Kedua bola mata Belinda seperti akan keluar dari tempatnya. Manik matanya terus mengikuti tangan Aditya yang sedang menunjuk gadis berhijab coklat muda. Seolah akalnya hilang, Belinda mencoba menerka maksud dari ucapan dan perilaku Aditya.
"Dahlia?" Suara Belinda bergetar.'Oh rupanya, namanya Dahlia. Hemmm ... tak buruk.' Aditya membatin.Gadis itu berhenti. Ia membalik tubuhnya lalu celingak-celinguk. Semua mata di ruangan itu sedang menatapnya serius. Ia semakin bingung."Saya Non?""Tak usah berdiri di situ! Enyah lah dari pandanganku!" perintah Belinda yang dipenuhi rasa was-was. Ia takut apa yang sedang dipikirannya itu sesuai dengan pikiran Aditya."Jangan pergi. Kita harus bicara sekarang, Mbak," ujar Aditya terdengar luwes dan meyakinkan."Kamu jangan gila, ya!" seru Bu Yuni berang pada Aditya.Aditya tak peduli. Ia mendekati Dahlia memberikan sorot mata yang tajam. Siapa pun akan tahu, Aditya sedang tidak bermain-main. Dia serius dengan apa yang sedang direncanakannya."Kamu, sudah menikah?"Dahlia makin kebingungan. Pandangannya menatap majikannya, namun Aditya segera menutupi pandangan gadis itu dengan tubuhnya. Kini, hanya wajah Aditya yang di depan Dahlia."Aku tak punya banyak waktu. Kamu sudah menikah?"Aditya mengulangi pertanyaannya lebih tegas, lebih jelas dan juga lebih dekat lagi dengan wajah Dahlia. Sorot mata mereka beradu. Cukup banyak detik yang terlewatkan. Dahlia menggeleng pelan. Aditya tersenyum."Baiklah. Besok aku akan datang ke rumahmu. Bersiaplah menjadi pengantinku."Merasa tidak perlu menunggu respon Dahlia, Aditya segera membelakangi gadis berhidung bangir itu. Tak peduli sepelik apa masalah yang akan muncul, ia tetap akan menjalankan rencananya."Tidak! Aku takkan mengizinkan kamu bersama dia, Aditya! Dia babuku! Pelayanku di sini!" sentak Belinda tak terima."Kamu sendiri yang menyuruhku menikahi siapapun. Jadi, aku memilih dia. Kamu tak usah memcampuri urusanku, Bel," timpal Aditya."Tidak akan kubiarkan kamu menikahi pembantuku, Aditya! Ini menginjak-injak harga diriku!"Aditya acuh dan bersiap kembali. Ia memberikan kode pada dua pasangan suami istri yang menemaninya. Mereka kompak keluar dari rumah itu."Tunggu! Tolong jangan libatkan aku dalam permasalahan kalian. Aku hanya pembantu di sini," ucap Dahlia berani membuka mulut setelah banyak detik yang dilewatinya untuk berpikir. "Dia menolakku. Jadi aku pilih kamu. Jangan berisik," ketus Aditya."Kamu gila! Kita bahkan tak pernah bertemu!" seru Dahlia pias."Kita bertemu sekarang," timpal Aditya santai.Laki-laki itu ingin mengumpati Dahlia yang tak peka karena tak bisa merasakan aura kepemimpinan dan kedikjayaan dalam dirinya."Aku tak mau!""Kamu akan tetap menikah denganku.""Eeeh! Gak bisa!" seru Dahlia menapik.Aditya mendekatinya hingga mereka sangat dekat sekali. Aroma keringat gadis itu tercium di hidung Aditya. Laki-laki itu tahu, pastilah gadis di depannya itu memakai sabun murahan. Tapi tak masalah. Aditya butuh gadis itu untuk membungkam ego dua wanita sombong di belakangnya. Dipegangnya bahu Dahlia dengan sangat kencang."Dengarkan aku. Diamlah. Aku akan membayarmu hanya dengan kamu menutup mulutmu itu. Anggukan kepalamu sekarang, kuhargai sepuluh juta. Hanya satu anggukan kepala saja. Kamu tak mungkin kan melewati kesempatan ini?" bisik Aditya yang dipastikan hanya dia dan Dahlia yang tahu.Aditya bisa melihat pergerakan rahang gadis itu. Ia sedang menelan salivanya yang mungkin terasa pahit karena kekagetannya yang luar biasa. Namun Aditya terus menatapnya tajam dan akhirnya Dahlia mengangguk meski samar."Oke!" seru Aditya menghentak bahu Dahlia lalu melepaskan tubuh gadis itu. "Terimakasih semuanya. Bu, Pak dan kamu Bel, aku pamit ya. Oh ya, tolong pecat dia karena mulai hari ini, dia calon istriku. Dia tak pantas menjadi pembantu. Dia adalah nyonya Central Glori tbk," lanjut Aditya santai.Belinda melempari Aditya dengan kotak tisu di depannya. Untung saja benda itu ringan, terbuat dari sejenis kain flanel. Kemarahannya pada Aditya benar-benar sampai ke ubun-ubunnya. Panas sekujur tubuhnya."Kamu jangan banyak gaya, banyak bicara! Perbuatanmu ini bisa aku laporkan pada atasan karena secara tidak langsung, kamu sudah menghina perusahaan!""Detik dimana aku bicara begitu, detik itu juga aku sudah bukan admin lagi di sana, Bel! Mulai besok, kamu harus minta tanda tanganku untuk segala urusan proyek perusahaan."Bu Yuni menarik tangan putrinya agar duduk kembali ke sofa. Nampak nafas Belinda memburu."Mama gak bisa bayangin kalau seandainya, kamu beneran menikah dengan dia, Bel! Baru ditolak sama kamu, dia sudah langsung gila. Hahahahaha! Lucu!"Mulut Bu Yuni begitu lebar saat menertawakan Aditya. Suaminya juga terlihat menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan tawanya."Awas saja kalau kamu kemakan rayuannya. Besok kamu harus tetap kerja. Mau makan apa kamu sama orang tuamu yang miskin kalau gak kerja di saya?!" lanjut Bu Yuni pada Dahlia. Wanita itu menatap sinis pada pembantunya.Di dalam hati, Aditya bertekad akan menyulap gadis berkulit kusam itu menjadi lebih cantik dari Belinda. Dengan begitu, ia akan melihat air mata penyesalan dari Belinda yang baru saja menolak sekaligus menghinanya."Mari, Tuan Muda, kita pulang!" seru salah satu pelayan Aditya yang menemaninya.Bu Yuni langsung tersedak. Ia terbatuk-batuk mendengar seorang laki-laki yang kulitnya agak hitam karena sering terkena sinar matahari itu bicara."Bel! Bahkan orang tuanya aja langsung gak waras. Tuan muda? Ampun deh," ejek Yuni."Dia memang Tuan Muda kami, Bu. Anak ...."Aditya mengangkat tangannya sedikit pada pelayan itu. Tak perlu mengatakan siapa dia, biar mereka melihat langsung nanti. Terlihat Belinda hanya menggeleng, menutup mulutnya yang sedang tertawa."Please deh, Aditya! Kamu kalau mau sirkus ngelawak janganlah di sini. Dah kamu cepat saja nikahi dia. Pastilah lima puluh juta bisa langsung yess sama keluarganya yang miskin! Lima juta juga pasti oke. Mereka itu cocok sama kamu. Sama-sama melarat.""Kamu kenapa sejahat ini menghina aku, Bel? Selama enam bulan ini, sikapmu tak seperti ini."Jauh dalam lubuh hatinya, Aditya merasa sangat sedih sekali. Biar bagaimana pun, rasa cintanya pada Belinda sangat tulus. Apakah memang cinta sejati itu hanya dongeng?"Ya sejujurnya aku hanya suka wajah tampanmu. Tapi makin ke sini, tampan tapi miskin, itu buatku sadar kalau selama ini aku sudah menghabiskan banyak waktuku.""Masih banyak yang nikah hanya dengan mahar seperangkat alat solat, Bel! Semua uang itu murni hasil keringatku sendiri!" seru Aditya menimpali."Tidak untukku, Adit. Kita beda level, beda kasta. Kamu silahkan keluar dari rumah ini."Ucapan Belinda menambah rasa sakit hati Aditya. Rupanya kata-kata cintanya kemarin pada laki-laki itu hanya permainan belaka.Aditya merogoh sebuah kotak dari kantung celananya. Benda itu berlapiskan beludru lembut. Ia hampiri Dahlia yang masih mematung menyaksikan perdebatan mereka. Gadis itu mundur. Aditya melototkan matanya. Dahlia semakin mundur namun langkah kakinya terhenti karena terhalang dinding ruang tamu itu."Berikan tanganmu!" perintah Aditya dingin.Dahlia menggeleng. Mata Aditya semakin melotot dan semakin menyeramkan. Setelah mendapatkan tekanan dari pemuda itu, Dahlia mengulurkan tangannya dengan perlahan dan nampak gemetar. Aditya menyeringai puas.Kleeek!Aditya membuka kotak kecil di tangannya. Ia memastikan, kilau cincin berlian ini adalah permulaan pembalasan atas hinaan keluarga ini padanya."Aku membeli cincin ini seharga ratusan juta. Ini akan terpasang pada jemari tanganmu sebagai calon istriku," ujar Aditya dengan suara berat.Aditya langsung melingkarkan cicin berlian itu di jari manis Dahlia. Mulutnya sedikit mengerucut heran. Mengapa bisa pas seolah-olah cincin itu memang diciptakan untuknya? "Apa perlu kami abadikan, Tuan?" tanya pelayannya. "Boleh," jawab Aditya singkat. Pelayan itu mengeluarkan ponselnya yang ada gambar apel yang digigit dengan tampilan edisi terbaru. Belinda menghampiri mereka dengan wajah pucat. Jantungnya sebentar lagi akan jatuh karena silau dengan kilauan cincin itu. Dengan kasar, dia meraih tangan Dahlia. "Ini apa Mas?! Kamu bohong kalau harganya ratusan juta!" serunya marah seperti tak percaya. Aditya tersenyum kecut. Laki-laki itu mencebik karena Belinda seperti bunglon, bisa berubah-rubah. Baru melihat yang berkilau langsung mencoba mesra. Aditya bertekad tidak akan luluh. Ia merasa harga dirinya sudah diinjak. Ia tak akan berubah pikiran. "Memangnya matamu rabun? Itu cincin," ketus Aditya. "Iya! Aku juga tahu, ini cincin! Ini cicin kw apa asli?!"Belinda memekik semb
"Lepasin, ih!" Dahlia menyentak tangan Aditya kasar. Aditya juga baru sadar masih mencekal pergelangan tangan gadis itu. Segera dilepaskannya begitu saja. Aditya pura-pura tak bereaksi, seolah tak merasa bersalah. Dahlia terus melihat ke belakang meskipun mobil sudah bergerak meninggalkan rumah Belinda. Terlihat ada keragu-raguan pada sorot matanya. Aditya acuh saja. Laki-laki itu merasa baru saja mengangkat statusnya. Meski tak selamanya, tapi setidaknya untuk beberapa waktu. "Mana sepuluh jutanya?"Tiba-tiba suara Dahlia membuyarkan pikiran Aditya yang sedang memutar otak membuat rencana. Gadis itu sekarang menengadahkan tangannya, tepat di depan wajahnya. "Cincin yang di tanganmu itu nilainya ratusan juta. Sekarang kamu mau minta sepuluh juta. Apa kamu sedang memerasku?!"Aditya menarik nafas. Apa jangan-jangan dia lebih matre dari Belinda? Begitu pikir laki-laki itu. "Ini cincinmu!" Dahlia meraih tangan Aditya lalu meletakkan benda berkilau itu begitu saja."Eeeeh!" Aditya m
"Dahlia!" teriak Aditya dari dalam mobil. Untuk pertama kali Aditya memanggil nama gadis itu."Lusa sore, aku akan ke sini lagi!"Gadis berhijab itu mengangguk samar lalu kembali membelakangi Aditya. "Kita langsung pulang ke rumah ya, Pak!""Baik, Tuan Muda," jawab Suparman santai. Setelah cukup lama menit terbuang, tiba-tiba saja hati Aditya terusik. "Menurutmu, dia gimana?""Manis, Tuan. Hanya belum dipoles dan dirawat saja."Pemuda itu tersenyum."Tapi gadis-gadis yang sudah pernah dijodohkan denganmu, jauh lebih cantik dan terawat. Hmm ... mereka terlihat lebih elegan dan pastinya memiliki pendidikan yang terbaik. Apalagi kalau Tuan Besar tahu, sepertinya dia tidak akan setuju. Bibit, bobot dan bebet itu adalah hal yang paling utama. Bukan maksudku untuk menginterfensimu. Namun perkara pernikahan bukan hal yang mudah.""Hanya kau dan Parjo juga istrinya yang tahu masalah ini. Aku mohon, rahasiakanlah. Gadis itu akan kunikahi bukan semata-mata untuk segera mendapatkan kepercayaa
"Huwaaaaa!!!"Belinda menangis histeris, menghentak-hentakkan kakinya. Gadis itu masih terus menantap gerbang besi yang dilewati mobil mewah yang dinaiki Aditya dan Dahlia. "Kamu kenapa sih, Bel!? Sudah miring urat syarafmu?!" bentak Yuni sembari mendorong bahu anak gadisnya. "Mas Adit, Ma! Mama gak lihat, mobil yang jemput dia tadi itu kek gimana? Itu mobil mewah, Ma!" pekik Belinda. Seolah tak peduli dengan ucapan anaknya, Yuni duduk santai, menyalakan tv tanpa menoleh pada Belinda sedikitpun. "Paling grab itu yang jemput. Kamu jangan mau ditipu sama dia. Mama dari awal sudah gak srek sama laki-laki itu," timpalnya. "Itu Rolls Royce seharga puluhan milyar, Ma! Gak mungkin dipake buat ngegrab!" sentak Belinda kesal dengan ibunya. "Paling mobil pinjaman atau kamu salah lihat. Banyak yang kw sekarang, siapa yang tahu, itu juga bisa jadi mobil kw."Belinda merobek-robek tisu makan yang di atas meja untuk melampiaskan kekesalannya. "Tapi mataku masih bisa bedain mana kw dan ori! H
"Assalamu'alaikum!" salam Dahlia lalu melepas sandalnya. Tanpa menjawab salam, Marni keluar menyambut anaknya. Mulutnya sudah siap membuka dan akan mencecar anaknya namun seketika langsung tertutup ketika ia melihat sebuah mobil yang terlihat begitu mewah dan gagah masih terparkir lalu perlahan bergerak menjauh. Marni segera berbalik masuk, meletakkan bayi di gendongannya ke lantai beralaskan kasur bayi. "Siapa itu?" tanya Marni. "Hanya teman baru, Bu," jawab Dahlia grogi. "Kamu yang jujur. Tadi Belinda dan ibunya datang. Kata mereka, kamu kabur dari rumah itu, meninggalkan pekerjaan demi ikut laki-laki. Apa itu sikap perempuan baik?" lanjut Marni mencecar anaknya. Dahlia menegak salivanya kasar. Hatinya bertalu-talu. Bagaimana ia bisa menceritakan tentang semua kejadian yang sangat cepat itu? Ia pun masih seperti tak percaya. "Anu, Bu ... aku ...." "Katakan, apa yang kamu lakukan dengan dia sampai harus meninggalkan pekerjaanmu? Ibu yakin, kamu masih punya akal sehat, Nak
Yuni mengangkat kakinya di atas sofa, sembari menatap sinis pada Dahlia yang sedang membersihkan beberapa hiasan dinding dengan kemoceng. Gadis itu pun seolah tak peduli, majikannya sedang memperhatikan dirinya dengan cermat. Kedua mata Yuni menelisik ke jemari tangan Dahlia. Tidak ada cincin. Sejak gadis itu sampai, tak ada ucapan apapun dari mulutnya juga dari mulut Dahlia. Hanya salam saja ketika dia baru sampai pukul enam pagi tadi."Bel! Sudah jam delapan ini! Gak takut telat kamu, ha?!"Yuni menegur anak gadisnya yang baru keluar kamar. Tampak Belinda masih menggunakan baju tidur."Santai, Ma. Aku hanya nemenin boss meeting nanti jam sepuluh," jawab Belinda dari dalam kamarnya.Dahlia sama sekali tak menoleh apalagi menyapa nona rumah itu seperti biasa. Ingin rasanya gadis itu mengumpat dua wanita penghuni rumah itu. Hatinya makin dongkol. B
Dahlia menapaki setapak demi setapak marmer mahal yang sudah bertahun-tahun selalu dirawatnya. Di sini memang ia menggantungkan nasib dan kehidupan keluarganya. Bu Yuni selalu memberikannya gaji tepat waktu meski sering dipotong karena menurutnya pekerjaan Dahlia kurang bersih, kurang cepat."Jangan nekad kamu, Dahlia! Ingat, kamu dan keluargamu itu tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa gaji dari sini!" ancam Yuni melototkan matanya."Wanita sinting!" umpat Belinda menambahkan.Dahlia terus melangkah. Di sini, tempatnya selalu menempa kesabaran. Karakter Bu Yuni yang asal perintah dan memiliki mulut tanpa saringan itu kerap kali membuatnya menahan air mata. Ditambah sikap Belinda yang memandangnya sebelah mata, membuatnya harus menambah stok kesabaran. Seharusnya gadis itu lebih bersahabat dengannya karena mereka seusia. Namun faktanya tidak.Belinda mengejar Dahlia lalu mendo
Sejenak Aditya diam. Pikirannya berputar cepat. Dia adalah calon pimpinan tertinggi Central Glori. Pantang menjilat ludahnya sendiri dan itu artinya dia sudah memutuskan. Nasi sudah menjadi bubur dan tak akan bisa mundur. Tak ada yang perlu disembunyikan dari Dahlia. Karena memang dia akan menikahi gadis ini bukan karena cinta. Hatinya sudah tertutup rapat. Terlalu sakit karena hinaan wanita yang diberikan ketulusan cinta. Aditya pun yakin, Dahlia juga sama dengan Belinda. Apa lagi, gadis itu berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pastilah, rasa hausnya akan harta juga sangat tinggi.Setidaknya itu terpikirkan di kepala laki-laki yang sedikit berjambang tipis itu."Aku adalah anak sulung dari Hadi Pratama, pemilik banyak perusahaan di kota ini. Dan perusahaan tempat Belinda bekerja adalah milik ayahku. Sebagai anak pertama laki-laki, aku akan mewarisi perusahaan itu. Tapi ada syaratnya, harus menikah dan menguasai segala bidang di perusahaan. Itu me