"Huwaaaaa!!!"
Belinda menangis histeris, menghentak-hentakkan kakinya. Gadis itu masih terus menantap gerbang besi yang dilewati mobil mewah yang dinaiki Aditya dan Dahlia."Kamu kenapa sih, Bel!? Sudah miring urat syarafmu?!" bentak Yuni sembari mendorong bahu anak gadisnya."Mas Adit, Ma! Mama gak lihat, mobil yang jemput dia tadi itu kek gimana? Itu mobil mewah, Ma!" pekik Belinda.Seolah tak peduli dengan ucapan anaknya, Yuni duduk santai, menyalakan tv tanpa menoleh pada Belinda sedikitpun."Paling grab itu yang jemput. Kamu jangan mau ditipu sama dia. Mama dari awal sudah gak srek sama laki-laki itu," timpalnya."Itu Rolls Royce seharga puluhan milyar, Ma! Gak mungkin dipake buat ngegrab!" sentak Belinda kesal dengan ibunya."Paling mobil pinjaman atau kamu salah lihat. Banyak yang kw sekarang, siapa yang tahu, itu juga bisa jadi mobil kw."Belinda merobek-robek tisu makan yang di atas meja untuk melampiaskan kekesalannya."Tapi mataku masih bisa bedain mana kw dan ori! Huhuhu ...! Kalau ternyata rupanya Mas Aditya adalah orang kaya, gimana? Mobil itu punya dia? Terus cincin tadi itu beneran berlian asli? Mampus aku, Ma!!!" teriak Belinda histeris tak puas sudah merobek tisu, sekarang dia memikul-mukul pahanya sendiri."Gak mungkin. Kamu jangan kebanyak nonton sinetron atau baca novel. Gak ada. Itu hanya hayalan para penulis skenario. Hidung Mama ini bisa mencium aroma orang kaya, yang pasti gak kayak calon suamimu tadi itu," timpal Yuni tetap melotot menonton.Belinda perlahan mengusap air matanya. Ia mulai sadar, sepertinya yang dikatakan ibunya itu benar. Tidak mungkin cincin yang dipakai Dahlia itu asli dan juga mobil yang tadi itu pastilan mobil sewaan atau pinjaman. Lagi pula, ia masih mengingat motor jadul yang dikendarai kedua orang tua Aditya tadi. Belinda tiba-tiba tercenung, seperti berpikir."Tapi kok ada yang aneh ya, Ma?" tanya Belinda menggumam."Emmm," tanggap Yuni cuek hanya mendehem."Itu tadi beneran orang tuanya Mas Aditya bukan, ya? Soalnya keknya jauh banget perbedaan mereka, Ma," gumam Belinda serius."Orang tua dan anak tak mesti miriplah. Buktinya Mama sama kamu. Dari mana-mana, Mama yang tua ini masih jauh lebih cantik, fresh dan punya otak yang encer daripada kamu. Hampir saja ketipu, menikah sama cowok kere. Duit lima puluh juta, emas dua puluh gram dikira banyak. Heran," gerutu Yuni kembali menoel kepala anaknya, kali ini menggunakan remot tv.Belinda pasrah saja menerima perlakuan ibunya."Tapi bapaknya Mas Adit tadi hapenya keren banget. Itu harganya puluhan juta, Ma! Mama sih gak tahu dunia gadget, gak usah komentar!""Cek dulu ginjalnya, jangan-jangan sudah dijual. Kamu itu ya, jangan mudah dibod*hin. Bisa jadi casingnya buah apel tapi dalamnya buah mengkudu. Dah ah, kamu jangan cerewet! Mama mau nonton.""Tapi Ma .... ""Jangan banyak tapi. Beresin cangkir-cangkir itu. Sekarang sudah gak ada Dahlia yang di dapur. Kamu belajar dong jadi perempuan pada umumnya, bisa masak dan beberes. Gadis kok macam nenek-nenek, gak bisa ngapa-ngapain. Hp terus depan matanya!" omel Yuni tanpa jeda seperti kereta api.Belinda menyentak. Ia tak suka dengan pekerjaan rumah tangga."Aku gak mau. Gadis kampung itu harus kembali. Tak peduli, tak ada alasan. Dia harus kembali kerja di sini!""Dia kan sudah kita pecat. Jangan malu-maluin. Besok Mama cari yang lain."Belinda tak menggubris ucapan ibunya. Ia mencoba menkan tombol angka, namun tak ada respon."Apa dia gak bawa hp jadulnya itu ya?""Eeehh. Kamu lagi hubungi siapa?" tanya Yuni mengangkat alisnya seperti terkejut."Gadis kampung itu harus kembali kerja di sini, Ma. Enak saja dia dekat sama Aditya. Meskipun Aditya gak selevel sama aku, tapi bukan berarti dia selevel sama cowok yang pernah jadi mantanku. Itu menginjak harga diriku."Yuni menatap anak gadisnya itu dengan ekspresi marah."Mama jangan larang aku! Dia harus sadar posisinya di mana. Aku akan ke rumahnya dan memintanya kembali merapikan cangkir ini."Tak menunggu respon ibunya, Belinda segera meraih kunci mobilnya. Yuni gelagapan melihat tingkah anak kesayangannya itu. Meski sembari mencucu karena menahan rasa kesal, Yuni gegas mengikuti Belinda yang sedang menghidupkan mesin mobil.Baru melewati seratus meter lebih, Belinda dan ibunya harus berjalan kaki untuk melewati gang kecil yang sempit dan becek karena mereka tidak melewati jalan utama yang lebih jauh lagi."Mending langsung jalan kaki aja tadi, Bel!" omel Yuni kesal."Namanya lagi emosi, Ma. Gak bisa mikir aku," timpal Belinda manyun."Memang otakmu gak seencer Mama."Mulut Belinda makin manyun karena ibunya itu selalu saja memojokkannya."Maaf Nyonya, Dahlia belum pulang. Bukannya dia lagi kerja di rumah Nyonya?" tanya Marni, ibu Dahlia dengan wajah was-was."Anakmu itu sudah kami pecat. Dia berani ninggalin kerjaan buat cowok yang sudah merayunya. Apalagi cowok itu pacarku!" pekik Belinda berang."Mantan," imbuh Yuni seolah mengoreksi ucapan anaknya.Belinda mencebik dan abai. Gadis itu melotot sembari melipat tangannya di dada."Tapi karena kami kasihan sama kamu dan anakmu yang cacat itu, jadi suruh dia kembali kerja lagi dan jangan kegatalan! Kesempatan hanya sekali. Awas saja kalau dia tak kembali bekerja, aku akan sebar luaskan berita bahwa anak gadismu itu wanita gatal," lanjut Yuni mencoba menekan ibu Dahlia.Wanita yang sedang menggendong bayi itu hanya mengangguk dengan menahan tangisnya. Seolah mulutnya terkunci bahkan bertanya kronologisnya pun ia tak punya nyali. Hatinya mengatakan anak gadisnya tak mungkin melakukan hal yang melanggar norma. Tapi melihat amarah kedua majikan Dahlia di depannya membuatnya menjadi sangsi."Baa-bbaaaik, Nyah.""Ayo, Bel. Kita pulang! Pegang perutmu, jangan sampai nanti pas kamu hamil, anakmu cacat kayak gitu," cerocos Yuni menoleh kecut pada bayi perempuan yang sedang di dalam gendongan Marni.Nampak bayi itu memang memiliki ukuran kepala yang sangat besar dibandingkan ukuran kepala bayi normal. Bayi yang bernama Nadia itu, adalah sepupu Dahlia, anak dari adik ibunya yang sudah meninggal. Marni sebagai budenya, tak tega membiarkan bayi malang itu diurus ayahnya yang gemar main perempuan."Dahlia, apa yang sudah kamu lakukan, Nak?" lirihnya mengusap ujung kelopak matanya sembari melihat kedua wanita beda usia yang sedang melangkah menjauh. Mereka berlenggak-lenggok, meninggalkan aroma parfum yang sangat menyengat. Juga kalimat yang sangat menyakitkan bagi penghuni rumah yang mereka kunjungi."Assalamu'alaikum!" salam Dahlia lalu melepas sandalnya. Tanpa menjawab salam, Marni keluar menyambut anaknya. Mulutnya sudah siap membuka dan akan mencecar anaknya namun seketika langsung tertutup ketika ia melihat sebuah mobil yang terlihat begitu mewah dan gagah masih terparkir lalu perlahan bergerak menjauh. Marni segera berbalik masuk, meletakkan bayi di gendongannya ke lantai beralaskan kasur bayi. "Siapa itu?" tanya Marni. "Hanya teman baru, Bu," jawab Dahlia grogi. "Kamu yang jujur. Tadi Belinda dan ibunya datang. Kata mereka, kamu kabur dari rumah itu, meninggalkan pekerjaan demi ikut laki-laki. Apa itu sikap perempuan baik?" lanjut Marni mencecar anaknya. Dahlia menegak salivanya kasar. Hatinya bertalu-talu. Bagaimana ia bisa menceritakan tentang semua kejadian yang sangat cepat itu? Ia pun masih seperti tak percaya. "Anu, Bu ... aku ...." "Katakan, apa yang kamu lakukan dengan dia sampai harus meninggalkan pekerjaanmu? Ibu yakin, kamu masih punya akal sehat, Nak
Yuni mengangkat kakinya di atas sofa, sembari menatap sinis pada Dahlia yang sedang membersihkan beberapa hiasan dinding dengan kemoceng. Gadis itu pun seolah tak peduli, majikannya sedang memperhatikan dirinya dengan cermat. Kedua mata Yuni menelisik ke jemari tangan Dahlia. Tidak ada cincin. Sejak gadis itu sampai, tak ada ucapan apapun dari mulutnya juga dari mulut Dahlia. Hanya salam saja ketika dia baru sampai pukul enam pagi tadi."Bel! Sudah jam delapan ini! Gak takut telat kamu, ha?!"Yuni menegur anak gadisnya yang baru keluar kamar. Tampak Belinda masih menggunakan baju tidur."Santai, Ma. Aku hanya nemenin boss meeting nanti jam sepuluh," jawab Belinda dari dalam kamarnya.Dahlia sama sekali tak menoleh apalagi menyapa nona rumah itu seperti biasa. Ingin rasanya gadis itu mengumpat dua wanita penghuni rumah itu. Hatinya makin dongkol. B
Dahlia menapaki setapak demi setapak marmer mahal yang sudah bertahun-tahun selalu dirawatnya. Di sini memang ia menggantungkan nasib dan kehidupan keluarganya. Bu Yuni selalu memberikannya gaji tepat waktu meski sering dipotong karena menurutnya pekerjaan Dahlia kurang bersih, kurang cepat."Jangan nekad kamu, Dahlia! Ingat, kamu dan keluargamu itu tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa gaji dari sini!" ancam Yuni melototkan matanya."Wanita sinting!" umpat Belinda menambahkan.Dahlia terus melangkah. Di sini, tempatnya selalu menempa kesabaran. Karakter Bu Yuni yang asal perintah dan memiliki mulut tanpa saringan itu kerap kali membuatnya menahan air mata. Ditambah sikap Belinda yang memandangnya sebelah mata, membuatnya harus menambah stok kesabaran. Seharusnya gadis itu lebih bersahabat dengannya karena mereka seusia. Namun faktanya tidak.Belinda mengejar Dahlia lalu mendo
Sejenak Aditya diam. Pikirannya berputar cepat. Dia adalah calon pimpinan tertinggi Central Glori. Pantang menjilat ludahnya sendiri dan itu artinya dia sudah memutuskan. Nasi sudah menjadi bubur dan tak akan bisa mundur. Tak ada yang perlu disembunyikan dari Dahlia. Karena memang dia akan menikahi gadis ini bukan karena cinta. Hatinya sudah tertutup rapat. Terlalu sakit karena hinaan wanita yang diberikan ketulusan cinta. Aditya pun yakin, Dahlia juga sama dengan Belinda. Apa lagi, gadis itu berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pastilah, rasa hausnya akan harta juga sangat tinggi.Setidaknya itu terpikirkan di kepala laki-laki yang sedikit berjambang tipis itu."Aku adalah anak sulung dari Hadi Pratama, pemilik banyak perusahaan di kota ini. Dan perusahaan tempat Belinda bekerja adalah milik ayahku. Sebagai anak pertama laki-laki, aku akan mewarisi perusahaan itu. Tapi ada syaratnya, harus menikah dan menguasai segala bidang di perusahaan. Itu me
Setelah banyak detik yang terbuang di antara mereka, akhirnya Dahlia bicara. "Andai kamu mengatakan ini pada Belinda saat kamu melamarnya, aku yakin, dia dan ibunya pasti langsung menerimanya." "Aku sangat mencintainya, tak melihat apakah dia wanita berada atau tidak. Jika seadainya, Belinda pun hanya seorang pembantu sepertimu. Aku pun akan tetap mencintainya." Dahlia mengelus ujung meja yang terbuat dari akrilik itu. Entah apa yang di pikiran gadis itu. Namun kalimat dari bibir mungilnya menjawab pertanyaan Aditya. "Jadi begitu rendahnya status seorang pembantu di matamu." "Bukan begitu. Jangan salah kaprah. Beda otak, beda pandangan, dan beda persepsi. Itu hanya perumpamaan. Jangan salah, pasangan yang kubawa saat melamarmu itu adalah dua pelayanku. Aku menghargai mereka bahkan menyayangi mereka seperti kedua orang tuaku. Tidak ada yang salah dengan art, justru mereka sangat luar biasa. Namun, marilah kita bicara dari segi strata sosial dan logika." Aditya menatap serius pad
"Dasar gadis aneh. Ya kamu, harus menyesuaikanlah! Kamu kerja siang malam berbulan-bulan di rumah Belinda juga takkan mampu beli hp yang akan kuberikan. Jangan banyak protes. Aku tak hanya omong besar, aku yang fasilitasi! Sudah, buang saja hp jadulmu itu, sekalian nanti pakai lempar tikus di rumahmu."Ketimplaaaak!!!Hp jadul Dahlia sempurna mendarat di dada Aditya. Sakit sekali. Kekuatan lemparan Dahlia benar-benar membuatkan Aditya meringis menahan sakitnya."Aku hanya praktek lempar tikus, gimana? Kira-kira tikusnya mati gak kalau lemparnya kayak gitu?""Cewek gila! Ini sakit tau! Lepas jantungku rasanya! Iiissh!"Aditya mengelus dada, menikmati sakit yang semakin mudar. Ingin rasanya dia mencekik gadis di depannya itu, tapi ekspresi tawanya yang berbinar menyipitkan mata cantiknya itu membuat Aditya luluh. Sekarang Aditya justru yang terlihat payah."Ambil lagi hpmu sebelum kuinjak s
Ttttiiiit! Dareen mengklakson motor yang membawa Dahlia. Gadis itu menoleh ke belakang. "Pak! Kenapa mobil itu ngejar-ngejar kita?!" "Masak, Mbak?" "Iya!" "Oawaduuuh!" Husen melajukan motornya makin kencang. Dareen pun terus mengikuti mereka. Husen memutuskan masuk gang yang berbelok-belok juga becek. Semalam hujan turun dengan sangat deras. Setelah merasa aman, mereka pun masuk gang komplek perumahan. "Mbak, kayaknya mobil itu sudah gak kelihatan lagi! Mbak turun di sini aja ya, soalnya saya ada orderan online!" seru Husen sedikit tegang. "Oooh ... gimana dong, Pak. Saya takut mobil tadi datang, Pak!" "Tenang aja, Mbak. Gak mungkin juga mobil bagus gitu ada urusannya sama kita. Mungkin Mbaknya aja yang kepedean mentang-mentang sedang cantik sekarang," seloroh H
Pagi sekali, Aditya sudah berada di kantor, berkutat dengan data yang harus segera diselesaikan. Sudah dua hari ini, ia meliburkan diri. Jangan sampai, ayahnya berubah pikiran karena dikira malas. Sesuai janji, harus selesai secepatnya sehingga Aditya bisa fokus dengan rencana pernikahannya."Kamu kemana aja, Dit? Kok sampe dua hari ngilang?" tegur Mita, rekan satu devisi dengannya."Aku sibuk mau lamar anak gadis orang," kekeh Aditya terus fokus.Toni, teman samping meja kerja Aditya langsung melebarkan telinganya. Laki-laki kurus itu cukup terkejut sebab itu artinya, ada yang akan mengakhiri masa singel sedangkan dia masih bertahan dengan status jomblo."Iiih seriusan kamu, Dit?!""Tapi ditolak! Hahahaha!" timpal Aditya terus mengetik.Mita dan Toni ikut tertawa. Tiba-tiba, gadis berambut lurus sebahu dengan tubuh semampai meng