Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa.
"Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?"
"Coba kamu baca, Sa!"
"Iya, bentar!"
Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.
{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}
Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah.
"Ja-jadi ...?"
Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya.
"Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu.
"Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
Raisa terhenyak saat dirinya diminta untuk ikut memandikan jenazah bu Sapto. Padahal dia baru beberapa kali, mengikuti pelatihan itu bersama emak haji. "Kenapa harus saya, Bu? Yang lain 'kan bisa," elak gadis manis itu. "Enggak ada orang. Emak haji lagi pulang ke Padang. Bu Titin ada hajatan di rumahnya. Mbah Sarji sakit, jadi cuman ada kamu, biar dibantu dengan ibu-ibu masjid," ucap Bu Marto panjang lebar. Dia berusaha meyakinkan gadis itu. Raut wajahnya berubah. Dirinya tak yakin, jika harus menerima permintaan ini. "Kasihan jenazah Bu Sapto!" "Tapi, selama ini saya selalu sama Emak Haji." "Raisa, enggak baik menolak. Ini tentang orang meninggal. Bukan hal bersenang-senang!" Gadis itu mulai berpikir. Ada pertarungan dalam benaknya. Antara menerima atau menolak. Namun, dia sudah berjanji pada neneknya, emak haji. Jangan pernah menolak jenazah untuk dimandikan. Siapa pun! Dengan berat hati, akhirnya dia m
Gadis itu melihat, seseorang tidur di sebelahnya. Dengan tubuh miring menghadap Raisa. Rambut yang keriting menutupi sebagian wajah. Raisa semakin merasa ketakutan. "Ke-kenapa tiba-tiba ada orang di atas kasurKu? Mana sebelahan lagi." "Raisaaaa ...." Terdengar sosok itu seperti memanggil dirinya. "Aaaaaargh!" Terdengar suara teriakan Raisa yang ditahan. Terdengar suara yang mendengkus kasar. Yang kini, tengah menatap tajam pada Raisa. Kedua mata membulat lebar. Dengan bagian pupil, tertutup selaput putih menguning. Layaknya mata seseorang yang menjemput kematiannya. Bagai mayat hidup, yang kini tatapan terus mengarah pada Raisa. "Bu-Bu ... Sapto?!" Dengan mata yang melotot. Napasnya semakin memburu. Detak jantung berdegup semakin keras. "U-untuk apa Ibu ke sini?" "Raisaaaa ...." Sosok itu kembali memanggil dirinya. Membuat gadis itu semakin ketakutan. Bibirnya berg
Harso terperanjat. Saat ketukan di jendela kamar depan kembali terdengar. “Aneh?” ucapnya berbisik. Langkahnya perlahan menuju jendela lagi. Kali ini, dia sengaja hanya mengintip. Dari sisi jendela sebelah kiri. “Enggak ada siapa-siapa!” gumamnya. Dia mengernyitkan dahi, dengan dagu yang berkerut-kerut. “Coba aku lihat keluar.” Bergegas langkahnya keluar kamar. Dia mengambil sebuah pentungan dari kayu, yang berada di balik lemari. “Kali aja maling,” bisiknya. Harso sudah berdiri, di balik jendela ruang tamu.Tangannya bergerak lambat. Menyibak korden secara perlahan. Sepintas Harso seperti melihat sebuah bayangan. Berdiri di depan pagar. Namun dia ragu. Pandangan matanya memicing. Seolah dia ingin memastikan. Apakah dia benar-benar sedang melihat sebuah bayangan berdiri di depan pagar. “Haaahhh! Benar, ternyata! Aku melihat seorang perempuan, berdiri di sana. Tapi, buat apa?”
"Coba bersihkan wajahmu dulu!”Gadis itu membersihkan wajahnya dengan cepat. Setelah selesai membersihkan. Raisa kembali melihat wajahnya di cermin.“Gimana?” tanya sang Bapak.Gadis itu hanya mengangguk.“Ya sudah, kalian tidur sekarang!”“Tapi, Pak. Momoy takut tidur sama Mbak,” rengek Momoy.“Emang aku ini hantu apa? Udah kamu tidur sama Bapak aja!”“Beneran kamu enggak apa-apa?”Raisa mengangguk dengan kuat. Harso bersama momoy meninggalkan kamar Raisa. Menuju kamarnya sendiri.Dalam hati dan pikiran Harso, masih bertanya-tanya tentang kejadian yang baru dialaminya.Dia pun mendesiskan sebuah nama, “Bu Sapto?”“Apa Pak?” sahut Momoy.“Tunggu sebentar di kamar.Tidur pakai selimut!”“Momoy takut, Pak,” rengek bocah kecil itu.“Hussst!Anak laki-laki dilarang tak
“Badan kamu sehat ‘kan?”Tampak kecemasan membayang di wajah Harso. Apalagi pekerjaannya sebagai sopir pribadi sering mengharuskan dirinya keluar kota.“Raisa sehat, Pak. Bapak berangkat aja. Nanti bosnya marah-marah lagi.”“Jaga adik kamu ya, Raisa. Jangan keluyuran malam-malam!”“Iya, Pak.”Setelah berpamitan, Harso masuk ke dalam mobil. Dia harus sampai jam enam pagi di rumah sang bos.“Assalamualaikum!” ucap Harso sembari melambaikan tangan pada anak-anaknya.“Waalaikumsalam!” jawab mereka berdua serempak.“Dadadaaa, Paaaak!” teriak Momoy, yang terus mengikuti laju mobil sang Bapak sampai menghilang.Tampak Raisa masih menunggu Momoy. Terdengar derap langkah adiknya berlari mendekat. Membuat napasnya tersengal-sengal.“Ayo masuk!”“Aku lapar, Mbak.”“Beli, apa bikin?”
Raisa masih berdiri di dekat Bu Tyas. Tubuh wanita itu, terkulai lemah. Saat dia memperhatikan dengan seksama. Dari ujung rambut hingga kaki. Tatap mata Raisa, tertuju pada tangan Bu Tyas yang berdarah.“Kenapa kukunya?” tanya Raisa berbisik.Kemudian, dia melihat di bagian kuku jempol kiri. Kukunya seperti terkelupas. Dengan darah yang terus menetes.Saat Raisa tersadar. Dia langsung berlari keluar rumah.“Kuku …?” bisiknya sambil berlari.Pandangannya melihat ke kanan dan kiri. Lalu mengarah pada rumah tetangga.Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki mengendarai motor. Raisa berlari kencang mengejar.“Paaak … Pak!”Motor itu langsung berhenti. Raisa berlari mendekat.“Pak, tolong saya!”“Memangnya ada apa?”“Tolong tetangga saya!”Dua orang lelaki itu terhenyak.“Lah RTnya ke mana Mbak?”