Wanita asing itu tak menjawab. Dia malah beringsut mundur dan pergi meninggalkan rumah Mariman.
"Loh, Mas. Kok malah pergi?"ujar Marsinah terbelalak. Begitu juga Mariman. Mereka tercengang tanpa bisa berkata-kata lagi.
"Si-siapa wanita itu, Mas?"
"Aku juga enggak tahu, Mar."
"Ta-tapi yang dia berikan ini apa?"
Saat mereka berdua melihat apa yang berada dalam keranjang. Sungguh sangat terkejut. Mereka melihat dua batang emas murni dalam keranjang itu.
"Ini maksudnya apa, Pak?"
Seketika Mariman terbelalak.
"Akhirnya permintaan aku dikabulkan, Bu."
"Permintaan apa?" Marsinah menatap sang suami dengan keheranan.
"Wes kamu jangan banyak tanya. Besok pagi aku akan ke toko emas. Sekarang anak-anak di bawa ke rumah sakit dulu!"
"Bapak yakin?"
"Sangat yakin, Bu!"
Sejak kejadian malam itu. Terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam kehidupan Mariman dan Marsinah. Perekonomian mereka berubah dras
Spontan Mariman beranjak dari ranjang. Dia berdiri tegap mengarahkan pandangan pada kedua anaknya."Kalian jangan suka berbohong seperti ini. Bapak paling enggak suka!""Ini, enggak bohong Pak!" sentak Mariyati."Iya, Pak. Mariana juga pernah lihat sosok bayangan wanita itu!" tegas Marian dengan suara yang lebih lembut."Haaaahhh! Diam kalian semuanya!" teriak Mariman berang.Dia menuding satu persatu anak dan istrinya. Raut wajah Mariman terlihat memerah dan murka. Tampak dagunya sampai bergetar. Hingga suara dia pun ikut bergetar."Ka-lian bertiga apa ingin kembali hidup dalam kesengsaraan? Hidup penuh penderitaan? Mengemis dan selalu dihina setiap orang. Kita seperti sampah yang tak pernah dilirik sama sekali. Apa kalian ingin mengulang masa-masa itu?" Suara Mariman penuh penekanan.Mereka bertiga terdiam. Tak ada yang berani mengangkat kepala. Semuanya menunduk dengan pikiran yang kosong. Tak bisa berkata-kata."Kenapa seka
Saat bersamaan dengan teriakan itu. Marsinah seperti mendengar sebuah bisikan. Yang terdengar jelas di telinga."Ini semua perjanjian berdarah antara suami kamu dan aku. Jangan sekali-kali kau coba untuk merusaknya.""Aaaaaahhhh!" Sontak bisikan itu membuat Marsinah terhenyak.Detak jantungnya seakan berhenti. Bisikan itu membuat dirinya benar-benar ketakutan. Saat Marsinah berusaha menghindari sosok wanita dan anak-anaknya. Terlihat bayangan yang melintas."Mas Mariman?"Tapi, Marsinah mengurungkan niatnya untuk mengejar. Saat melihat di punggung sang suami, kedua anaknya saat masih kecil sedang bergelayut."Ke mana dia akan membawa anak-anak?"Saat kaki Marsinah hendak melangkah. Sebuah panggilan yang cukup nyaring terdengar. Dia menoleh. Kedua anak gadisnya, berlumuran darah dengan mata yang melotot ke arah Marsinah."Pergi kalian! Kau bukan Mariyati! Kamu juga bukan Mariana!"Di tengah kepanikan Marsinah. Dia merasak
Tubuhnya berusaha beringsut mundur. Menjauh dari sosok sang anak. Yang terbaring di lantai. Marsinah berusaha merangkak. Walau hanya dengan menggeser bokongnya.Sampai tubuh Marsinah membentur sesuatu. Saat dia berbalik,"Mariana?"Anak gadisnya sudah duduk dengan menjawab penuh anggukan. Lalu Mariana mencekik lehernya sendiri. Membuat Marsinah tercengang."Jangan ... jangan!" Marsinah terus berteriak histeris.Terdengar derap langkah yang mendekati tubuh Marsinah."Bu! Ibu, kenapa?"Marsinah terbelalak saat melihat kedua putrinya sudah berjongkok di sebelahnya."Kalian, enggak apa-apa?"Mariyati menoleh pada Mariana. Lalu keduanya menggeleng."Memangnya ada apa, Bu?""Entah, Ibu seperti bermimpi. Ibu melihat kalian sewaktu masih kecil. Penuh darah di wajah kalian. Dan, Ibu juga melihat kalian di gendong Bapak.""Sepertinya Ibu mimpi. Ayo, Ibu bangun. Nanti masuk angin kalau tidur di sini," bisik maria
Hatinya tengah bergelut. Dengan apa yang baru saja dia lihat. Dari kedua sudut mata, menetes air yang terus membasahi wajah. Segera Marsinah mengusap kasar."Bapak kalian ... bapak kalian telah salah jalan!""Maksud Ibu apa?""Bapak kalian telah keblinger.""Keblinger yang bagaimana, Bu?"Marsinah tak sanggup untuk menjelaskan pada dua anaknya."Belum saatnya kalian tahu hal ini."Mariyati dan Mariana terpaku melihat sang ibu yang terlihat kebingungan. Seperti seseorang yang sedang dalam kondisi tertekan. Raut wajah Marsinah pun terlihat sangat tegang."Sampai kapan, Bu? Kita berdua juga ingin tahu. Ada apa sebenarnya""Jika waktunya tiba. Ibu akan ceritakan semua. Tapi bukan sekarang."Mariyati dan Mariana hanya bisa pasrah saat sang Ibu berkata demikian. Mereka ingin mendesaknya tapi percuma. Sang ibu tetap bungkam.Terdengar suara ayam yang berkokok di siang hari. Tak seperti biasanya. Membuat Rais
Tangan Hariyani terangkat perlahan. Sembari menunjuk ke arah atas lemari. Pandangan mereka bertiga tertuju pada sebuah koper tua."Koper ...?" ujar Raisa."Itu dulu peninggalan dari rumah tua."Delon dan Raisa mengalihkan pandangan pada Karyono."Rumah tua itu, maksudnya rumah Bu Sapto.""Ohhh ....""Sebaiknya kita ambil saja koper itu. Walau pun itu milik istriku. Aku tak pernah berani membukanya. Kalau dia tak suruh.""Biar saya saja yang ambil, Pak."Raisa langsung menarik kursi. Untuk Delon memanjat dan mudah mengambil koper tua itu.Saat tangan Delon meraih. Debu bertebaran. Membuat Raisa menutup hidungnya. Begitu juga Delon.Tangannya pun menggapai handle koper. Lalu menarik perlahan. Tiba-tiba Delon menghentikan gerakan tangannya. Lalu menoleh pada Raisa."Ada apa, Mas?"Delon menggeleng. Kembali dia menarik koper itu.Cessss!Seperti ada telapak tangan yang sangat dingin menyentuh
"Andai yang kedua itu memang benar. Mariman benar-benar telah sinting. Hati dan mata batinnya telah terbutakan." "Pastinya, Mas. Satu hal lagi. Apa yang telah dilihat Bu Marsinah?" "Di dalam kamar belakang itu ya?" "Iya, Mas. Aku penasaran dengan apa yang dilihat Bu Marsinah. Sampai dia tak mau menceritakan pada anaknya." "Mungkin sesuatau yang memalukan? Hina atau semacam itu lah." "Pikiran aku sama kayak Mas Delon." "Ayo kita segera ke hotel aja!" Raisa mengangguk. Lalu mengikuti langkah Delon yang mendahuluinya. Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Untuk segera menuju ke hotel. Tak membutuhkan waktu yang lama. Akhirnya mereka menemukan hotel. Setelah memesan dua kamar yang saling berhadapan. Segera Raisa masuk kamar dan bergegas menuju kamar mandi. "Mending aku mandi ahhh." Tubuhnya yang terasa letih. Dia guyur menggunakan air shower. Tampak Raisa melepas kepenatan pikiran dan hati. Raisa
Namun ada hal yang aneh. sosok Wanita itu terlihat mengerikan. Dia menggigit sosok lelaki itu sedikit demi sedikit. Hingga mereka berdua tengah berdarah."Me-mereka melakukannya?" Suara Raisa terbata.Dengan mata kepala dia melihat. Keduanya bagai insan yang tengah dimabuk asmara. Sang lelaki seperti melayani semua keinginan sosok wanita yang tampak mengerikan.Wanita itu terlihat seperti bukan manusia. Bibirnya penuh darah. Tak hanya itu saja. Sebagian wajah yang tersembunyi, terlihat rusak. Daging yang mengelupas. Bau anyir dan amis yang menyeruak. Sampai membuat Raisa menutup hidung.Saat Raisa terus memperhatikan mereka. Sosok wanita itu, ikut juga memperhatikan dirinya. Wajahnya menyembul dari balik tubuh sang lelaki.Kedua matanya membulat. Semakin lama semakin lebar. Lalu mata itu berubah menjadi hitam. Benar-benar hitam. Tak ada warna lain. Ada tetes yang mengalir dari kedua sudut mata dan bibir sosok wanita itu."Da-darah kah
"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!" Tak henti Raisa terus melafadzkan kebesaran Tuhan. Dia berharap ada pertolongan. Lambat laun, tubuhnya mulai terasa lemas. Dan, kedua matanya mulai bisa bergerak perlahan. Raisa pun mencoba untuk membuka mata. Mengerjap secara perlahan. Hingga beberapa kali. Sampai dia yakin, kalau saat ini sedang berada di dalam kamar hotel. "Haaahhh, aku sudah kembali ya Allah. Alhamdulillah!" Tak berapa lama. Bunyi bel kamar kembali terdengar. Membuat Raisa terkesiap. Dia masih terdiam sesaat dengan memegang kepala yang masih berdenyut. Setelah sekian detik berlalu. Raisa akhirnya turun dari kasur. Lalu berjalan pelan menuju pintu. Tangannya masih terasa lemah saat menarik handle. Pintu pun terbuka perlahan. Muncul seraut wajah Delon yang tengah keheranan melihat padanya. "Kamu oke, Sa?" Raisa kembali berjalan dan duduk di pinggiran kasur. "Aku lagi enggak oke, Mas."