Share

4. Ketar Ketir

KUPULANGKAN UANG SUAMIKU4. 

PoV Ratna. 

Wajah suamiku mengeras aku mengatakan itu padanya. Biar saja dia tahu rasa. Diajak kerja sama saja gak mau. Padahal niat aku baik, aku mau punya usaha entah itu membuka warung kecil-kecilan atau berjualan makanan di rumah. Semua itu butuh modal. 

Jika saja uang belanja yang di berikan nya cukup maka uang hasil menulis dan jual pulsaku bisa ku simpan untuk menambah modal usaha. Namun, mau bagaimana lagi, uang itu terpaksa ku gunakan untuk membantu biaya makan kami dan membeli beberapa lembar pakaian anakku juga pakaian ku. 

Maksudku uang Bang Hadi sejuta lima ratus itu. Aku simpan lima ratus setiap bulan. Jika rutin menyimpan maka akan bertambah jumlahnya. Sementara uang menulis biarlah menjadi tambahan makan kami sehari-hari juga uang sejuta yang dia berikan. 

"Ini tinggal lima ratus lima puluh ribu lagi, Rat. Tolong kamu gunakan untuk biaya kedatangan Ibu." 

Bang Hadi menyerahkan lagi uang itu padaku. 

"Sudah berapa kali aku bilang gak mau, Bang. Kamu pintar dong mengaturnya. Gunakan sisanya untuk memenuhi kebutuhan kita dua puluh sembilan hari lagi!" kataku ketus padanya. Dia menghela napas.

Aku hanya mencibir sikapnya itu. Dasar plin-plan. Enak di dia gak enak di aku. Aku kasih masukan saja gak mau di terima. 

"Sekarang kamu tahu, Bang. Apa beda aku sama Mbak Dita yang kamu bangga-banggakan itu. Dia itu di berikan suaminya uang banyak. Pakai skincare mahal. Tas bagus, baju bagus dan dia baru saja dapat hadiah gelang emas dari suaminya yang bekerja sebagai pelaut itu." 

Aku mengambil gawaiku dan membuka aplikasi biru. Aku menunjukkan pada Bang Hadi berbagai postingan Mbak Dita karena kami berteman. 

Deedee Maria CayangMyHubbyCelalu. Begitulah nama akunnya. Mata Bang Hadi melotot melihatnya postingannya. 

'Makasih, Sayang. Dapat gelang emas tiga puluh gram. Eh, jangan salah murni loh ...' Dengan emoticon cinta dan peluk.

'Skincare habis My Hubby tahu aja. Langsung di transfer duitnya.' Dengan photo nominal uang 10 juta. 

Ada berbagai postingan alay lagi milik Mbak Dita di akunnya. 

"Ya ampun namanya alay banget, Rat. Pantas aku cari gak ketemu wong namanya susah," cicit Bang Hadi. Mataku mendelik melihat suamiku. Dia melirikku lalu meringis sambil menggaruk kepala. 

"Bagaimana postingannya? Kamu mau punya istri cantik kayak gitu. Aku juga bisa lebih cantik dari dia. Asalkan aku punya uang, Bang. Kamu bisa kasih aku apa? Kalau Mbak Dita aja di manja sama suaminya. Makanya kamu bersyukur aja Bang. Belum tentu ada perempuan lain yang mau sama kamu kalau cuma di berikan sejuta perbulannya." 

Bang Hadi terdiam mendengar tutur ku. Dia sepertinya akan protes. 

"Aku pegawai, Rat. Banyak yang ngantri jadi istriku. Seharusnya kamu yang bersyukur jadi istriku. Karena dari sekian banyak perempuan aku pilih kamu!" 

Dasar, dia masih belum mengalah juga merasa paling benar. Walaupun pegawai tetapi kalau punya hutang dan susah makan tetap saja gak akan ada perempuan yang mau. 

"Percuma pegawai kalau kamu kasih makan kami aja susah. Kalau gak ada aku mungkin anak-anak sama kamu gak bisa makan!" 

Bang Hadi terdiam lagi. Dia seakan mati kutu. 

"Ya udah, deh. Kamu yang benar. Tetapi, Rat. Dari mana kamu bisa tutupi segalanya. Kamu punya uang?" 

Jangan sampai dia tahu aku jual pulsa sama menulis. Uang nya memang belum banyak yang terkumpul karena setelah pembayaran. Aku membantunya untuk kebutuhan rumah tangga. Total di rekeningku tinggal tujuh juta lagi. Kalau Bang Hadi tahu maka dia akan sibuk dan bisa-bisa tak mau lagi menafkahi. 

"Itulah the power of emak-emak. Jangan mentang-mentang aku bukan pegawai kamu bisa meremehkan aku, Bang. Aku minta kamu introspeksi diri saja. Kamu terima tawaranku atau enggak. Kamu memilih enggak terima dan mau pegang uangmu itu maka lakukan saja asalkan kebutuhan kami tercukupi. Aku mau lihat seberapa bisa kamu menafkahi kami!" 

Bang Hadi menghela napas panjang merasa bingung mau menerima apa menolak tawaran ku yang kuberikan padanya. 

Gawai ku bergetar panggilan dari Ibu. Mengapa dia harus menghubungi lewat gawaiku. 

"Assalamualaikum. Halo, Bu." 

Aku mengangkatnya. Bang Hadi juga heran mendengarkan di sampingku. 

"Ratna. Ibu mau datang sama Jelita ke kota. Kamu siapkan makanan yang enak-enak ya. Ingat kamu jangan pelit sama kami. Apalagi kami tamu kalian. Orang tua wajib di hormati!" 

Ibu berkata langsung tanpa basa basi. 

"Ibu mau apa?" 

"Siapkan ayam kampung di gulai itu kesukaan Jelita. Kalau Ibu sama kayak Hadi sukanya ikan gurami. Buat sambal ikan gurami pedas manis. Jangan lupa sayur asem juga sama sambel nya kamu buat yang banyak." 

"Iya, Bu." 

"Kamu jangan Iya saja, Rat. Ibu minta buah-buahan juga ya. Apel, anggur sama buah pir. Pokoknya kami mau makan yang enak-enak selagi ada di rumah kamu!" 

"Berapa lama Ibu di sini?" 

"Gak sopan kamu tanya-tanya. Mau sebulan dan setahun yang penting Ibu makan bukan pakai uang kamu tetapi uang anakku, Hadi. Aku cuma mau bilang sama kamu, Rat. Supaya kamu menjamu Ibu. Jadi uang anak Ibu tidak sama kamu saja semuanya!" 

Aku mencibir dalam hati. Uang anaknya cuma singgah padaku. Kapan aku dapat semuanya. 

"Ya sudah ya. Ibu ada tamu." 

Klik. 

Ibu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. 

Aku meletakkan gawaiku. Kulihat wajah suamiku kebingungan sekali. 

"Sepertinya uang bonus mu akan menutupi kebutuhan Ibumu dan adik mu di sini, Bang. Apel, anggur, buah pir itu harganya mahal sekali. Belum lagi ayam kampung, ikan gurami. Uangmu hanya cukup biaya makan mereka tiga hari!" Aku tertawa ringan lalu beranjak. 

"Ratna, apa yang harus kulakukan? Eh kamu mau ke mana?"

"Mandiin anak-anak. Kamu pikir aja sendiri!" Aku berlalu darinya. Duh aku merasa semakin puas dan gak sabar Ibunya mau datang supaya suamiku ketar ketir mikirin makan dan banyak permintaan keluarganya. 

Bersambung. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Edi Edi
seru nih, lihat gmn pudingnya si Hadi nantinya.
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mertua saklek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status