeni yang berapi-api."Makanya kita sebagai istri sah, harus jagain suami. Selain memuaskan perutnya dengan makanan kesukaan mereka, harus menyenangkan juga matanya. Seperti berpakaian sesuai selera pasar dan berdandan yang cantik."Aku yakin ibu Jeni sedang menasehatiiku secara halus, itu terlihat dari matanya yang memandangku dari atas ke bawah.Aku memang bukan wanita modis seperti di luar sana, cara berpakaianku menurut sebagian orang, sangat kolot. Tapi dengan menggunakan baju longgar dan jilbab panjang yang telah diajarkan ibu bapak sejak kecil, membuatku terbiasa dan begitu nyaman. Mungkinkah ini salah satu alasan Mas Rian tak pernah membuka hati untukku? Terus kalau begitu, mengapa aku yang dipilihnya jadi penyeimbang kewarasan? Bukankah di luar sana, banyak wanita cantik nan modern, yang kuyakin tak akan bisa menolak diri dan pesonanya? "Aku masuk dulu, Mbak, Bu," pamitku saat mendengar teriakan Abram dari dalam. Entah siapa yang membantunya membuka pintu, keseriusanku mengoreksi diri membuat tak sadar situasi. Memang tak memungkiri, semua perkataan Bu Jeni itu benar, tapi aku berusaha tak meladeninya. Diri selalu menghindari perbincangan seperti ini, khawatir menjadi gibah atau dapat saja berubah fitnah, tanpa sadar mengumbar rahasia rumah tangga orang lain bahkan rumah tangga sendiri dengan alasan curhat."Ingat kata-kataku ya, Mamah Abram, apalagi Pak Dokter dikelilingi wanita-wanita cantik," pesan Bu Jeni yang langsung kuangguki sebelum berlalu. "Aku sering lihat, loh, dokter Rian jalan sama dokter kulit yang baru buka praktek itu. Cantik pokoknya, Jeng. Udah gitu mesra banget." Masih sempat kudengar ucapan Bu Jeni, sebelum tubuh sempurna menghilang di balik pintu. Ah, meski jauh hari telah mempersiapkan diri atas kemungkinan yang terjadi, tetap saja, hati begitu lemah bila menyangkut papa dari putraku itu. Ada yang jatuh tapi bukan hujan.Ada yang tergenang tapi bukan banjir.Ah, Bukankah cinta dalam diam itu indah? Ada peperangan yang tak perlu dipertontonkan, dipermasalahkan, apalagi untuk dimenangkan? Mas Rian ...Kenapa hatiku sangat sakit saat orang bercerita tentangmu? Apalagi melihatmu langsung? Bukankah itu fakta? Bukankah aku tahu semuanya sejak awal? Izinkan aku mencintaimu dalam diamKarena dalam diam tidak ada kata penolakanIzinkan aku mencintaimu dalam kesepianKarena dalam kesepian tidak akan ada orang lainIzinkan aku memujamu dari kejauhanKarna dari kejauhan akan melindungiku dari rasa sakitIzinkan aku memilikimu dalam mimpiKarena dalam mimpi kamu tidak akan pernah meninggalkan akuTahukah kalian? Puisi itu coretan dari sahabat dumayku yang tak pernah bersua langsung, Qeisyah. Namun, begitu mencubit kepekaanku. Entah itu hanya hasil karya tangan biasa atau sedang mencurahkan hati sebenarnya. Yang jelas, rangkaian kata itu mewakili rasaku yang telah bertahun bertahta. Wahai ...lelaki yang bergelar suami di sana! Mengapa engkau hadir, jika hanya untuk melukai? Mengapa engkau mengajak, jika tak mampu membersamai? Kenapa dikau menyemai, bila tak mampu memanen? Belum puaskah dirimu menyakiti? ***Jika mencintai dan menunggu hati seseorang yang telah berjodoh, dengan mengesampingkan luka dan batas kesabaran, masih salah? Lalu dI mana letak kebenaran cinta dan penantian itu yang sesungguhnya? -----"Papa, kok, belum nelpon, Mah?" tanya Abram dengan wajah berkabut. Andai anak itu manja kupastikan dia telah merajuk atau paling tidak menangis diam-diam di kamarnya, bisa juga di balik pintu. Sepekan sudah Mas Rian tak memberi kabar, hal ini sudah sangat luar biasa bagi Abram yang telah terbiasa berkomunikasi papanya setiap hari, bahkan biasa dua kali sehari. Ah, seperti minum obat saja. Sekarang? Papa yang banyak menyembuhkan orang itu, kini lupa, ada darah daging yang mendung pelupuknya menunggu kabar. Lupakah dokter itu, jika rindu bisa menimbulkan penyakit? Ataukah buncahan bahagianya di sana? Tak ingat lagi apa-apa?Aku tahu pasti, Malaikat kecil itu nelangsa memendam rindu, karena hati ini merasakan hal sama."Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Nanti bakal nelpon, kok," jawabk
Terlihat Abram terpaku, matanya fokus ke mobil sporty warna merah gelap bermerek pajero yang terpakir cantik di garasi, lalu sedetik kemudian menatapku penuh tanya."Papa?" tanyanya. Aku mengangguk "Kok, Mamah nggak turun?" tanya Abram lagi menautkan alis. Sebelum menjawab, aku menarik napas pelan, kemudian membuangnya gelisah. Sangat gelisah. "Abram saja duluan, mamah beresin barang-barang di mobil sebentar," kilahku sambil mengeluarkan perlengkapan pribadi dari tempat penyimpanan di depan tempat duduk Abram sekarang.Aku rasa tidak berbohong, hanya sedang menetralkan hati dan kesiapanku untuk berhadapan dengan kenyataan. Ya, aku takut menyaksikan dua sejoli itu ...?"Kita sama-sama, Mah," ujar Abram masih dalam posisi semula. Kenapa juga anak ini bersikap begitu? Bukannya dulu paling heboh jika menyambut papanya? Apa dia merasakan apa yang kurasakan? Ataukah rindunya telah tersulap jadi kecewa?Sengaia memperlambat pergerakan, selain menunggu irama jantung normal dan persendian r
"Mobinya rusak, Mah?" Pertanyaan Abram tak langsung kutanggapi. Anak itu pasti heran melihatku hanya memegang stir lama tapi tak memutar kunci kontak.Tubuhku benar-benar seperti tak bisa difungsikan. Jangankan menginjak gas, memutar stir, apalagi untuk fokus ke jalanan, menstarter mobil saja tak mampu. Percakapan dua sejoli yang baru saja melewati gendang telinga, membuat otak dan perangkat-perangkat tubuh lainnya seketika vakum. Aku rasa inilah yang disebut syok.Entah kenapa tubuh bereaksi terlalu. Sedang enam tahun silam, hal ini sudah terprediksi dari alam bawah sadar pun sebaliknya. Mungkinkah itu disebabkan oleh rasa berlebih yang begitu dalam mengharap? Atau memang cinta telah mengakar kuat di tubuh?Sepertinya aku harus percaya pada pendapat sebagain orang, kalau mencintai lebih tanpa berbalas meski pada pasangan halal, bisa mengundang penyakit, atau bahasa kasarnya, sama dengan bunuh diri. Entah, walau tahu, tapi rasa ini sungguh tak mampu kutepis."Mamah ...." Sentuhan ta
“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu. Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkanny
"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? Ya, Rabb ....Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.Lelaki berp
"Abram masuk, cuci tangan dan kaki, lalu bergantian pakaian, ya?!" pintaku pada bocah penurut itu usai mencium punggung tangan papanya. Meski seakan ada konflik tak terlihat yang merusak suasana. Aku pikir hubungan anak dan papa, akan cepat stabil seperti dulu. Aku? Tak ingin memikirnya, yang penting darah dagingku bahagia. "Maaf, Mas. Saya belum menyediakan pakaian Abram," ujarku sopan, mengingat titahnya di telepon.Lelaki itu bergeming, ketika aku menyodorkan tangan hendak takzim seperti biasa.Diri sudah paham kalau sekarang dia tak menyambutnya, kulitku memang tak ada apa-apa dibanding istri tercintanya di sana. Ah, lagi-lagi sesak datang tak undang bila mengingat kedudukan yang tak pernah dihargai. "Aku ingin akhiri hubungan ini. Carilah lelaki yang lebih bisa membahagiakanmu," ucapnya tanpa ekspresi, pun tanpa sedikit ada niat meraih tanganku yang masih menggantung di udara menunggu uluran tangannya. Aku mundur bersandar di dinding memahami makna pernyataan tajam itu, tiba-
"Mamah ikut, kan?" tanya Abram di sela aku mengemasi barangnya."Mamah kurang sehat, Sayang. Abram sama papa dan tante Juwita saja, ya?!" Wajah dan mata sembab habis menangis tadi kutunjukkan, agar dia yakin dengan alasanku."Ada Mbak Tuti yang nemanin mamah," kataku lagi memaknai tatapan cemasnya."Biar pakaiaan Abram papa yang lanjutin masukin di tas ya, Sayang. Sepertinya Mbak Tuti sedang kewalahan di bawah." Aku memencet pelan hidung mancung Abram sebelum berlalu, dia mengangguk sambil tertawa gemes.Selain dari tadi dering panggilan ponsel Tuti bergetar, juga ingin menunjukkan keadaan senatural ke Abram. Ya, aku rasa, hanya ini yang mampu kulakukan agar perpisahan kedua orang tuanya tak mempengaruhi fase perkembangannya.Terlihat Mas Rian yang sedari tadi di balkon mengamati suasana ke bawah, seketika berderap ketika Abram memanggilnya. Lelaki yang selalu tampak memesona di mataku itu, menautkan alis, saat kami berpapasan di ruang keluarga.Tak perlu menjelaskan seribu tanya di b
”Abram mana?” tanyaku masih penasaran, sekaligus tak ingin mendengar dia melanjutkan kalimat-kalimat menyudutkannya. Bukan takut beradu argumen, tak ingin perdebatan ini terdengar Tuti, tetangga, bahkan pembeli. Bukankah mengalah tidak berarti kalah? Mundur bukan berarti pecundang? ”Abram ingin kamu ikut,” kata Mas Rian masih ekspresi sama. Rahang mengeras dengan mengalih dari pandanganku, tapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.Refleks aku menggoyangkan tangan ke depan wajah, sebagai ekspresi kemustahilan. Bagaimana mungkin aku serta, jika Dokter Juwita ada? Apa ini juga bagian rencana Mas Rian untuk menambahkan lagi poin penderitaan istri pelariannya?“Kami juga tak mungkin selalu menjaganya, sementara di sana ada beberapa agenda rapat.” Mimiknya tiba-tiba berubah.“Lalu kenapa Mas bersikeras memaksanya? Toh, selama ini dia sudah terbiasa ditinggalkan meski tanpa alasan yang jelas,” sanggahku. Kembali Mas Rian menatapku syarat amarah, terlihat dari tonjolan urat bagian pel