"Dahlia!" teriak Aditya dari dalam mobil. Untuk pertama kali Aditya memanggil nama gadis itu.
"Lusa sore, aku akan ke sini lagi!"Gadis berhijab itu mengangguk samar lalu kembali membelakangi Aditya."Kita langsung pulang ke rumah ya, Pak!""Baik, Tuan Muda," jawab Suparman santai.Setelah cukup lama menit terbuang, tiba-tiba saja hati Aditya terusik."Menurutmu, dia gimana?""Manis, Tuan. Hanya belum dipoles dan dirawat saja."Pemuda itu tersenyum."Tapi gadis-gadis yang sudah pernah dijodohkan denganmu, jauh lebih cantik dan terawat. Hmm ... mereka terlihat lebih elegan dan pastinya memiliki pendidikan yang terbaik. Apalagi kalau Tuan Besar tahu, sepertinya dia tidak akan setuju. Bibit, bobot dan bebet itu adalah hal yang paling utama. Bukan maksudku untuk menginterfensimu. Namun perkara pernikahan bukan hal yang mudah.""Hanya kau dan Parjo juga istrinya yang tahu masalah ini. Aku mohon, rahasiakanlah. Gadis itu akan kunikahi bukan semata-mata untuk segera mendapatkan kepercayaan perusahaan, tapi untuk membalas rasa sakit hatiku atas semua hinaan keluarga calon istriku yang sebenarnya," timpal Aditya tanpa keraguan.Suparman melirik kaca mobil yang ada di atas. Aditya bisa melihat senyum laki-laki itu yang dirasa justru sedang mengejeknya. Ia hanya bisa mengembuskan napasnya kasar."Kau diberikan kepercayaan untuk memilih jodohmu sendiri bukan berarti mengambil sembarangan calon istri. Pikirkan lagi, Tuan. Jangan sampai menjadi boomerang buatmu ke depannya.""Nasi sudah jadi bubur, Pak Man. Biarlah. Yang terjadi besok, biar saja terjadi. Sakit hatiku pada Belinda dan keluarganya harus kubayar tunai!"Sopir pribadi Aditya itu hanya menggeleng sembari tersenyum-senyum."Aku yakin, Dahlia bisa menjadi pengantinku karena dia kandidat yang paling menguntungkanku saat ini. Menikahinya adalah senjata telak yang akan meluluhlantakkan kesombongan majikannya. Kau bisa bayangkan bagaimana ekpresi mereka ketika aku resmi menjadi direksi perusahaan Central Glori lalu menikahi pembantunya?"Aditya terkekeh sendirian. Hanya membayangkannya saja, dadanya membuncah gembira. Tak ada tanggapan apapun dari Suparman, seorang laki-laki yang berusia 35 tahun tapi belum menikah.***"Tuan Muda, makan malam sudah siap," ujar Romlah menyapa saat Aditya duduk santai di balkon kamarnya."Malas ah, Mbok," ujarnya tak bersemangat."Apa karena masalah tadi siang itu ya? Saya setuju Tuan tak jadi menikahi gadis bernama Belinda itu. Tapi bukan berarti Tuan Muda menikahi gadis yang hanya se ...."Aditya langsung mengangkat tangannya sebagai isyarat agar Romlah tak perlu melanjutkan ucapannya."Aku harus segera menikah Mbok plus harus kulumatkan harga diri Belinda dan ibunya karena pembantunya bisa jauh lebih beruntung mendapatkanku. Sampai sini paham?""Tapi Tuan ....""No tapi-tapi, oke. Ingat Mbok, jaga rahasia ini. Jangan sampai ada yang tahu rencana ini. Peringatkan Pak E."Aditya memanggil Parjo, suami Romlah dengan sebutan Pak E. Wanita paruh baya yang selalu menyanggul rambutnya itu hanya mengangguk. Aditya tak peduli apapun tanggapannya. Ia hanya perlu terus melanjutkan rencananya."Mbok buatkan saja aku susu hangat. Sekarang waktunya aku menghubungi Papa."Wanita itu mengangguk lalu keluar. Aditya melirik jam dinding di kamarnya. Pukul 17.00, waktu yang jauh lebih cepat tiga jam dibandingkan di tempat ayahnya. Aditya akan mengganggu waktu sore ayahnya dengan segera menekan kontak.Calling Papa ...."Hallo, Pa!" seru Aditya sumringah.Aditya bagaikan anak kecil jika bersama ayahnya. Semenjak ibunya meninggal saat dia berusia sepuluh tahun, Aditya semakin dekat dengannya. Lebih-lebih ketika dia menikah lagi, Aditya merasa waktu teramat mahal antara mereka berdua."Ada apa, Boy?" terdengar suara ayahnya serak."Papa kenapa?" tanya Aditya khawatir."Gak apa-apa. Kamu punya berita gembira apa? Papa pantau, kerjaanmu di kantor bagus. Teruskan."Aditya tersenyum lebar."Pa, aku sudah menemukan wanita yang tepat untuk kunikahi. Aku jamin dia wanita yang terbaik. Dia memiliki sorot mata seteduh Mama," ujar Aditya mencoba merayu."Sungguh? Papa jadi penasaran. Dia alumni fakultas mana, kerja di mana dan siapa keluarganya? Apa dia berasal dari keluarga pembisnis juga?"Aditya menelan salivanya karena kebingungan. Ia pun tak tahu siapa Dahlia apalagi keluarganya. Hanya yang dia tahu, gadis itu seorang pembantu di rumah Belinda. Tak mungkin dia mengatakan kebenarannya."Nanti kita bahas yang itu, Pa. Biar jadi kejutan. Hmmm ... apa boleh perjajian kita dipercepat? Aku sudah tak sabaran, Pa," rayunya.Terdengar laki-laki itu tertawa namun jawaban dari suaranya yang berat membuat Aditya menciut."Sebelum kamu resmi menentukan calonmu dan memastikan pada Papa kalau kamu akan menikah, kamu belum boleh mengambil alih perusahaan. Biarkan saja posisi direksi di perusahaan itu kosong," seloroh Hadi Pratama."Ayolah, Pa ... please.""Buktikan pada Papa dengan mengadakan pesta pertunangan. Papa akan segera pulang jika kamu dan calonmu itu sudah siap."Aditya cemberut. Itu artinya besok dia belum bisa langsung membuat Belinda terkejang-kejang di kantor. Aaah ... dia jadi kesal!"Papa, Pleaseee ...."Aditya belum menyerah."Hallo, Aditya. Dubai sangat panas. Papamu belum terlalu terbiasa dengan cuacanya. Kamu jangan merengek kayak anak kecil. Sudah dulu, Papamu mau rehat dulu."Aditya mengangguk seolah mereka sedang ada di depannya."Baik, Ma," jawab Aditya datar.Panggilan terputus.Dipandanginya awan sore yang berarak lambat. Aditya merasa udara sore ini lebih dingin seperti ingin menembus sampai ke tulang-tulangnya. Ibu tirinya itu selalu begitu, seperti ingin menjauhkannya dengan ayahnya. Meski tak terlihat jelas tapi dia merasakannya. Aditya meremas tangannya. Ia tak boleh membuang waktu lagi. Jangan sampai perusahaan utama ayahku jatuh di tangan wanita itu dan anak laki-lakinya yang semakin tumbuh dewasa."Ibu tiri, aku memang terlihat tunduk di depanmu tapi aku tidak bodoh. Jangan harap, anak laki-lakimu yang payah itu bisa menggantikan posisiku baik di hati ayahku atau dalam bisnis yang didirikan ayah dan ibu kandungku," desis Aditya sendirian.Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata