Aditya langsung melingkarkan cicin berlian itu di jari manis Dahlia. Mulutnya sedikit mengerucut heran. Mengapa bisa pas seolah-olah cincin itu memang diciptakan untuknya?
"Apa perlu kami abadikan, Tuan?" tanya pelayannya."Boleh," jawab Aditya singkat.Pelayan itu mengeluarkan ponselnya yang ada gambar apel yang digigit dengan tampilan edisi terbaru.Belinda menghampiri mereka dengan wajah pucat. Jantungnya sebentar lagi akan jatuh karena silau dengan kilauan cincin itu. Dengan kasar, dia meraih tangan Dahlia."Ini apa Mas?! Kamu bohong kalau harganya ratusan juta!" serunya marah seperti tak percaya.Aditya tersenyum kecut. Laki-laki itu mencebik karena Belinda seperti bunglon, bisa berubah-rubah. Baru melihat yang berkilau langsung mencoba mesra. Aditya bertekad tidak akan luluh. Ia merasa harga dirinya sudah diinjak. Ia tak akan berubah pikiran."Memangnya matamu rabun? Itu cincin," ketus Aditya."Iya! Aku juga tahu, ini cincin! Ini cicin kw apa asli?!"Belinda memekik sembari menggoyang-goyangkan tangan Dahlia. Wanita itu menyentak lengan Dahlia dengan kasar. Dahlia hanya diam saja seperti meringis menahan sakit di tangannya."Mau asli, mau kw pun tak ada urusannya sama kamu, Bel!" sergah Aditya."Kamu tinggal jawab, ini cincin asli apa cincin palsu?!"Belinda kembali mengguncang tangan Dahlia. Gadis berhijab itu menunduk, menggigit bibirnya. Dahlia sedang menahan rasa sakit dan serba salah. Aditya merasa tak bisa membiarkan itu. Baginya, Belinda sudah keterlaluan.Wuush!Aditya menarik tangan Dahlia hingga terhuyung di depan dadanya. Kedua bola mata gadis itu melebar karena kaget. Seperti detik begitu lambat meninggalkan waktu. Gadis itu sekarang sudah berada dalam pelukan Aditya. Sejenak Dahlia mendongak menatap pemuda itu. Aditya suka warna manik mata gadis itu. Warna abu bercampur hitam jelaga. Ciamik. Tiba-tiba Dahlia langsung melepaskan diri, salah tingkah. Hati Aditya merasa lucu, meski ekspresi wajahnya tetap datar."Kamu jangan kurang ajar ya Mas! Ini rumahku!" teriak Belinda."Kamu tuh, jangan jahat sama calon istriku! Kamu kira lengannya itu layangan bisa kamu kebas-kebasin begitu. Kalau kami tak bisa pergi bulan madu ke Paris karena lengannya sakit, aku tuntut ya!"Merah padam wajah Belinda karena merasa dipermainkan."Aku sudah muak ya sama omonganmu yang sok bossi itu! Jangan terlalu menghayal. Bisa mati menggenaskan kamu nanti karena depresi," ketus Belinda.Aditya hanya diam, menggerutu dalam hati.'Kamu hanya belum tahu saja, siapa aku, Bel. Kamu akan segera menarik ucapanmu itu'Tiba-tiba Yuni mendekat, memegang telapak tangan Dahlia. Dia memutar-mutar cincin itu di jari manis Dahlia. Memang benda itu sungguh berkilau seperti asli. Namun ia menapik apa yang didengar dan dilihatnya. Ia yakin, itu adalah cincin palsu."Aah ini pasti kw ini, Bel. Gak mungkin asli," ujar Yuni menghempaskan tangan Dahlia."Masak sih, Ma? Kilaunya kok beda ya," gumam Belinda kembali akan meraih tangan Dahlia.Aditya langsung menepis lengan Belinda."Sudah ya. Mau kw atau asli, gak ada hubungannya sama kalian. Kan kamu juga gak mau sama aku, Bel. Udah, ngapain juga kamu kepo."Seolah-olah abai dengan ucapannya, gadis yang masih ada di hati Aditya itu menatap tajam pada Dahlia."Lepas!" perintahnya."Ammm ... tapi Non," lirih Dahlia menggengam tangan kanannya seolah-olah menyembunyikan jarinya yang bercincin."Lama! Lepas cepat! Aku mau lihat langsung!" seru Belinda menarik paksa tangan Dahlia dan mencoba melepaskan cincin itu.Aditya kembali menepis tangan Belinda yang sedang berusaha menjajah jari calon istrinya itu."Apaan sih kamu, Bel! Jangan coba-coba dilepas. Itu cincin pernikahanku! Ngiler ya kamu?! Kasian deh!""Aku mau lihat! Kasih aku lihat, Mas!" teriak Belinda memaksa."Gak! Aku gak izinin!"Aditya menepis tangan Belinda, namun gadis itu tak mau kalah. Ia terus mencoba meraih telapak tangan Dahlia sedangkan Aditya berusaha menjauhkannya."Aku pecat kamu kalau kamu gak lepasin cincin itu!" pekik Belinda pada Dahlia."Anu Mbak ...," lirih Dahlia kebingungan."Awas ya! Kamu gak boleh lepas cincin itu tanpa seizinku!" ancam Aditya mengangkat lengan gadis itu.Aditya tak ingin cincin mahal itu jatuh ke tangan Belinda yang matre."Dahlia! Lepasin!" teriak Belinda menghentakkan kakinya."Kamu gak ada hak ya!" lanjut Aditya terus menarik tangan Dahlia yang sedari tadi jadi rebutan."Dia pembantuku di sini, Aditya! Aku cuma mau lihat lebih detail cincin itu!""Tak ada urusannya sama kamu! Ayo kita pergi!" ujar Aditya pada Dahlia yang memucat.Aditya yakin, pasti gadis itu takut dipecat. Pemuda itu menatapnya serius."Ikut aku. Kamu sudah bukan pembantu lagi di sini. Tempatmu seharusnya berada di istanaku," lirih Aditya serius pada Dahlia."Puihhh! Sejak kapan laki-laki kere kayak kamu punya istana. Jangan mau diperdaya laki-laki tak kamu kenal, Dahlia! Lepaskan cincin itu dan kembalilah bekerja," ujar Yuni melipat tangannya di depan dada. Begitu angkuh dan sombong.Aditya semakin muak diremehkan begitu. Ia segera merogoh ponselnya yang sederhana. Ponsel mewahnya ada di rumah."Hallo, aku share lock sekarang. Jemput secepatnya. Baik. Secepatnya!"Setelah sejenak menekan beberapa tombol, Aditya kembali menoleh pada Dahlia."Ayo. Ikut aku!" seru Aditya.Dahlia masih bergeming seperti ketakutan. Bagaimana dia bisa mengikuti ucapan laki-laki yang baru dia temui? Namun mendapatkan penawaran dan tekanan, Dahlia tak memiliki pilihan."Kamu jangan termakan rayuan laki-laki ini! Satu langkah kamu keluar dari rumah ini, kamu kupecat!" ancam Belinda garang."Dan jangan harap kamu bisa dapat pesangon dan bisa kami terima lagi kerja di sini! Buat tamatan SMA kayak kamu, mau kerja apa ha?!" lanjut Yuni menambahkan.Aditya menarik pergelangan tangan Dahlia. Gadis itu menggeleng, mencoba melepaskan tangan darinya."Jangan pedulikan ucapan mereka!" seru Aditya.Dahlia masih bergeming, makin kebingungan.Tiiiit!Itu suara klason mobil Aditya. Laki-laki itu mencekal pergelangan tangan Dahlia dengan erat. Gadis itu tak bisa mengelak lagi. Aditya menyeretnya dengan langkah cepat. Tampak mobil mewah sudah terparkir tepat di halaman rumah itu. Supir pribadinya sudah turun dan membukakan mereka pintu. Aditya merasa tak perlu menoleh ke belakang. Sudah bisa dibayangkan bagaimana ekspresi ibu dan putrinya yang mantre itu."Lihat saja, ini baru permulaan. Kalian akan membayar mahal untuk hari ini," gumam Aditya hampir tak terdengar."Lepasin, ih!" Dahlia menyentak tangan Aditya kasar. Aditya juga baru sadar masih mencekal pergelangan tangan gadis itu. Segera dilepaskannya begitu saja. Aditya pura-pura tak bereaksi, seolah tak merasa bersalah. Dahlia terus melihat ke belakang meskipun mobil sudah bergerak meninggalkan rumah Belinda. Terlihat ada keragu-raguan pada sorot matanya. Aditya acuh saja. Laki-laki itu merasa baru saja mengangkat statusnya. Meski tak selamanya, tapi setidaknya untuk beberapa waktu. "Mana sepuluh jutanya?"Tiba-tiba suara Dahlia membuyarkan pikiran Aditya yang sedang memutar otak membuat rencana. Gadis itu sekarang menengadahkan tangannya, tepat di depan wajahnya. "Cincin yang di tanganmu itu nilainya ratusan juta. Sekarang kamu mau minta sepuluh juta. Apa kamu sedang memerasku?!"Aditya menarik nafas. Apa jangan-jangan dia lebih matre dari Belinda? Begitu pikir laki-laki itu. "Ini cincinmu!" Dahlia meraih tangan Aditya lalu meletakkan benda berkilau itu begitu saja."Eeeeh!" Aditya m
"Dahlia!" teriak Aditya dari dalam mobil. Untuk pertama kali Aditya memanggil nama gadis itu."Lusa sore, aku akan ke sini lagi!"Gadis berhijab itu mengangguk samar lalu kembali membelakangi Aditya. "Kita langsung pulang ke rumah ya, Pak!""Baik, Tuan Muda," jawab Suparman santai. Setelah cukup lama menit terbuang, tiba-tiba saja hati Aditya terusik. "Menurutmu, dia gimana?""Manis, Tuan. Hanya belum dipoles dan dirawat saja."Pemuda itu tersenyum."Tapi gadis-gadis yang sudah pernah dijodohkan denganmu, jauh lebih cantik dan terawat. Hmm ... mereka terlihat lebih elegan dan pastinya memiliki pendidikan yang terbaik. Apalagi kalau Tuan Besar tahu, sepertinya dia tidak akan setuju. Bibit, bobot dan bebet itu adalah hal yang paling utama. Bukan maksudku untuk menginterfensimu. Namun perkara pernikahan bukan hal yang mudah.""Hanya kau dan Parjo juga istrinya yang tahu masalah ini. Aku mohon, rahasiakanlah. Gadis itu akan kunikahi bukan semata-mata untuk segera mendapatkan kepercayaa
"Huwaaaaa!!!"Belinda menangis histeris, menghentak-hentakkan kakinya. Gadis itu masih terus menantap gerbang besi yang dilewati mobil mewah yang dinaiki Aditya dan Dahlia. "Kamu kenapa sih, Bel!? Sudah miring urat syarafmu?!" bentak Yuni sembari mendorong bahu anak gadisnya. "Mas Adit, Ma! Mama gak lihat, mobil yang jemput dia tadi itu kek gimana? Itu mobil mewah, Ma!" pekik Belinda. Seolah tak peduli dengan ucapan anaknya, Yuni duduk santai, menyalakan tv tanpa menoleh pada Belinda sedikitpun. "Paling grab itu yang jemput. Kamu jangan mau ditipu sama dia. Mama dari awal sudah gak srek sama laki-laki itu," timpalnya. "Itu Rolls Royce seharga puluhan milyar, Ma! Gak mungkin dipake buat ngegrab!" sentak Belinda kesal dengan ibunya. "Paling mobil pinjaman atau kamu salah lihat. Banyak yang kw sekarang, siapa yang tahu, itu juga bisa jadi mobil kw."Belinda merobek-robek tisu makan yang di atas meja untuk melampiaskan kekesalannya. "Tapi mataku masih bisa bedain mana kw dan ori! H
"Assalamu'alaikum!" salam Dahlia lalu melepas sandalnya. Tanpa menjawab salam, Marni keluar menyambut anaknya. Mulutnya sudah siap membuka dan akan mencecar anaknya namun seketika langsung tertutup ketika ia melihat sebuah mobil yang terlihat begitu mewah dan gagah masih terparkir lalu perlahan bergerak menjauh. Marni segera berbalik masuk, meletakkan bayi di gendongannya ke lantai beralaskan kasur bayi. "Siapa itu?" tanya Marni. "Hanya teman baru, Bu," jawab Dahlia grogi. "Kamu yang jujur. Tadi Belinda dan ibunya datang. Kata mereka, kamu kabur dari rumah itu, meninggalkan pekerjaan demi ikut laki-laki. Apa itu sikap perempuan baik?" lanjut Marni mencecar anaknya. Dahlia menegak salivanya kasar. Hatinya bertalu-talu. Bagaimana ia bisa menceritakan tentang semua kejadian yang sangat cepat itu? Ia pun masih seperti tak percaya. "Anu, Bu ... aku ...." "Katakan, apa yang kamu lakukan dengan dia sampai harus meninggalkan pekerjaanmu? Ibu yakin, kamu masih punya akal sehat, Nak
Yuni mengangkat kakinya di atas sofa, sembari menatap sinis pada Dahlia yang sedang membersihkan beberapa hiasan dinding dengan kemoceng. Gadis itu pun seolah tak peduli, majikannya sedang memperhatikan dirinya dengan cermat. Kedua mata Yuni menelisik ke jemari tangan Dahlia. Tidak ada cincin. Sejak gadis itu sampai, tak ada ucapan apapun dari mulutnya juga dari mulut Dahlia. Hanya salam saja ketika dia baru sampai pukul enam pagi tadi."Bel! Sudah jam delapan ini! Gak takut telat kamu, ha?!"Yuni menegur anak gadisnya yang baru keluar kamar. Tampak Belinda masih menggunakan baju tidur."Santai, Ma. Aku hanya nemenin boss meeting nanti jam sepuluh," jawab Belinda dari dalam kamarnya.Dahlia sama sekali tak menoleh apalagi menyapa nona rumah itu seperti biasa. Ingin rasanya gadis itu mengumpat dua wanita penghuni rumah itu. Hatinya makin dongkol. B
Dahlia menapaki setapak demi setapak marmer mahal yang sudah bertahun-tahun selalu dirawatnya. Di sini memang ia menggantungkan nasib dan kehidupan keluarganya. Bu Yuni selalu memberikannya gaji tepat waktu meski sering dipotong karena menurutnya pekerjaan Dahlia kurang bersih, kurang cepat."Jangan nekad kamu, Dahlia! Ingat, kamu dan keluargamu itu tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa gaji dari sini!" ancam Yuni melototkan matanya."Wanita sinting!" umpat Belinda menambahkan.Dahlia terus melangkah. Di sini, tempatnya selalu menempa kesabaran. Karakter Bu Yuni yang asal perintah dan memiliki mulut tanpa saringan itu kerap kali membuatnya menahan air mata. Ditambah sikap Belinda yang memandangnya sebelah mata, membuatnya harus menambah stok kesabaran. Seharusnya gadis itu lebih bersahabat dengannya karena mereka seusia. Namun faktanya tidak.Belinda mengejar Dahlia lalu mendo
Sejenak Aditya diam. Pikirannya berputar cepat. Dia adalah calon pimpinan tertinggi Central Glori. Pantang menjilat ludahnya sendiri dan itu artinya dia sudah memutuskan. Nasi sudah menjadi bubur dan tak akan bisa mundur. Tak ada yang perlu disembunyikan dari Dahlia. Karena memang dia akan menikahi gadis ini bukan karena cinta. Hatinya sudah tertutup rapat. Terlalu sakit karena hinaan wanita yang diberikan ketulusan cinta. Aditya pun yakin, Dahlia juga sama dengan Belinda. Apa lagi, gadis itu berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pastilah, rasa hausnya akan harta juga sangat tinggi.Setidaknya itu terpikirkan di kepala laki-laki yang sedikit berjambang tipis itu."Aku adalah anak sulung dari Hadi Pratama, pemilik banyak perusahaan di kota ini. Dan perusahaan tempat Belinda bekerja adalah milik ayahku. Sebagai anak pertama laki-laki, aku akan mewarisi perusahaan itu. Tapi ada syaratnya, harus menikah dan menguasai segala bidang di perusahaan. Itu me
Setelah banyak detik yang terbuang di antara mereka, akhirnya Dahlia bicara. "Andai kamu mengatakan ini pada Belinda saat kamu melamarnya, aku yakin, dia dan ibunya pasti langsung menerimanya." "Aku sangat mencintainya, tak melihat apakah dia wanita berada atau tidak. Jika seadainya, Belinda pun hanya seorang pembantu sepertimu. Aku pun akan tetap mencintainya." Dahlia mengelus ujung meja yang terbuat dari akrilik itu. Entah apa yang di pikiran gadis itu. Namun kalimat dari bibir mungilnya menjawab pertanyaan Aditya. "Jadi begitu rendahnya status seorang pembantu di matamu." "Bukan begitu. Jangan salah kaprah. Beda otak, beda pandangan, dan beda persepsi. Itu hanya perumpamaan. Jangan salah, pasangan yang kubawa saat melamarmu itu adalah dua pelayanku. Aku menghargai mereka bahkan menyayangi mereka seperti kedua orang tuaku. Tidak ada yang salah dengan art, justru mereka sangat luar biasa. Namun, marilah kita bicara dari segi strata sosial dan logika." Aditya menatap serius pad