Harso terperanjat. Saat ketukan di jendela kamar depan kembali terdengar.
“Aneh?” ucapnya berbisik.
Langkahnya perlahan menuju jendela lagi. Kali ini, dia sengaja hanya mengintip. Dari sisi jendela sebelah kiri.
“Enggak ada siapa-siapa!” gumamnya.
Dia mengernyitkan dahi, dengan dagu yang berkerut-kerut.
“Coba aku lihat keluar.”
Bergegas langkahnya keluar kamar. Dia mengambil sebuah pentungan dari kayu, yang berada di balik lemari.
“Kali aja maling,” bisiknya.
Harso sudah berdiri, di balik jendela ruang tamu.Tangannya bergerak lambat. Menyibak korden secara perlahan.
Sepintas Harso seperti melihat sebuah bayangan. Berdiri di depan pagar. Namun dia ragu.
Pandangan matanya memicing. Seolah dia ingin memastikan. Apakah dia benar-benar sedang melihat sebuah bayangan berdiri di depan pagar.
“Haaahhh! Benar, ternyata! Aku melihat seorang perempuan, berdiri di sana. Tapi, buat apa?”
Harso pun mondar mandir tak jelas. Jantungnya berdegup kencang. Saat itu dia menutup korden jendela depan.
Dia merapatkan tubuhnya di pintu. Deru napas Harso terdengar keras. Hingga tarikan napasnya naik turun dengan cepat.
“Siapa perempuan itu?”
Saat Harso sedang berpikir.Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu rumah.
Tok tok tok!
Sontak membuat Harso sampai berjingkat.Dia tersentak. Lalu melihat pada jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul satu malam.
“Mana ada tamu perempuan, jam satu malam begini?”
Tok tok tok!
Rasa penasaran membuat Harso ingin membuka pintu rumah. Perlahan kunci pintu mulai bergerak lambat. Lalu pintu pun mulai terbuka. Harso mengintip dari celah yang terbuka.
Sosok itu masih berdiri depan pagar.
“Cari siapa, Bu?”
Namun, wanita itu tak menoleh. Seolah mengacuhkan Harso yang mengajak bicara.
“Bu! Ibuuu … ini cari siapa?Kok dari tadi berdiri di situ?”
Tetap tak bergeming. Sosok wanita dengan rambut ikal sebahu, dan make up sangat tebal. Terus terdiam.Tak peduli panggilan Harso.
“Model beginian, harus ditegur kasar!”
Harso membuka pintu rumah dengan lebar. Dia berjalan dengan membawa kayu pentungan.
“Sampean cari siapa Bu?”
Wanita itu masih membelakangi, dan tak bergeming sama sekali. Membuat harso semakin kesal.
Dia pun melangkah maju, mendekati sosok sang wanita. Menepuk bahunya pelan.
“Bu! Buuuu …!”
Perlahan sosok wanita itu, menoleh ke arahnya.
“Endi kuku-ku?Aku njaluk kuku-ku!
Sontak Harso keheranan.
“Maksud Ibu apa?”
“Kukuuu …!”
“Kuku apa, Bu?”
Wanita itu berbalik pada Harso. Kini mereka berdua saling berhadapan.
Sepintas, Harso mencium bau yang tak sedap. Bau busuk yang sangat menyengat.Sampai membuat Harso menutup hidungnya rapat.
“Ibu ini kalau bicara yang jelas! Kuku siapa?”
“Kuku Bu Sapto!”
“Bu sapto siapa toh, Bu?”
Wanita itu menepuk dadanya, pelan. Lalu dia berjalan mendekati Harso.
“Aku jenenge, Bu Sapto!”
“Oh Sampean, toh.Lah terus kok cari kukunya di rumah saya.Kenapa?”
Wanita itu terdiam.Tatap matanya semakin tajam mengarah pada Harso.
Mereka berdua saling beradu pandang.Namun, Harso mulai merasakan ada yang aneh.
Sorot mata wanita itu, seakan mulai berubah perlahan. Membuat jantung Harso berdentum kencang.Lingkaran di kedua matanya, menghitam. Semakin lama semakin lebar.
Mulut Harso terperangah. Dengan mata yang terbelalak.
“Buuuu, i-itu kenapa matanya?”
Sosok wanita itu tak menggubrisnya.Dia terus memandang Harso.Tanpa jeda sedikit pun.
Sampai dia melihat, tiba-tiba wanita itu, pakaiannya berubah.Lubang hidungnya, menyembul kapas putih.Begitu juga pada dua matanya.
“Ka-kamu, ini si-siapaaaa …?”
Harso mulai terlihat panik. Baginya saat ini, sosok wanita itu terlihat seperti jasad yang baru dikafani.
Deru napas Harso semakin memburu. Seolah berkejaran dengan detak jantungnya.
Pandangan matanya semakin nanar. Berbaur dengan bau busuk, yang kian menyeruak lubang hidungnya.
“Kok, sampean jadi berubah koyok pocong toh Bu?”Suara Harso terdengar bergetar.
Kakinya mulai beringsut mundur. Saat sosok pocong itu, terus mengarahkan pandangan pada dirinya.
Kapas putih di kedua mata Bu Sapto, masih belum terlepas. Membuat sosok itu semakin mengerikan.
Suasana malam ini benar-benar mencekam. Membuat bulu kuduknya berdiri dan merinding. Benar-benar merinding.
Mulut sosok Bu Sapto terus bergerak. Mengeluarkan suara yang terdengar parau. Suaranya seakan tercekat.
“Di mana kuku saya? Endi kuku-ku …?”
“Pergi kamu!Jangan mengganggu rumah ini!”
“Mana kuku saya?”
“Mana kuku saya?”
“Mana kuku saya?”
Suara itu terus terulang. Hingga beberapa kali. Membuat Harso merasakan kepalanya semakin berat.
“Ini pasti mimpi! Enggak mungkin … enggak mungkin!”
Hingga sebuah panggilan, membuat dirinya seolah tersadar.
“Bapak!”
Sontak Harso menoleh pada Momoy, yang sudah berdiri di balik pintu.
“Bapak, kenapa di luar?”
Dia hanya bisa menunjuk ke arah pocong Bu Sapto.
“Bapak nunjuk apa?”
“Po-pocong!”Suara Harso pun terdengar lemah.
Momoy hanya menggeleng.
"Kamu enggak melihatnya?"
Momoy hanya menggeleng.
"Memangnya Bapak lihat apaan?"
"Enggak ada apa-apa kok. Ayo masuk!"
Momoy masih berdiri terdiam. Dengan tatapan yang membuat tanya.
"Kamu kok bangun? Ada apa?" tanya Harso keheranan.
“Bapak, Mbak Raisa kenapa?”
“Haaaa?Apa?" teriak Harso.
“Bapak lihat sendiri!”
Sebelum beranjak dari teras, Harso kembali menoleh. Namun, sosok itu telah menghilang.
Bergegas dia berlari masuk rumah. Menutup pintu, dan menguncinya.
“Kenapa Mbak Raisa, Moy?”
Momoy hanya menunjuk ke arah kasur. Membuat Harso terhenyak.
Di depan pintu kamar yang terbuka.Harso dan Momoy terhenyak.Mereka melihat, wajah Raisa yang sudah bermake up tebal.Dengan bibir bergincu merah.
“Si-siapa yang melakukan itu, Moy?”
Bocah lelaki cilik itu menggeleng.
“Mbak, paling Pak.”
Bergegas Harso mendatangi anak gadisnya.Dia mengguncang tubuh Raisa dengan hebat.
“Raisa!Nak, bangun!”
“Apa sih, Pak? Raisa ngantuk.”
“Ehhh, Mbak! Bangun!” teriak Momoy ikut membantu sang bapak.
“Ada apa?”
Dia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Lihat ke cermin itu!” Tunjuk sang Bapak.
Saat Raisa melihat dirinya.Dia pun berteriak kencang.
“Siapa yang buat begini? Pasti kamu ya, Moy!” hardik Raisa kencang.
Bocah cilik itu menggeleng ketakutan.
“Bukan adekmu!”
“Lalu siapa, Pak?”
Mereka berdua menggeleng.
“Apa maksud Bapak menggeleng gitu?”
“Bapak juga enggak tau, Nak. Tiba-tiba, Momoy keluar kamar. Dia panggil Bapak.Dan, lihat kamu sudah seperti ini.”
Raisa pun turun dari ranjang. Dia duduk di depan meja rias. Menatap tajam ke arah wajahnya.
Dan ….
Bayangan wajah dirinya di cermin seperti berubah. Menjadi seraut wajah yang berbeda.Lebih tua, dan menyeramkan.
“Aaaaahhh!” teriak Raisa. Dia langsung menutup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Membuat bapak, dan adiknya ikut ketakutan.
“Ada apa?” sentak sang Bapak.
“Se-seperti bukan wajah Raisa, Pak!” Ujung jarinya menunjuk ke arah cermin.
Harso berjalan mendekat. Lalu berdiri tepat di belakang anak gadisnya.
Dia ikut menataap wajah Raisa yang penuh coretan.
“Turunkan tanganmu, Raisa!”
Gadis itu menggeleng.
Kemudian, Harso menarik kedua tangan Raisa, agar turun dari wajahnya. Lalu dia pun mulai mengamati bayangan wajah anaknya di cermin.
Cukup lama dia menatap tajam. Tak ada perubahan. Masih sama.
“Enggak ada yang salah, Raisa!”
“Ta-pi, Pak?”
***
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma