Share

BAB 4

Gegas aku membasuh wajah dengan punggung tangan saat mendengar langkah kecil Abram. Seberat apapun masalah yang kuhadapi, akan berusaha terlihat baik-baik di depan Malaikat kecil itu. 

Karena sejatinya, hanya dia penguat sekaligus harta yang kupunya satu-satunya. 

Selalu saja dada begitu sesak, ketika memikir Mas Rian akan pergi dan menyertakan Abram bersamanya. Apa kira-kira diri mampu menolak? Kuyakin tak bisa. Toh, faktanya, wanita fakir harta dan pendidikan ini, tak punya alasan untuk diberi amanah meski menanggung jawabi darah daging sendiri. Hiks ....

"Kok papa belum nelpon, sih, Mah?" Abram bergelayut manja dengan suara khas orang bangun tidur. Tuh, kan? Bagaimana harus menjelaskan tentang informasi papanya yang tak bisa menghubungi seperti dulu.

Sepertinya benar kata sebagian orang, kalau seorang istri, harus belajar menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Mungkin, hal beginilah yang menjadi pertimbangan. 

Saat hubungan suci dua insan yang berbeda, harus kandas di tengah jalan. Misalnya tersebab visi dan misi tak lagi sama. Atau cinta salah satu dari mereka, ada yang sampai tanggal kadarluarsanya duluan. Bahkan bisa saja disebabkan ketiadaan cinta dari salah satu pasangan itu. 

Ya, aku berada di tiga posisi di atas. 

"Tadi papa nelpon. Karena Abram tidur nyenyak banget, jadi mamah kasihan bangunin." Aku menariknya duduk di pangkuan. 

"Terua papah bilang apa?"

"Hmm ..., papa bilang harus tetap jadi anak jagoan." Aku rasa jawaban ini paling tepat, memanggil seperti yang Mas Rian lakukan, agar mampu melewati perubahan drastis dari banyaknya perubahan, termasuk kebiasaan Sang Papa.

Atau jangan-jangan panggilan itu memang jauh hari telah dirancang Mas Rian untuk dipersiapkan ke sebuah perubahan yang besar? Seperti sekarang contohnya?

Duh, benar-benar ribuan hari kami lalui itu, hanya seperti embun, yang secepat menghilang, meski belum diterpa sang surya.

"Papa nggak nanya Abram mau pesan apa?" cecar Abram tidak puas. 

"Emang Abram mau apa?" tanyaku memainkan rambutnya yang lurus. Aku rasa hanya di bagian ini yang agak mirip denganku pada organ tubuhnya yang terlihat. 

"Mau bilang, papah jangan lama-lama," jawabnya melihat lantai, ada kabut yang mulai berarak di netra polosnya.

"Papa, kan, lagi kerja, Sayang! Yuk kita mandi lalu pergi jalan-jalan," ajakku mengalihkan perhatian sekaligus ingin mengecek bangunan bekas tempat praktek Mas Rian itu. 

Abram langsung terlonjak, dia paling senang diajak keluar, apalagi kalau dengan mamahnya. Tentu sangat berbeda bila bersama tante Juwita. Ceritanya di suatu hari saat pulang shoping dengan papa dan mantannya itu. 

"Ayo, Mah!" Ajak Abram tak sabar, dia telah lengkap saat aku melepas pakaian salat, baru saja menunaikan ibadah Asar. 

"Sudah Salat?" tanyaku melihatnya sangat rapi, jam tangan i-mo berwarna biru melingkar di lengan mungilnya. Abram telah terbiasa mengatur, mengambil, dan memadu padankan pakaiannya sendiri, entah kapan itu dimulai, yang jelas, harus sesuai seleranya. 

Ah, penampilan yang sama. Asli! Anak ini hasil persis kopian papanya, bak pinang dibelah dua. 

Tak cukup setengah jam bersiap, memastikan kompor, alat-alat elektronik, steker aman, dan mengunci pintu, kami menuju tujuan. Tidak jauh, cukup dua puluh menit sampai.

Tempatnya memang sangat strategis, sebelah kanan dan kiri, berbagai toko yang menyediakan  bahan-bahan berbeda siap jadi pilihan. Ada butik, salon, warung, apotek, de el el. Sedang di seberang jalan sama, ada swalayan mini yang jadi pusat perbelanjaan.

"Papa akan berobat di sini lagi, Mah?" tanya Abram saat kami sampai. Pemilik butik yang hanya diantarai dinding pembatas menyerahkan kunci. Kalau bukan bangunan ini pemilik sebelumnya, mungkin orang diamanahi. 

"Beruntung banget mamah Abram punya suami seperti Dokter Rian. Udah ganteng, mapan, nggak pelit lagi," puji ibu yang biasa aku panggil Mbak Neli, umurnya sama dengan Mas Rian, sekitar 34 tahun. Dengar-dengar mereka satu sekolah waktu tingkat putih biru. 

"Mudah-mudahan aja gitu, Mbak. Biasanya, ya?!  Aku bicara yang umum-umum saja, laki-laki kalau memberi dalam bentuk nominal banyak, ada imbalan yang diminta seharga dengan pemberiannya itu," celutuk ibu Jeni, pemilik salon kecantikan sebelahnya.

Karena merasa perbincangan akan panjang, aku mengajak Abram ikut bergabung dengan anak-anak mereka yang sementara bermain.

"Nggak semua, loh, Bu. Ada yang memang karena cinta." Mbak Neli menatapku tak enak. Aku yakin berita soal pembelian bangunan yang dilakukan Mas Rian atas namaku itu, dialah yang memberi tahu ibu Jeni.

"Halah, cinta itu hanya di bibir, nggak sampai di hati. Buktinya? Banyak loh laki-laki yang ngantar wanita ke salonku bukan dengan istri sahnya." Mbak Nelli terlihat menggelang mendengar penjelesan Ibu Jeni yang berapi-api.

"Makanya kita sebagai istri sah, harus jagain suami. Selain memuaskan perutnya dengan makanan kesukaan mereka, harus menyenangkan juga matanya. Seperti berpakaian sesuai selera pasar dan berdandan yang cantik."

Aku yakin ibu Jeni sedang menasehatiiku secara halus, itu terlihat dari matanya yang memandangku dari atas ke bawah.

Aku memang bukan wanita modis seperti di luar sana, cara berpakaianku menurut sebagian orang, sangat kolot. Tapi dengan menggunakan baju longgar dan jilbab panjang yang telah diajarkan ibu bapak sejak kecil, membuatku terbiasa dan begitu nyaman. 

Mungkinkah ini salah satu alasan Mas Rian tak pernah membuka hati untukku? Terus kalau begitu, mengapa aku yang dipilihnya jadi penyeimbang kewarasan? Bukankah di luar sana, banyak wanita cantik nan modern, yang kuyakin tak akan bisa menolak diri dan pesonanya? 

"Aku masuk dulu, Mbak, Bu,"  pamitku saat mendengar teriakan Abram dari dalam. Entah siapa yang membantunya membuka pintu, keseriusanku mengoreksi diri membuat tak sadar situasi. 

Memang tak memungkiri, semua perkataan Bu Jeni itu benar, tapi aku berusaha tak meladeninya. Diri selalu menghindari perbincangan seperti ini, khawatir menjadi gibah atau dapat saja berubah fitnah, tanpa sadar mengumbar rahasia rumah tangga orang lain bahkan rumah tangga sendiri dengan alasan curhat.

"Ingat kata-kataku ya, Mamah Abram, apalagi Pak Dokter dikelilingi wanita-wanita cantik," pesan Bu Jeni yang langsung kuangguki sebelum berlalu. 

"Aku sering lihat, loh, dokter Rian jalan sama dokter kulit yang baru buka praktek itu. Cantik pokoknya, Jeng. Udah gitu mesra banget." 

Masih sempat kudengar ucapan Bu Jeni, sebelum tubuh sempurna menghilang di balik pintu. 

Ah, meski jauh hari telah mempersiapkan diri atas kemungkinan yang terjadi, tetap saja, hati begitu lemah bila menyangkut papa dari putraku itu. 

Ada yang jatuh tapi bukan hujan.

Ada yang tergenang tapi bukan banjir.

Ah, Bukankah cinta dalam diam itu indah? Ada peperangan yang tak perlu dipertontonkan, dipermasalahkan, apalagi untuk dimenangkan? 

Mas Rian ...

Kenapa hatiku sangat sakit saat orang bercerita tentangmu? Apalagi melihatmu langsung? Bukankah itu fakta? Bukankah aku tahu semuanya sejak awal? 

Izinkan aku mencintaimu dalam diam

Karena dalam diam tidak ada kata penolakan

Izinkan aku mencintaimu dalam kesepian

Karena dalam kesepian tidak akan ada orang lain

Izinkan aku memujamu dari kejauhan

Karna dari kejauhan akan melindungiku dari rasa sakit

Izinkan aku memilikimu dalam mimpi

Karena dalam mimpi kamu tidak akan pernah meninggalkan aku

Tahukah kalian? 

Puisi itu coretan dari sahabat dumayku yang tak pernah bersua langsung, Qeisyah. Namun, begitu mencubit kepekaanku. 

Entah itu hanya hasil karya tangan biasa atau sedang mencurahkan hati sebenarnya. Yang jelas, rangkaian kata itu mewakili rasaku yang telah bertahun bertahta. 

Wahai ...

lelaki yang bergelar suami di sana! Mengapa engkau hadir, jika hanya untuk melukai? Mengapa engkau mengajak, jika tak mampu membersamai? Kenapa dikau menyemai, bila tak mampu memanen? 

Belum puaskah dirimu menyakiti? 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
makanya jdi istri jgn cuma nrimo punya harta manfaatin buaat rawat badan jgn hanya nabung "trus biar cantik wangi buat diri sendiri walaupun suamimi tdk tettarik dgnmu ,setidaknya ada ikthiar kelak di huang suami masih cantik nggak terpuruk ,dpt jodoh yang lebih baik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status