Share

3. Egois

KUPULANGKAN UANG SUAMIKU 3. 

**

POV RATNA. 

Aku sangat menikmati pemandangan wajah suamiku yang pias melihat brosur buat masuk TK. Aku merasa bahagia sekali. Biasanya dia akan dengan wajah garang berkata aku boros dan gak bisa mengatur uang. 

"Sebaiknya Lala gak usah masuk TK saja tahun ini, Rat." Bang Hadi berkata dengan suara lemah. 

"Kenapa? Dia selalu tanya kapan masuk TK. Aku kasihan sama dia." 

"Kamu lihat biaya nya mahal banget gitu. Kamu aja yang ngajari dia di rumah. Lagian biayanya bisa beli motor second tahu! Kerjaan kamu juga cuma tidur dan ongkang-ongkang kaki aja di rumah. Kamu lebih suka main HP. Gak pagi, siang, sore dan malam. Kerjaan kamu cuma maen HP!" 

Bang Hadi mendelik menatapku. Aku mendengkus kesal kalau gak karena HP ku maka dia dan anak-anak gak bisa makan. 

Bang Hadi itu baru dua tahun ini diangkat menjadi PNS. Dahulu dia adalah pegawai honorer. Selama enam tahun lebih aku mengarungi rumah tangga dengannya penuh suka duka. 

Sebelum menjadi PNS. Kami tinggal di kampung, dengan rumah orang tuaku dan dia hanya beda kampung saja. Kami berkenalan saat dia menjadi panitia di perlombaan anak islami antara kampung. 

Penampilannya yang alim sangat menyilaukan mataku. Dia juga baik dan ramah serta punya banyak teman. Bang Hadi menjadi panitia di lomba itu. Aku mengantarkan adikku yang masih SMP untuk ikut lomba adzan tingkat lanjut. 

Setelah menikah barulah aku mengetahui watak aslinya. Bang Hadi ternyata sangat pelit sekali, untuk nafkah keluarga. Aku bekerja mengajar anak-anak sekitar membaca dan menulis untuk menutup biaya rumah tangga kami. 

Saat itu ada pendaftaran menjadi pegawai negeri di kota. Aku dan Bang Hadi mencoba mendaftar. Aku berdoa sama Allah supaya salah satu dari kami lolos. Do'a itu diijabah Allah, Bang Hadi menjadi pegawai dan aku yang gagal. 

Walaupun begitu aku terus bersyukur. Kalau kita bersyukur maka Allah akan menambah lagi rezeki untuk kita entah datangnya dari mana saja. Ketika itu anakku juga masih kecil-kecil dan aku merasa kasihan meninggalkan mereka jika aku yang bekerja. 

"Ratna! Kamu udah masakin air mandi aku!" Bang Hadi memanggil. Aku bergegas ke belakang. Aku lalu memasakkan air mandinya setelah gas terpasang. 

"Bang, bagaimana kalau mobil di jual saja. Atau di upayakan saja uangnya buat modal atau apa."

"Gak bisa. Angsuran udah berjalan. Setahun lagi baru lunas. Lagian itukan uang hasil kerja ku. Kenapa kamu yang begitu sibuk!" 

"Bukan seperti itu. Kamu itu kekurangan, Bang. Lebih baik uangnya di gunakan untuk yang lebih bermanfaat seperti kasih aku modal buat berjualan makanan atau apa saja untuk bisa membantu kamu." 

"Bantu? Yang ada kamu menghabiskan uangku kalau kuberikan kamu modal. Kamu saja sudah ...." 

Aku melotot melihatnya. Dia tak melanjutkan ucapannya. 

"Apa? Kamu mau katakan aku boros lagi? Siapa yang lebih boros, Bang. Aku atau kamu? Kalau gak karena aku yang berkorban untuk keluarga ini anak-anak gak bisa jajan dan kamu gak bisa makan!" 

Bang Hadi menghela napas. 

"Tapi aku sangat sayang dengan mobilku. Aku gak akan jual. Rat, kenapa uang satu juta bisa cukup di tangan kamu sedangkan sama aku langsung habis ya. Kamu aja deh yang pegang uang itu, Rat." 

"Enggak mau. Aku mau kamu kasih aku modal 50 juta. Aku akan atur untuk kehidupan kita kedepannya!" 

"50 juta buat apa? Kamu pikir uang segitu sedikit. Itu banyak!" Bang Hadi protes. 

Bukan tanpa alasan aku meminta. Setelah hutang di Bank lunas. Maka dia akan mengambil lagi entah untuk apa. Bang Hadi sama sekali tak berpikir untuk masa depan keluarga kami. Kedua anakku butuh pendidikan. Kalau tidak aku yang berpikir maka anak-anakku mungkin gak sekolah. 

"Kalau begitu kamu harus penuhi segala kebutuhan kami, Bang. Kamu akan belanja sesuai kebutuhan kita setiap hari. Jajan anak-anak dan untuk sekolah Lala juga wajib kamu sisihkan uangnya!"

Aku mendengkus ke suamiku. Dia menghela napas lagi. 

"Rat, aku gak bisa kalau harus belanja kayak gini karena uang kita gak cukup. Kamu minta dan Ibu minta. Yang mana harus aku dahulukan? Aku udah janji sama Ibu buat belikan dia kalung emas!" 

"Kenapa cuma Ibu kamu dan keluarga kamu yang kamu pentingkan. Setelah kamu tahu sendiri perjuangan aku dalam mengolah uang belanja. Apa mata kamu gak juga terbuka. Gini aja, uang gaji kamu masih tersimpan dua juta dua ratus di Bank. Kamu ambil lima ratus. Satu juta lima ratus buat aku dan anak-anak sementara untuk Ibu dua ratus ribu dulu sampai hutang kamu lunas di Bank! Uang Bonus kamu harus serahkan juga setengah padaku dan selebihnya kamu bisa simpan. Itu yang akan di gunakan untuk mengumpulkan modal."  

"Pintar banget kamu ngatur-ngatur aku. Aku gak bersedia!" 

"Terserah kalau kamu gak bersedia. Kamu atur segalanya saja sendiri. Kamu pikir, Bang, uang satu juta lima ratus itu cukup apa? Cuma di tangan aku uang itu bisa berkembang!" 

"Aku akan coba saja belanja untuk sebulan ini. Gak rela rasanya kamu pegang semua uang aku sampai menjatah Ibu segala!" 

"Ya sudah terserah kamu saja. Aku akan hormat banget sama kamu kalau uang kamu bisa pas buat belanja sebulan kita ini. Ingat uang pemberian kamu cuma tinggal setengah lagi, sementara masih ada 29 hari untuk bulan depan kamu gajian, Bang!" 

Aku hanya tertawa sinis menerima keputusan Bang Hadi. Terserah saja, sih. 

[Hadi. Ibu mau datang ke rumah kamu beberapa hari lagi. Udah gak sabar mau di beliin kalung sama kamu, Nak.] 

Gawai Bang Hadi bergetar karena menerima pesan dari Ibu. Aku melirik isi pesannya. 

"Wah, kamu mesti nambah belanjaan lagi, Bang," kataku kembali mengejeknya. 

Bersambung. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar suami egois lebih mementingkan kepentingan ibunya daripada anak istrinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status